Kasus Asusila Guru SMA Terhadap Siswanya di Kepulauan Meranti Terungkap Setelah Dua Tahun

Kasus asusila yang dilakukan oleh seorang guru terhadap muridnya di lingkungan SMA Negeri 02 Tebing Tinggi Timur di Desa Tanjung Gadai. Foto: Dok SM News
SABANGMERAUKE NEWS, Riau – Dunia pendidikan kembali tercoreng oleh kasus dugaan perbuatan asusila yang dilakukan oleh seorang guru terhadap muridnya. Kali ini, kejadian memilukan ini mengguncang lingkungan SMA Negeri 02 Tebing Tinggi Timur di Desa Tanjung Gadai.
Kasus ini sebenarnya terjadi pada tahun 2022, namun baru terungkap dua tahun kemudian, tepatnya pada Oktober 2024, ketika para orang tua korban memberanikan diri melaporkan kejadian tersebut kepada Pemerintah Desa Tanjung Gadai.Menurut laporan yang diterima, empat orang tua siswa mengadukan dugaan pelecehan yang menimpa anak-anak mereka yang masing-masing berinisial R, M, G, dan M.
Sebagai langkah awal, pihak desa mencoba menyelesaikan masalah ini melalui jalur mediasi dengan mempertemukan kedua belah pihak, yaitu para orang tua korban dan terduga pelaku yang merupakan guru di sekolah tersebut.
Namun, mediasi yang diharapkan dapat membawa titik terang justru menemui jalan buntu. Terduga pelaku tetap bersikukuh tidak mengakui perbuatannya, sementara para korban tetap teguh pada pengakuan mereka bahwa mereka telah mengalami tindakan yang tidak pantas dari sang guru.
Kisah ini menambah daftar panjang kasus pelecehan di lingkungan pendidikan, yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi para siswa untuk belajar dan berkembang. Kasus ini pun memicu kemarahan dan keprihatinan di kalangan masyarakat, terutama para orang tua yang khawatir terhadap keselamatan anak-anak mereka di sekolah.
Upaya penyelesaian kasus dugaan asusila yang melibatkan seorang guru berinisial DF terhadap beberapa siswanya di SMA Negeri 02 Tebing Tinggi Timur itu menemui jalan buntu dan menempuh jalur mediasi dengan membuat surat perjanjian.
Setelah mediasi sebelumnya gagal mencapai titik terang, para orang tua korban sepakat untuk mencari keadilan melalui mekanisme adat yang berlaku di masyarakat setempat.
Dalam pertemuan adat yang digelar, disepakati bahwa DF harus membayar denda sebesar Rp18 juta sebagai bentuk penyelesaian. Angka ini ditetapkan setelah sebelumnya sempat diajukan tuntutan ganti rugi sebesar Rp20 juta. Selain pembayaran denda, kesepakatan ini juga mencantumkan beberapa poin penting, di antaranya pelaku memberikan ganti rugi kepada korban, selanjutnya pelaku tidak boleh lagi mengajar di sekolah dan pelaku tidak boleh mengulangi perbuatannya di masa depan.
Setelah pembayaran denda dilakukan di rumah salah satu orang tua korban, DF kemudian menyodorkan surat perjanjian yang mengharuskan pihak korban mencabut laporan mereka. Namun, yang mengejutkan, dalam surat tersebut terdapat klausul yang menyatakan bahwa jika korban tetap melanjutkan kasus ini ke jalur hukum, mereka harus mengembalikan uang yang telah diterima dengan jumlah tiga kali lipat dalam waktu dua hingga tiga minggu.
Ancaman terselubung ini menimbulkan ketakutan di kalangan korban dan keluarganya, sehingga mereka enggan meneruskan laporan ke pihak berwenang. Keadaan ini memicu keprihatinan di masyarakat, karena menunjukkan bagaimana kekuatan hukum adat dapat dimanfaatkan untuk menekan pihak yang seharusnya mendapatkan keadilan. Kasus ini kembali menyoroti pentingnya perlindungan hukum bagi korban pelecehan, khususnya di lingkungan pendidikan.
