Netizen Meradang ke Pertamina Gara-gara Kasus Korupsi Rp 193 Triliun Terbongkar: Gak Ketolong Nih Negara!

Media sosial kembali diramaikan oleh kemarahan warganet menyusul terbongkarnya skandal korupsi besar-besaran di PT Pertamina. Foto : Istimewa
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Media sosial kembali diramaikan oleh kemarahan warganet menyusul terbongkarnya skandal korupsi besar-besaran di PT Pertamina. Kasus yang diungkap Kejaksaan Agung (Kejagung) ini menguak praktik curang di anak perusahaan Pertamina, PT Pertamina Patra Niaga, di mana Pertalite (RON 90) diduga dioplos dan dijual sebagai Pertamax (RON 92) dengan harga lebih mahal.
Skandal ini tidak hanya merugikan negara hingga Rp193,7 triliun. Tetapi juga memicu gelombang kekecewaan dan kemarahan di kalangan masyarakat, terutama pengguna bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi.
Berdasarkan keterangan Kejagung, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, bersama enam tersangka lainnya, terlibat dalam praktik manipulasi BBM yang berlangsung selama periode 2018-2023. Modusnya terbilang licik: perusahaan memesan dan membayar BBM dengan spesifikasi Pertamax (RON 92), tetapi yang diimpor adalah Pertalite (RON 90) atau bahkan kualitas lebih rendah.
BBM tersebut kemudian dicampur di depo atau storage untuk disulap menjadi "Pertamax" dan dijual ke masyarakat dengan harga premium. Praktik ini jelas melanggar aturan, karena pencampuran semestinya hanya dilakukan oleh Kilang Pertamina Internasional, bukan anak perusahaan seperti Patra Niaga.
Tidak hanya itu, skandal ini juga melibatkan mark-up biaya pengiriman impor BBM sebesar 13-15%, yang menguntungkan pihak broker swasta. Akibatnya, harga dasar BBM menjadi lebih mahal, membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk subsidi dan kompensasi, serta merugikan konsumen yang membayar lebih untuk kualitas yang tidak sesuai.
Warganet Murka
Pengungkapan kasus ini langsung memicu reaksi keras di platform media sosial seperti X. Banyak warganet yang merasa dikhianati oleh perusahaan milik negara yang seharusnya melayani kepentingan rakyat.
"Bahkan saat berniat baik pakai Pertamax karena merasa tak berhak disubsidi pun, kita tetap ditipu di negara ini," ujar aktivis Dandhy Laksono.
"Di Indonesia, orang taat bayar PBB dibalas pakai sertifikat tanah ganda. Orang beli pertamax biar subsidi bisa tepat sasaran dibalas pakai BBM oplosan. Orang taat bayar pajak dibalas pakai pejabat publik yang gak kompeten. Gak ketolong ini negara," kata @The_RedsIndo.
"Jadi selama ini kita beli Pertamax yang sebenernya itu Pertalile yang dioplos. Dan yang ngoplos itu distributornya sendiri. Sebagai orang yang berusaha mempertahankan nasionalisme dengan membeli Pertamax untuk semua kendaraan, untuk saya ini bgst banget," ujar @KentLavis.
"Puluhan juta orang pemakai Pertamax selama ini dibohongi begundal pejabat Pertamina. Pertamax yang kita beli itu adalah Pertalite yang dicampur 🤐 Orang-orang baik yang selama ini berusaha membeli BBM Non subsidi, dikerjain sama penjahat yang layak dihukum mati," tutur @MoXweet.
"Pantesan.. kok perasaan aku mesin motorku suaranya agak kasar padahal pakainya pertamax. Ya sudahlah. Bye-bye pemerintah. Saya setia pakai pertamax tapi dikhianati begini. Bulat sudah tekad saya pindah ke pom bensin lain. Mahal, mahal dah. Biaya perbaikan mesin lebih berat," ungkap @yumn_yumi.
"Ingat teman-teman! Pertamax adalah pertalite yang tidak antri! Gila bener kita selama ini dibohongi direksi-direksi bangsat itu! Semoga matinya terbakar pertamax oplosan lu! Se-Indonesia lu kibulin sejak 2018 satt!" ujar @pararealmen.
