Bobroknya Kinerja Bidang PPA Dinsos-P3AP2KB Kepulauan Meranti Tangani Kasus Anak, Prestasi KLA Hanya Seremonial
Kekerasan terhadap anak. Foto: Dok SM News
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Predikat Kabupaten Layak Anak (KLA) kategori Nindya yang disandang oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kepulauan Meranti tampaknya belum sepenuhnya mencerminkan kondisi di lapangan. Alih-alih menjadi daerah yang benar-benar ramah anak, realitas yang terjadi justru bertolak belakang dengan penghargaan yang telah diraih.
Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kepulauan Meranti belakangan ini menjadi alarm bahaya yang seharusnya mendapat perhatian serius. Namun, dalam praktiknya, penanganan kasus-kasus tersebut tampaknya tidak dilakukan dengan optimal, sehingga banyak korban yang akhirnya tidak mendapatkan hak mereka secara layak.
Komitmen dan Implementasi yang Tidak Sejalan
Mendapatkan predikat KLA kategori Nindya tentu membutuhkan berbagai program dan kebijakan yang mendukung perlindungan serta kesejahteraan anak. Namun, apakah gelar ini benar-benar mencerminkan kondisi di lapangan?
Pada kenyataannya, banyak korban kekerasan seksual anak yang tidak mendapatkan pendampingan memadai. Bahkan, koordinasi antarinstansi terkait masih lemah, sehingga penanganan kasus sering kali dilakukan secara parsial tanpa adanya sinergi yang kuat antara pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan lembaga pendampingan anak.
Seharusnya, program yang dirancang untuk menanggulangi kekerasan terhadap anak tidak hanya berorientasi pada pencitraan semata, melainkan benar-benar bertujuan untuk memenuhi hak-hak korban, terutama dalam aspek psikologis, pendidikan, dan pemulihan mereka.
Jika situasi ini terus dibiarkan, maka predikat Kabupaten Layak Anak di Kepulauan Meranti hanyalah sebatas gelar tanpa makna—sebuah penghargaan yang tidak sejalan dengan kenyataan yang dihadapi oleh anak-anak korban kekerasan di daerah tersebut.
Diperlukan langkah nyata dari pemerintah daerah untuk memastikan implementasi kebijakan perlindungan anak berjalan dengan efektif. Jika tidak, penghargaan KLA yang diraih hanya akan menjadi sekadar "lip service" yang tidak membawa perubahan nyata bagi kesejahteraan anak-anak di Kepulauan Meranti.
Ketika Hak Anak Terabaikan: Dinsos Kepulauan Meranti Dinilai Tidak Berpihak
Sebagai leading sector dalam penanganan kasus perempuan dan anak, Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (Dinsos P3AP2KB) Kabupaten Kepulauan Meranti seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi dan memenuhi hak anak. Namun, realitas di lapangan justru menunjukkan hal yang berbeda.
Kepala Dinsos P3AP2KB Kepulauan Meranti, Kamisah, dinilai tidak berpihak dalam upaya penanganan kasus perempuan dan anak di kabupaten termuda di Riau ini. Sebagai pemegang kebijakan di OPD tersebut, ia justru terlihat abai dan bahkan terkesan menghambat pemenuhan hak anak.
Hal ini disampaikan oleh Erma Indah Fitriana, Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos) dari Kemensos RI, yang setiap hari berhadapan langsung dengan berbagai kasus anak. Menurut Indah, selama ini ia bekerja tanpa dukungan nyata dari Dinsos P3AP2KB, meskipun OPD tersebut seharusnya menjadi mitra utama dalam penanganan kasus-kasus yang melibatkan perempuan dan anak.
Kondisi yang sudah berlangsung lama itu terpaksa ia ceritakan mengingat pekerjaan yang dilakoni sangat membutuhkan dukungan dan sentuhan kebijakan dari seorang kepala Dinsos P3AP2KB khususnya pada Bidang Pelayanan Perempuan dan Anak.
Indah mengungkapkan bahwa dalam menangani kasus perempuan dan anak, ia harus terjun langsung ke lapangan. Mengingat Kepulauan Meranti terdiri dari wilayah perairan dan pulau-pulau kecil, mobilitas tinggi sangat dibutuhkan untuk memberikan pendampingan yang efektif. Namun, tantangan terbesar yang dihadapinya bukan hanya medan yang sulit, melainkan minimnya dukungan dari pemerintah daerah.
