Abdul Wahid-SF Hariyanto Didesak Bersihkan Pungli dan Bisnis Sektor Pendidikan: Mereka Harus Tahu Kinerja Disdik Riau!

Gubernur dan Wakil Gubernur Riau, Abdul Wahid-SF Hariyanto. Foto: SM News
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Pemimpin baru Provinsi Riau, Abdul Wahid diminta untuk segera membereskan persoalan dugaan bisnis dan pungli sarat korupsi yang terjadi pada sektor pendidikan di Provinsi Riau. Gubernur Riau diminta untuk mengevaluasi kinerja satuan kerja Dinas Pendidikan Provinsi Riau untuk memastikan penyelenggaraan pendidikan tidak membebani masyarakat bawah.
"Gubernur dan Wakil Gubernur Riau yang baru diminta untuk membersihkan pendidikan Riau dari dugaan pungli dan bisnis yang sarat akan tindakan koruptif," kata praktisi hukum Yogi Ramadhan Dwiputra SH, MH kepada SabangMerauke News, Senin (3/5/2025).
Beragam modus pungli dan bisnis masih mewarnai penyelenggaraan pendidikan di Riau. Misalnya saja dugaan bisnis seragam sekolah siswa baru yang berlangsung saban tahun.
Media SabangMerauke News dalam investigasinya pada Oktober 2024 lalu, menemukan potensi bisnis seragam sekolah tingkat SMA dan SMK Negeri di Provinsi Riau mencapai Rp 174 miliar. Pihak yang berperan dalam bisnis seragam ini diduga kuat yakni komite sekolah, pihak sekolah dan terjadinya pembiaran oleh Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Riau.
Ironisnya, sejak terungkapnya cuan bisnis seragam siswa baru tersebut, praktis tidak ada respon dan tindakan konkret dari Dinas Pendidikan Riau, selalu otoritas yang paling berwenang untuk mengendalikannnya.
"Dinas Pendidikan Riau tidak sensitif terhadap polemik bisnis seragam siswa baru. Seolah-olah mereka tutup mata. Gubernur harus tahu tentang kinerja Disdik Riau. Dan harus ada evaluasi sebagai konsekuensi sikap Disdik tersebut," kata Yogi.
Yogi yang pernah mendapatkan penghargaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, menilai ada keanehan dengan sikap tidak responsif yang dipertontonkan Disdik Riau.
"Ada apa kok Dinas Pendidikan terkesan diam? Apalagi ini ada potensi dugaan profit cuan yang sangat besar. Jangan biarkan masyarakat punya stigma negatif terhadap pendidikan Riau. Apa yang membuat Disdik Riau seolah-olah tidak bisa berbuat apa-apa?," sindir Yogi.
Yogi menegaskan, seragam siswa baru menjadi persoalan dari tahun ke tahun yang membebani orangtua dan para wali murid. Penetapan harga seragam di atas tarif pasar, diduga menjadi sumber cuan bagi pihak-pihak yang terlibat.
"Disdik harus bisa menjadi leading by example atau contoh yang baik dalam pemberantasan korupsi. Tapi, adanya dugaan pembiaran bisnis di lingkungan sekolah, menguatkan kesan kalau nilai-nilai antikorupsi justru melestari di sektor pendidikan di Riau," kata Yogi.
Sementara itu, Plt Kepala Disdik Riau Edi Rusma Dinata, sejak Rabu, 26 Februari 2025 lalu telah dikonfirmasi ikhwal polemik bisnis seragam siswa baru. Namun, Edi Rusma tak menggubrisnya.
"Jika tahun ini, tidak ada tindakan konkret Disdik Riau menghentikan praktik bisnis seragam sekolah dan dugaan pungli di sekolah, maka ini namanya pembiaran. Saya yakin, Gubernur Abdul Wahid akan segera menertibkan hal ini," kata Yogi.
Saling Tuding
Bisnis pengadaan seragam siswa SMA dan SMK Negeri di Riau tak pernah serius dituntaskan. Pemprov Riau tak kunjung mengambil sikap yang jelas untuk menghentikan bisnis tahunan yang kerap membuat masyarakat kesulitan.
Alih-alih menyelesaikan masalah ini, sejumlah pihak justru saling tuding. Seorang pejabat Dinas Pendidikan Provinsi Riau menyebut Forum Komite SMA/SMK Negeri mencari proyek.