Penjelasan Kejagung
Sebelumnya diwartakan, Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali membongkar skandal dugaan megakorupsi yang merugikan negara mencapai ratusan triliun. Kasus yang diungkap yakni dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina, sub holding dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) tahun 2028 sampai dengan 2023.
Dalam perkara ini, Kejagung menetapkan tujuh orang tersangka, salah satunya yakni Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS).
"Tim penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus telah mendapatkan alat bukti yang cukup untuk menetapkan 7 orang tersangka," seperti dilansir dari keterangan resmi Kejagung, pada Selasa (25/2/2025).
Selain Riva, enam tersangka lain yakni Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional berinisial SDS, kemudian YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim, dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Menurut Kejagung, pada 2018 sampai 2023, pemenuhan minyak mentah dalam negeri seharusnya wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri, termasuk kontraktornya juga harus dari dalam negeri, sebelum merencanakan impor minyak bumi.
Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri.
Namun, berdasarkan penyidikan Kejagung, Riva dan tersangka SDS serta AP melakukan pengkondisian dalam Rapat Optimasi Hilir (OH) yang dijadikan dasar untuk menurunkan readiness/produksi kilang.
Sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya dan akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang diperoleh dari impor.
Pada saat produksi kilang sengaja diturunkan, menurut Kejagung, produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS sengaja ditolak dengan fakta sebagai berikut:
1. Produksi minyak mentah KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan masih masuk range harga HPS.
2. Produk minyak mentah KKKS dilakukan penolakan dengan alas an spesifikasi tidak sesuai (kualitas) kilang, tetapi faktanya minyak mentah bagian negara masih sesuai kualitas kilang dan dapat diolah.dihilangkan kadar merkuri atau sulfurnya.
Saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan berbagai alasan, hal itu yang menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan penjualan keluar negeri (ekspor).
Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, maka PT Kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang. Hanya saja, terdapat perbedaan harga yang tinggi antara minyak impor dan minyak mentah dari dalam negeri.
Permufakatan Jahat
Dalam penyidikannya, pihak Kejagung menemukan fakta adanya permufakatan jahat (mens rea) pada kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga antara tersangka SDS, AP dan RS dengan tersangka YF bersama DMUT/Broker yakni tersangka MK, DW, dan GRJ sebelum tender dilaksanakan.
Para pihak tersebut menyepakati mengatur harga dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara.
"Pemufakatan tersebut, diwujudkan dengan adanya tindakan (actus reus) pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang sehingga seolah-olah telah dilaksanakan sesuai ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan DMUT/Broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi (spot) yang tidak memenuhi persyaratan," ungkap Kejagung.
Caranya yakni tersangka RS, SDS dan AP memenangkan DMUT/Broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum.
Tersangka DM dan GRJ juga berkomunikasi dengan tersangka AP untuk dapat memperoleh harga tinggi (spot) pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari SDS untuk impor minyak mentah serta dari RS untuk impor produk kilang.
Dugaan Oplos
Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Kejagung mengungkapkan bahwa tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92.
Padahal, sebenarnya, RS hanya membeli Ron 90 atau lebih rendah, kemudian dilakukan blending di storage/depo untuk menjadi Ron 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan.
Pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, Kejagung juga menemukan fakta adanya mark up kontrak shipping (pengiriman) yang dilakukan oleh tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping sehingga negara mengeluarkan fee sebesar 13-15 persen secara melawan hukum sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut.
"Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP (Harga Index Pasar) Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN," ungkap Kejagung.
Akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, telah mengakibatkan adanya kerugian negara sekitar Rp 193,7 triliun, dengan rincian kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp 35 triliun.
Kemudian, kerugian impor minyak mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp 2,7 triliun, kerugian impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp 9 triliun, kerugian pemberian kompensasi (2023) sekitar Rp 126 triliun dan kerugian pemberian subsidi (2023) sekitar Rp 21 triliun.
Akibat perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. (R-04)