“Untuk turun ke lapangan saja, saya harus menggunakan biaya pribadi. Padahal, hak anak sudah dianggarkan dan tercatat dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) yang berasal dari APBN melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) kurang lebih Rp 600 juta. Tapi setiap kali diminta, Kepala Dinas selalu mengatakan bahwa anggaran tidak ada,” ujar Indah.
Ironisnya, bukan hanya anggaran yang tidak disalurkan sesuai peruntukan, prioritas penggunaan dana di Dinsos P3AP2KB pun patut dipertanyakan. Alih-alih mengalokasikan anggaran untuk pemenuhan hak anak dan pendampingan korban kekerasan, dinas tersebut justru hanya menganggarkan uang saku bagi pendamping. Sementara sebagai contoh, anggaran untuk biaya visum korban maupun transportasi rujukan psikolog yang dianggap sangat penting saja tidak dianggarkan.
Situasi ini menjadi tamparan keras bagi pemerintah daerah. Jika leading sector yang seharusnya berperan aktif dalam perlindungan anak justru menghambat penanganan kasus, maka predikat Kabupaten Layak Anak yang disandang Kepulauan Meranti hanya akan menjadi gelar tanpa makna.
Pemerintah daerah perlu segera mengambil langkah konkret untuk memastikan bahwa anggaran yang telah dialokasikan benar-benar digunakan sesuai peruntukannya. Pemenuhan hak anak bukan sekadar formalitas dalam dokumen perencanaan, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata.
Jika tidak, kasus kekerasan terhadap anak akan terus meningkat, sementara hak-hak mereka tetap terabaikan. Dan ketika itu terjadi, siapa yang akan bertanggung jawab?
Tidak hanya itu, Indah juga harus mengurus anak yang akan diadopsi untuk beberapa hari di rumah pribadinya dengan fasilitas seadanya. Dimana seharusnya untuk itu harus ada rumah aman.
"Dalam menangani kasus perempuan dan anak di desa-desa di Kepulauan Meranti kami harus turun langsung ke lapangan. Membawa mereka ke ibukota kabupaten sebelum dirujuk di pusat rehabilitasi di Kota Pekanbaru. Tentunya ada biaya transportasi, konsumsi dan penginapan yang harus dikeluarkan, namun itu tidak pernah kami dapatkan dengan alasan anggaran selalu tidak cukup dan tidak ada. Memang penganggarannya dibuat sistem klaim penggantian biaya, namun disitulah dibutuhkan kebijaksanaan dan kebijakan pimpinan," ungkapnya.
Karena tidak adanya dukungan yang bersifat moral dan materil, Indah harus bersusah payah dalam melakukan proses penanganan terhadap anak di lapangan. Tidak jarang, Indah harus merogoh saku untuk membiayai semua itu meskipun hingga saat ini belum ada diganti.
"Perlu saya ceritakan, saat pulang dari desa membawa anak-anak yang terjerat kasus ke Selatpanjang kami terpaksa menggunakan kapal kempang dan bahkan sampainya sudah malam untuk mengirit biaya. Sesampainya kami juga harus patungan membelikan makanan untuk anak-anak. Tanpa menunggu pagi, kami haruskan berangkat lagi ke Pekanbaru untuk menghindari biaya menginap di hotel sebelum sampai ke pusat rehabilitasi menggunakan kapal yang membawa sayur dan pernah menumpang mobil Dinas Bawaslu, lagi-lagi itu kami lakukan untuk mengirit biaya karena memang tak ada biaya yang dikeluarkan dinas, padahal kami butuh tapi tidak ditanggapi. Terkadang harus pakai uang pribadi saya dan hingga kini belum diganti," ungkapnya dengan sedih.
Indah selaku pekerja sosial yang bekerjasama dengan pihak kepolisian dalam melakukan penanganan kasus anak, merasa malu dengan tidak adanya dukungan dari OPD terkait.