Kasus dugaan asusila yang mengguncang sekolah tersebut tampaknya masih menyisakan babak baru yang penuh kontroversi. Setelah sempat diselesaikan melalui hukum adat dengan denda Rp18 juta dan kesepakatan bahwa terduga pelaku, DF, tidak akan mengajar lagi, tiba-tiba muncul keputusan yang mengejutkan dari pemerintah desa.
Kepala desa mengeluarkan surat pernyataan yang menyebutkan bahwa DF tidak bersalah, meskipun belum ada proses hukum resmi yang membuktikan hal tersebut. Keputusan ini menimbulkan tanda tanya besar, mengingat sebelumnya telah ada perjanjian yang dibuat dengan persetujuan semua pihak.
Setelah perjanjian awal ditandatangani, suasana sekolah sempat kembali kondusif. DF tidak lagi hadir di sekolah, dan para siswa mulai merasa aman. Namun, ketenangan itu hanya bertahan sekitar satu bulan.
Secara tiba-tiba, kantor desa menerbitkan surat perjanjian baru yang menyatakan bahwa DF tidak bersalah dan perjanjian lama tidak lagi berlaku. Dalam dokumen tersebut, DF diperbolehkan untuk kembali mengajar di sekolah. Berbekal surat itu, DF kemudian menemui kepala sekolah dan menyatakan bahwa dirinya telah mendapatkan izin untuk kembali mengajar.
Kebijakan ini kembali memicu keresahan di kalangan siswa, orang tua, dan masyarakat sekitar. Banyak yang mempertanyakan bagaimana sebuah keputusan desa bisa menggugurkan perjanjian sebelumnya yang telah disepakati dan bahkan menggantikan proses hukum yang seharusnya dilakukan oleh pihak berwenang.
Kasus ini semakin memperlihatkan perlunya transparansi dan keadilan dalam menangani isu-isu sensitif di dunia pendidikan. Banyak pihak kini mendesak agar aparat hukum turun tangan untuk mengusut kasus ini secara lebih objektif, tanpa campur tangan yang bisa mengaburkan kebenaran.
*Kisruh di SMA Negeri 02 Tebing Tinggi Timur: Siswa Berhamburan Keluar Kelas Saat DF Masuk Mengajar
Kasus dugaan asusila yang melibatkan seorang guru berinisial DF di SMA Negeri 02 Tebing Tinggi Timur terus menuai polemik. Meskipun sebelumnya telah dilakukan mediasi dan disepakati bahwa DF tidak lagi mengajar, kenyataannya ia tetap masuk kelas seperti biasa. Hal ini memicu gejolak di lingkungan sekolah, terutama di kalangan siswa yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran DF.
Kepala SMA Negeri 02 Tebing Tinggi Timur, Hadisan Nasution, mengungkapkan bahwa dirinya pertama kali menerima laporan mengenai dugaan tindakan asusila tersebut dari Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum. Untuk memastikan kebenaran laporan, Hadisan kemudian melakukan pemanggilan terhadap para korban secara terpisah agar tidak terjadi rekayasa atau kesalahan informasi.
"Saya menerima laporan dari Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum yang menyampaikan bahwa Pak guru DF telah melakukan tindakan asusila. Saya kemudian bertanya lebih lanjut mengenai bentuk tindakan tersebut, dan dijelaskan bahwa perbuatan asusila itu dilakukan terhadap empat orang siswa. Para siswa tersebut mengaku telah dilecehkan olehnya melalui tindakan oral,” kata Hadisan.
Menurutnya, para siswa mengaku telah mengalami pelecehan dari DF. Laporan ini membuat pihak sekolah harus segera mengambil langkah agar situasi tidak semakin memburuk.