Tudingan itu bermula dari terbitnya surat Forum Komite berisi rekomendasi patokan harga seragam siswa SMA dan SMK Negeri di Riau pada 19 Juli 2024. Surat itu ditujukan kepada Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA/SMK Negeri, Kepala SMA/SMK Negeri, Ketua Komite SMA/SMK Negeri dan Ketua Forum Komite SMA/SMK/SLB Negeri tingkat kabupaten dan kota se Provinsi Riau.
Isi surat tersebut tentang acuan harga paket seragan siswa SMA seharga Rp 1.750.000 dan siswa SMK sebesar Rp 2.100.000. Belakangan, keberadaan surat itu jadi pergunjingan. Dinas Pendidikan Provinsi Riau pada Rabu, 9 Oktober lalu menggelar rapat memanggik Forum Komite dan sejumlah stakeholder pendidikan di Riau.
Berselang lima hari setelah pelaksanaan rapat, Forum Komite pada 14 Oktober 2024 mencabut surat tersebut.
"Mereka (Forum Komite) hanya mencari proyek, dengan datang ke sekolah-sekolah, dan minta di situ bagian, bagiannya apa, masalah harga," kata seorang pejabat Dinas Pendidikan Riau.
Pejabat Disdik Riau itu menyebut keberadaan Forum Komite membingungkan. Dinas Pendidikan tidak mengenal istilah Forum Komite. Dasar pembentukan organisasi Forum Komite juga bukan diterbitkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Riau.
"Forum komite, jujur kami cut. Kami tidak ada yang namanya Forum Komite. Dinas Pendidikan tidak mengeluarkan SK," katanya lagi.
Menurut pejabat tersebut, keberadaan Forum Komite justru tidak menjalankan fungsi utamanya, yakni melakukan pengawasan terhadap sekolah. Seharusnya Forum Komite melindungi orang tua siswa atau wali murid.
"Kan seharusnya Forum Komite ini mendeteksi permasalahan di sekolah yang merugikan orang tua atau wali murid, kemudian melaporkan ke Disdik. Karena itulah tugasnya," kata pejabat Disdik tersebut.
Surat Patokan Harga Seragam Dicabut
Setelah heboh bisnis seragam siswa SMA/ SMK Negeri menjadi bahan pemberitaan berjilid-jilid di media ini, Forum Komite SMA/SMK Negeri Provinsi Riau akhirnya mencabut surat rekomendasi harga seragam yang pernah mereka terbitkan. Surat rekomendasi yang dicabut berisi acuan harga seragam yang diberlakukan untuk siswa SMA/SMK Negeri se- Provinsi Riau tahun 2024.
Dalam surat pertamanya tertanggal 19 Juli 2024 bernomor 226/FORKOM/RIAU/VII-2024, Forum Komite menetapkan acuan harga seragam siswa SMA Negeri sebesar Rp 1.750.000. Sementara untuk siswa SMK Negeri, harga acuan seragam sebesar Rp 2.100.000.
Pencabutan surat rekomendasi acuan harga seragam itu, dituangkan dalam surat Forum Komite tertanggal 14 Oktober 2024 lalu. Surat bernomor 07/FORKOM/RIAU/X-2024 itu, ditandatangani oleh Ketua Umum Forum Komite, Delisis Hasanto dan Sekretaris Umum, Emi Afrijon.
"Menyikapi situasi dan kondisi pada akhir-akhir ini, pengurus Forum Komite Provinsi Riau mengambil keputusan menarik dan mencabut surat nomor 226/FORKOM/RIAU/VII-2024 tertanggal 19 Juli 2024 yang telah dikeluarkan," demikian isi surat terbaru Forum Komite.
Pencabutan surat rekomendasi harga seragam siswa itu, kabarnya karena desakan sejumlah pihak, termasuk Dinas Pendidikan Riau. Dinas Pendidikan Riau sebagai otoritas pendidikan tak mau disalahkan soal bisnis seragam siswa yang terus menjadi proyek tahunan. Namun sampai saat ini, Dinas Pendidikan maupun Pemprov Riau tidak punya sikap yang konkret soal bisnis seragam siswa di sekolah negeri.