"Saya sangat membutuhkan support sistem dari OPD. Saat ini saya merasa malu dengan pihak kepolisian, saya sudah pasang badan jadi tameng jaga nama baik dinas depan institusi yang melakukan penyelidikan tapi malah tidak ada dukungan," ungkapnya lagi.
Tidak hanya soal konsumsi dan transportasi saat pendampingan. Pekerja Sosial itu juga kecewa dengan adanya hak-hak anak yang belum terpenuhi seperti pendampingan Psikolog, visum dan lainnya, padahal anggarannya tertera jelas dalam DPA dan hal itu juga tercantum dalam undang-undang.
"Saya sangat kecewa karena adanya hak-hak anak yang tidak terpenuhi saat dilakukan pendampingan, padahal anggarannya jelas dalam DPA, selain itu masalah ini juga bagian dari amanat undang-undang," tuturnya.
Merasakan kecewa dengan kondisi tersebut, Indah mengancam akan mengkonfirmasi perpindahan tugasnya ke tempat lain.
"Sekarang begini saja, saya sudah lebih 10 tahun saya di Kepulauan Meranti ini, ditugaskan pusat itu untuk membantu anak-anak Meranti. Kalau memang dinas merasa tidak berkenan, saya bisa konfirmasi dengan pusat untuk pindah tugas," ujarnya.
Birokrasi Berbelit, Upaya Pendampingan Anak Dipersulit
Selain masalah anggaran yang tak kunjung jelas, Dinas yang dikomandoi Kamisah juga terkesan mempersulit pengurusan administrasi.
Indah selaku Sakti Peksos dari Kemensos RI, yang selama ini menjadi garda terdepan dalam pendampingan anak korban kekerasan. Ia menyebutkan, selain menghadapi berbagai tantangan di lapangan, ia juga kerap dipersulit dalam hal administratif oleh dinas yang seharusnya menjadi mitra dalam melindungi hak anak.
"Tidak hanya soal anggaran yang sering disebut tidak cukup dan tidak ada, terkadang administrasi pun ikut dipersulit dengan tidak ditekennya surat tugas (SPT). Setidaknya kalau dinas tidak bisa membantu dalam hal anggaran, janganlah membuat urusan saya untuk membantu anak-anak semakin ribet. Orang luar saja perhatian sama saya, dinas malah begini birokrasinya," ungkap Indah.
Surat Perintah Tugas (SPT) merupakan dokumen penting yang memungkinkan tenaga pendamping melakukan tugasnya secara resmi. Namun, menurut Indah, surat tersebut sering kali tidak ditandatangani oleh Kepala Dinas tanpa alasan yang jelas.
"Yang punya kewenangan menandatangani SPT di dinas itu Kepala Dinas, kita harus hormati juga kewenangan beliau. Lagian, ini cuma tanda tangan SPT saja kan? Begitu saja dipersulit. Yang menghalangi atau mempersulit saya dalam membantu anak-anak memperoleh haknya malah bisa dilaporkan ke pihak berwajib," ujarnya tegas.
Ketidakharmonisan dan Upaya Mengkotak-kotakkan Tugas
Indah juga mengungkapkan bahwa dirinya pernah dipanggil untuk berdiskusi dengan pihak dinas terkait perannya dalam pendampingan perempuan dan anak. Dalam diskusi tersebut, ia merasa ada upaya untuk membatasi ruang geraknya dengan dalih tugas dan fungsi (tupoksi).
"Saya ini oke-oke saja, hanya saja kemarin saya dipanggil diskusi bertiga, terkait bagaimana proses pendampingan perempuan dan anak ini bisa ditempatkan sesuai tupoksi. Sehingga nantinya saya pun tidak terus merasa tidak enak hanya karena melangkahi tupoksi bidang PPA," katanya.
Pernyataan ini mengindikasikan bahwa ada ketidakharmonisan dalam koordinasi antara dinas dan tenaga pendamping, yang pada akhirnya berdampak pada lambatnya penanganan kasus kekerasan terhadap anak di Kepulauan Meranti.
Jika persoalan administrasi dan birokrasi terus menghambat upaya perlindungan anak, maka pemerintah daerah harus segera turun tangan. Sebab, yang menjadi korban dari kebijakan yang tidak berpihak ini adalah anak-anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan pemenuhan hak-haknya.