Namun, meskipun sudah ada perjanjian yang melarang DF mengajar kembali, ia tetap masuk ke kelas seperti biasa. Keputusan ini membuat para siswa bereaksi keras. Setiap kali DF memasuki ruang kelas, para siswa spontan berhamburan keluar sebagai bentuk protes dan ketidaknyamanan mereka.
“Saya pun menerima laporan dari guru-guru mengenai reaksi siswa tersebut, di mana saat DF masuk kelas, siswa berhamburan keluar. Sebagai kepala sekolah, saya bertanggung jawab untuk menjaga kenyamanan siswa di lingkungan sekolah. Saya tidak ingin siswa merasa tidak aman, dan kami dari pihak sekolah telah berusaha menangani masalah ini,” tegas Hadisan.
Situasi ini memperlihatkan ketidakpastian dalam penyelesaian kasus yang melibatkan tenaga pendidik dan siswa. Di satu sisi, kesepakatan adat telah dibuat untuk menyelesaikan kasus ini, tetapi di sisi lain, DF tetap hadir di sekolah dan berusaha kembali mengajar.
Tidak hanya menolak kehadiran DF di sekolah, para siswa bahkan mengancam akan mogok belajar jika DF tetap diizinkan mengajar.
Kepala SMA Negeri 02 Tebing Tinggi Timur, Hadisan Nasution, mengungkapkan bahwa situasi di sekolah semakin memburuk setelah siswa mengetahui bahwa DF masih berstatus guru aktif. Ketua OSIS bersama perwakilan kelas langsung mendatangi Hadisan untuk menyampaikan keberatan mereka
“Mereka menyatakan tidak nyaman jika DF tetap mengajar dan lebih mempercayai pengakuan teman-temannya dibanding perjanjian yang dibuat oleh pihak desa. Mereka bahkan mengancam akan mogok sekolah jika DF tetap masuk,” ujar Hadisan.
Sebagai kepala sekolah, Hadisan merasa tidak bisa memaksakan DF untuk tetap mengajar apabila mayoritas siswa telah menolaknya.
“Saya tidak bisa memaksakan DF untuk tetap mengajar jika para siswa sudah menolaknya. Sebagai kepala sekolah, saya bertanggung jawab agar kegiatan belajar mengajar tetap berjalan dengan baik. Jika siswa tidak mau masuk, bagaimana sekolah bisa tetap berjalan?” tuturnya.
Meskipun sudah tidak mengajar sejak protes siswa berlangsung, secara administrasi status DF masih tercatat sebagai guru aktif dalam sistem Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Menurut Dinas Pendidikan, seorang guru baru bisa diberhentikan jika sudah ditetapkan sebagai tersangka. Saat ini, kasus DF masih dalam tahap penyidikan, sehingga ia masih berstatus guru aktif.
Di tengah aksi protes siswa, berbagai tulisan kecaman terhadap DF mulai bermunculan di lingkungan sekolah. Namun, hingga kini tidak ada tindakan kekerasan fisik terhadap DF.
Hadisan pun mengambil langkah antisipatif dengan mengingatkan siswa agar tidak bertindak anarkis.
“Saya juga mengingatkan siswa agar tidak bertindak anarkis terhadap DF. Saya bahkan memanggil beberapa siswa yang saya khawatirkan bisa bertindak agresif untuk menegaskan bahwa mereka tidak boleh menyentuh DF secara fisik. Saya tidak ingin ada siswa yang terlibat masalah hukum karena tindakan di luar batas dan memastikan mereka tetap bisa belajar dengan nyaman,” ungkapnya.
Menyadari dampak besar yang terjadi di sekolah, Kepala Sekolah Hadisan Nasution berinisiatif untuk menggelar mediasi dengan berbagai pihak guna mencari solusi terbaik.
Hadisan menjelaskan bahwa ia awalnya mencari tahu apakah kasus ini telah sampai ke pihak desa. Dari informasi yang diperoleh, kejadian tersebut terjadi di luar jam sekolah, tepatnya pada malam hari, di rumah DF. Beberapa siswa diketahui sering bermain di rumah DF karena fasilitas yang menarik bagi mereka.