Itu sebabnya, pada Rabu, 9 Oktober 2024 lalu, Dinas Pendidikan Riau menggelar pertemuan yang dihadiri sejumlah instansi terkait pendidikan, termasuk Forum Komite dan PGRI. Forum Komite kabarnya menjadi sasaran tembak peserta rapat, sementara institusi lain seakan lepas tangan.
"Kami pun tidak setuju dengan isi surat Forum Komite tersebut dan meminta dicabut karena bertentangan dengan peraturan yang ada," kata Ketua PGRI Riau, Adolf Bastian kepada SabangMerauke News, Oktober tahun lalu.
Ketua Forum Komite, Delisis Hasanto beralasan pencabutan surat dilakukan karena adanya multi penafsiran terhadap isi surat. Selain itu, surat yang lembaganya terbitkan dimanfaatkan oleh oknum tertentu.
Ia mengklaim, Forum Komite sebagai perwakilan masyarakat dan orang tua/wali peserta didik di sekolah yang bersifat independen.
"Surat itu sifatnya memberitahu melalui tembusam surat," kata Delisis.
Namun, meski surat patokan harga seragam versi Forum Komite telah dicabut pekan lalu, faktanya tak mengubah kewajiban orangtua siswa untuk membayar uang seragam anaknya.
"Kami masih diminta membayar Rp 1,7 juta. Belum ada perubahan harga. Maunya harga seragam itu sesuai dengan harga pasar," kata Marni, wali murid SMA Negeri di Pekanbaru.
Penelusuran SabangMerauke News, penetapan harga tersebut dinilai jauh dari harga pasar yang ditetapkan oleh pengusaha konveksi atau tukang jahit di Pekanbaru. Temuan lapangan, harga pasar seragam siswa SMA hanya sebesar Rp 1.100.000 atau selisih lebih dari Rp 600 ribu per paket seragam yang terdiri dari 6 stel pakaian. Ditaksir, keuntungan cuan bisnis seragam ini mencapai 35 persen.
Aparat Hukum Bisa Mengusut
Sebelumnya diwartakan, aparat penegak hukum diminta bersikap dan mengambil tindakan terkait praktik bisnis yang berlangsung di sekolah di Riau. Secara khusus, langkah hukum bisa dilakukan terhadap proyek seragam siswa baru SMA/SMK Negeri di Riau yang nilai cuannya tembus hingga Rp 174 miliar tahun ini yang sarat pungutan liar (pungli) maupun gratifikasi.
Direktur Badan Advokasi Publik, Dr Rawa El Amady menyatakan, seharusnya aparat penegak hukum mengusut masalah tersebut agar praktik komersialisasi pendidikan bisa dihentikan.
"Aparat penegak hukum bisa masuk mengusutnya. Karena bisnis seragam siswa di sekolah itu merupakan pelanggaran terhadap aturan," kata Rawa El Amady kepada SabangMerauke News, Rabu (9/10/2024) lalu.
Menurutnya, terus berlanjutnya bisnis di sekolah tidak saja terkait seragam siswa, namun juga jual beli buku dan pungutan lainnya. Pihak sekolah selalu beralibi bahwa pengadaan kebutuhan siswa itu telah mendapat stempel legalisasi dari keputusan komite sekolah.
"Diduga kuat pihak sekolah bekerja sama dengan komite sekolah," kata Rawa.
Meski negara tidak secara langsung dirugikan dalam bisnis seragam siswa, namun ada pihak-pihak yang mendapat keuntungan langsung dari bisnis tersebut. Padahal, bisnis di lingkungan sekolah telah dilarang keras. Itu sebabnya, Rawa menilai bisnis di lingkungan sekolah bisa digolongkan masuk dalam kategori pungutan liar (pungli).
Namun, jika keuntungan bersifat ilegal dari bisnis seragam siswa di sekolah dinikmati oleh Aparatur Sipil Negara (ASN), maka peristiwa tersebut bisa dijerat dengan penerimaan hadiah atau gratifikasi yang merupakan salah satu dari jenis korupsi.
"Jadi bisa saja masuk dalam kategori pungli atau gratifikasi," terang Rawa.
Persoalan bisnis pengadaan seragam siswa SMA/SMK Negeri di Riau juga membuka masalah baru, terkait dengan kewajiban pembayaran pajak.
