Banjir Riau Cuma 'Diselesaikan' dengan Aksi Bagi-bagi Sembako, Jikalahari: Gubernur Harusnya Evaluasi Izin HTI dan Perkebunan Sawit!

Gubernur Riau Abdul Wahid saat meninjau banjir dan menyerahkan bantuan untuk korban banjir beberapa waktu lalu. Foto: Istimewa
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) mengeritik langkah Gubernur Riau, Abdul Wahid yang menebar aksi bagi-bagi sembako untuk korban banjir yang menerpa sejumlah wilayah di Riau saat ini. Tindakan ala sinterklas tersebut dinilai sebagai budaya lama yang diwarisi oleh pemimpin Riau sebelumnya.
"Gubernur Riau Abdul Wahid harus menghentikan budaya bagi-bagi sembako yang dilakukan gubernur sebelumnya untuk korban banjir di Riau," kata Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setiyo dalam keterangan diterima SabangMerauke News, Rabu (5/3/2025).
Menurut Okto Yugo, aksi bagi sembako idealnya cukup disalurkan oleh dinas terkait. Posisi gubernur seharusnya mencarikan solusi agar banjir bisa dikendalikan di kemudian hari. Pilihan konkret yang paling tepat yakni dengan mengevaluasi total tata ruang dan izin korporasi hutan tanaman industri (HTI) serta perkebunan kelapa sawit.
“Gubernur Riau mestinya me-review tata ruang dan mengevaluasi izin korporasi HTI dan perusahaan sawit penyebab deforestasi yang mengakibatkan banjir,” kata Okto Yugo.
Okto juga mengeritik solusi membangun bendungan yang ditawarkan Abdul Wahid dalam mengatasi banjir saat ini. Pernyataan itu disampaikan Abdul Wahid saat berkunjung ke Desa Sendayan, Kecamatan Kampar Utara, Kabupaten Kampar pada 3 Maret lalu, sekaligus memberikan bantuan sembako kepada warga terdampak.
Menurut Okto, banjir yang terjadi saat ini bukan hanya karena pembukaan pintu air PLTA Koto Panjang di Kampar. Karena faktanya, sejumlah wilayah di Riau yang terkena banjir, tidak semuanya terhubung dengan Sungai Kampar. Misalnya banjir di Rokan Hulu, Indragiri Hulu dan Kuantan Singingi
"Gubernur Abdul Wahid harusnya melihat persoalan banjir dari hulu hingga ke hilir. Pembukaan pintu PLTA Koto Panjang bukanlah satu-satunya penyebab banjir," imbuh Okto.
Hasil analisis Jikalahari, selain curah hujan, banjir yang terjadi di Riau juga disebabkan pembukaan hutan alam di sepanjang sungai-sungai besar di Riau. Seperti Sungai Kampar, Sungai Rokan dan Sungai Indragiri. Hutan alam di sepanjang sungai ini berubah menjadi perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI).
“Jika Gubernur Abdul Wahid ingin menyelesaikan persoalan banjir, maka ia harus berani rekomendasikan agar perusahaan sawit dan HTI di sepanjang sungai ini dievaluasi, bahkan dicabut izinnya, jika tidak miliki sistem pengelolaan lahan yang aman bagi lingkungan,” kata Okto.
“Ini seharusnya menjadi perhatian Abdul Wahid dalam penanggulangan banjir di Riau,” tegas Okto.
Menurut Okto, terdapat 38 desa di Kabupaten Rohul dan Kampar yang terkena banjir. Jikalahari mendapati adanya aktivitas sebanyak 27 perusahaan perkebunan sawit dan 2 perusahaan HTI berada di sekitar lokasi banjir.
Berdasarkan data, sejak 2000 hingga 2024 di areal sekitar banjir, sekitar 81 persen atau seluas 28.176 hektare hutan alam yang berada di 29 perusahaan di kawasan banjir itu, mengalami deforestasi.
"Jikalahari merekomendasikan kepada Gubernur Riau Abdul Wahid untuk melakukan review izin HTI dan kelapa sawit yang berada di sepanjang Sungai Kampar, Sungai Rokan dan Sungai Indragiri serta melakukan pemulihan di areal tersebut," pungkas Okto.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau mencatat, sepanjang 1 Januari hingga 4 Maret 2025, sudah terjadi 43 kejadian banjir di 5 kabupaten di Provinsi Riau. Yakni Kampar, Rokan Hulu, Indragiri Hulu, Kuantan Singingi dan Pelalawan.
Banjir tersebar di 18 kecamatan dan 39 desa atau 4 kelurahan dengan total 7.000 kepala keluarga (KK) yang terdampak.
Selain itu, 4 fasilitas kesehatan, 5 fasilitas pendidikan, 19 fasilitas umum, jalan sepanjang 7,8 kilometee, kebun seluas 8.355 hektare dan 615 ekor ternak yang juga terdampak banjir di Riau sejak awal tahun 2025. (KB-02/Radinal)