“Karena kejadian ini terjadi di luar lingkungan dan jam sekolah, saya menganggap ini sebagai ranah desa. Namun, melihat kondisi sekolah yang mulai kacau, saya berinisiatif mengundang kepala desa, Bhabinkamtibmas, orang tua korban, terduga pelaku, komite sekolah, serta beberapa pihak terkait agar masalah ini bisa diselesaikan dengan jelas,” ujar Hadisan.
Dalam pertemuan tersebut, Hadisan menyampaikan bahwa pihak sekolah telah menerima laporan mengenai dugaan tindakan asusila yang dilakukan DF terhadap empat siswa. Ia menegaskan bahwa kejadian ini berdampak langsung pada sekolah, mengganggu ketenangan siswa, dan berpotensi menghambat kegiatan belajar mengajar.
Para orang tua korban dalam pertemuan itu meminta DF untuk mengakui perbuatannya. Bahkan, pihak desa dan Bhabinkamtibmas turut menyarankan agar DF mengakui perbuatannya jika memang bersalah, sehingga proses hukum bisa berjalan lebih mudah. Namun, DF tetap bersikukuh membantah semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya.
Dugaan kasus asusila ini sudah bergulir ke ranah hukum. Setelah pihak sekolah berkoordinasi dengan UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), laporan resmi pun dibuat ke Polres Kepulauan Meranti. Kasus ini kini didampingi oleh Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos) dari Kementerian Sosial RI, Erma Indah Fitriana.
Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Kepulauan Meranti, Bripka Dessy Suwita Dewi, mengungkapkan bahwa penyelidikan kasus ini telah dimulai sejak Desember 2024. Namun, prosesnya mengalami hambatan akibat kesulitan menghadirkan saksi.
"Kasus ini sudah kami tangani sejak Desember lalu. Awalnya, laporan dibuat oleh UPTD PPA setelah adanya koordinasi dengan pihak sekolah. Namun, penyelidikan berjalan lambat karena orang tua korban melarang anak-anak mereka untuk datang memberikan keterangan," ujar Bripka Dessy.
Berdasarkan penyelidikan, kejadian ini terjadi sejak tahun 2022, tetapi baru terungkap pada 2024 setelah para korban berani bersuara. Dugaan pelecehan dilakukan secara terpisah terhadap empat korban, semuanya dilakukan di rumah DF.
Menurut laporan, DF menggunakan taktik dengan menyediakan WiFi gratis dan mengajak anak-anak bermain game di rumahnya. Setelah larut malam, ketika anak-anak tertidur, DF diduga melakukan aksi bejatnya dengan membuka celana korban dan cara perbuatan cabulnya semua sama yakni alat kelamin nya yang dihisap.
Kasus ini semakin mendapat perhatian publik setelah terungkap bahwa DF kini didampingi oleh lima pengacara sekaligus untuk membela dirinya. Kehadiran tim hukum ini diduga untuk mempersiapkan alibi serta strategi pembelaan saat pemeriksaan lebih lanjut dilakukan oleh pihak berwenang.
Kini, masyarakat menanti perkembangan lebih lanjut dari kasus ini. Apakah DF akan terbukti bersalah dan menerima hukuman yang setimpal? Ataukah proses hukum akan menghadapi kendala lebih besar akibat berbagai faktor yang menghambat jalannya penyelidikan? Yang jelas, publik berharap keadilan dapat ditegakkan demi melindungi hak-hak anak dan menjaga integritas dunia pendidikan.
Situasi ini memperlihatkan betapa kompleksnya penanganan kasus dugaan asusila di lingkungan pendidikan. Banyak pihak kini menantikan langkah konkret dari aparat penegak hukum untuk menyelesaikan masalah ini secara adil dan transparan. (R-01)