Rawa menyatakan, pembiaran terjadinya bisnis di lingkungan sekolah oleh otoritas terkait lekat hubungannya dengan perilaku bernuansa korupsi. Sebab korupsi tidak berdiri sendiri, namun berawal dari jenjang paling bawah sampai paling atas yang menutup mata atas bisnis-bisnis di lingkungan sekolah.
"Itu sarat gratifikasi. Pembiaran ini terjadi lekat hubungannya dengan korupsi," kata Rawa El Amady.
Rawa mengeritisi paradigma pendidikan yang belum berubah, karena pendidikan justru dipandang sebagai kegiatan bisnis atau kapitalisasi.
"Ada budaya permisif terhadap korupsi yang terjadi di pendidikan kita. Hal itu disetujui oleh orang tua murid dengan alasan rasa takut. Akhirnya praktik ini berkembang subur dan berkelanjutan," kata Rawa yang merupakan antropolog alumnus Universitas Indonesia ini.
Ia menyoroti ketidakpedulian pemerintah pada praktik sarat korupsi di lingkungan pendidikan.
6 Praktik Bisnis di Sekolah
Rawa El Amady menyinggung soal temuan hasil investigasi yang pernah dilakukan Badan Advokasi Publik pada 2016 lalu di Provinsi Riau. Pihaknya mendapati sedikitnya ada 6 praktik bisnis yang sarat korupsi di lingkungan sekolah di Riau.
"Ironisnya, sampai saat ini praktik itu masih terus terjadi," kata Rawa.
Adapun praktik bisnis di sekolah yang ditemukan Badan Advokasi Publik yakni mulai dari bisnis seragam atau pakaian siswa baru. Kemudian praktik perdagangan bangku (kursi) calon siswa yang diduga ada peran calo.
Bisnis ketiga yang masih gencar terjadi yakni jual beli buku. Ada pula bisnis pernak-pernik sekolah dan bisnis event organizer misalnya untuk acara perpisahan atau darmawisata siswa.
Bisnis terakhir yang juga terjadi yakni bimbingan belajar, dimana sekolah memungut biaya tambahan dari siswa.
Nilai Cuan Bisnis Seragam
Dari mana muncul perhitungan bisnis seragam siswa SMA/SMK Negeri se Riau mencapai Rp 174 miliar tersebut?
Berdasarkan data yang dirilis Dinas Pendidikan lewat laman website Dewan Pendidikan Riau pada 27 Mei 2024 lalu, daya tampung siswa SMA dan SMK Negeri tahun 2024 mencapai 92.965 siswa. Jumlah tersebut terdiri dari 60.515 siswa SMA Negeri dan sebanyak 32.450 siswa SMK Negeri se Provinsi Riau.
Namun diyakini, jumlah siswa SMA/SMK Negeri yang diterima tahun 2024 ini jauh lebih besar dari daya tampung versi Dinas Pendidikan Riau tersebut. Karena faktanya, setelah Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Online ditutup, justru banyak terjadi penambahan siswa baru. Bahkan, siswa yang bertambah itu diduga masuk di tengah jalan, saat kegiatan pembelajaran sudah berlangsung beberapa pekan lamanya.
Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti berapa jumlah siswa SMA/SMK Negeri se Provinsi Riau yang diterima pada tahun 2024 ini.
Mari kita gunakan saja data daya tampung siswa SMA/SMK Negeri se Provinsi Riau yang pernah dirilis Dinas Pendidikan Riau tahun 2024, untuk menghitung nilai kapital bisnis seragam siswa tahun ini.
Berikut perhitungannya:
Nilai Bisnis Seragam Siswa SMA Negeri
Daya tampung: 60.515 siswa
Biaya seragam per siswa: Rp 1.750.000
Nilai bisnis seragam: Rp 105,9 miliar
Nilai Bisnis Seragam Siswa SMK Negeri
Daya tampung: 32.450 siswa
Biaya seragam per siswa: Rp 2.100.000
Nilai bisnis seragam: Rp 68,14 miliar
Jika nilai bisnis seragam siswa SMA dan SMK Negeri se Provinsi Riau dijumlahkan, maka nilainya lebih dari Rp 174 miliar. Angka itu belum termasuk perhitungan tambahan siswa yang diterima setelah PPDB Online ditutup. (R-03/KB-04/Adri)