Indah menyebutkan bukan saatnya lagi berdebat soal kewenangan, yang terpenting adalah bagaimana memastikan anak-anak korban kekerasan mendapatkan pendampingan dan perlindungan yang layak. Jika pihak berwenang justru menghambat upaya ini, maka label Kabupaten Layak Anak (KLA) yang disandang Kepulauan Meranti hanya sekadar slogan tanpa makna.
Kinerja Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di Dinas Sosial P3AP2KB Kabupaten Kepulauan Meranti semakin mendapat sorotan. Alih-alih terjun langsung dalam pendampingan korban, mereka justru lebih banyak bermain di ranah administratif yang tidak jelas.
Indikasi ini semakin kuat setelah muncul fakta bahwa sertifikasi milik Erma Indah Fitriana, seorang Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos) dari Kemensos RI, digunakan sebagai salah satu syarat untuk meningkatkan pencapaian bidang tersebut. Namun, ironisnya, Indah sendiri tidak pernah dianggap sebagai bagian dari mereka.
"Mereka hanya minta data saja untuk melengkapi syarat yang dicatat sebagai kinerja mereka, tetapi tidak pernah mau turun saat Restorative Justice dan Diversi," ujar Indah.
Restorative Justice dan Diversi merupakan pendekatan dalam sistem hukum yang menekankan penyelesaian kasus tanpa harus membawa anak ke pengadilan. Dalam praktiknya, pendekatan ini membutuhkan peran aktif dari Dinas Sosial sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas pemenuhan hak anak. Namun, yang terjadi di Meranti justru sebaliknya—pendampingan lebih banyak dilakukan oleh Indah seorang diri.
"Artinya jumlah kasus yang mereka laporkan tidak sesuai dengan jumlah yang mereka dampingi. Seharusnya mereka yang memberdayakan saya sebagai pekerja profesional, bukan saya yang malah sibuk karena tugas itu ada di mereka," tegasnya.
Fakta ini semakin memperjelas bahwa laporan kinerja yang dibuat oleh Bidang PPA di Dinsos P3AP2KB tidak mencerminkan realitas di lapangan. Jika administrasi yang dibuat hanya bertujuan untuk mendapatkan pengakuan tanpa tindakan nyata, maka hal ini bukan sekadar kelalaian, melainkan pembohongan publik.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka predikat Kabupaten Layak Anak (KLA) yang disandang oleh Kepulauan Meranti hanyalah formalitas tanpa makna. Apa gunanya laporan administratif yang terlihat sempurna jika anak-anak korban kekerasan tidak mendapatkan pendampingan yang seharusnya?
Tak hanya dari tenaga pendamping sosial, kritik terhadap Dinsos P3AP2KB Kepulauan Meranti juga datang dari pihak kepolisian.
Bripka Dessy Suwita Dewi, Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Kepulauan Meranti, juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap minimnya keterlibatan pemerintah daerah dalam penanganan kasus anak.
"Seharusnya, sebagai seorang perempuan, bisa lebih merasakan situasi seperti ini. Tapi ternyata tidak," ujar Dessy.
Menurutnya, saat kepolisian membutuhkan pendampingan dari Dinsos P3AP2KB, dinas terkait tidak pernah benar-benar siap dan selalu absen saat dibutuhkan.
"Pemerintah daerah seperti tidak hadir di sini. Tidak pernah standby saat kami minta untuk ikut mendampingi dalam hal memenuhi hak-hak anak. Kami tidak minta uang, tapi pikiran dan kebijakan yang kami butuhkan. Terkadang kami harus patungan untuk memenuhi hak korban. Saat menerima penghargaan, mereka berbondong-bondong, tapi implementasi di lapangan tidak ada," ungkapnya tegas.
Anak yang berhadapan dengan hukum sangat membutuhkan pendampingan. Sayangnya, Dinsos P3AP2KB yang seharusnya berperan aktif, justru kerap tidak menunjukkan empati dalam kasus-kasus yang membutuhkan kehadiran mereka.
"Sebenarnya, kalau mereka tidak ada pun kasus tetap bisa kami tangani. Tapi kami ingin koordinasi. Ini seperti mereka tidak punya peran sebagai pendamping dan tidak ada empati," lanjutnya.
Penghargaan yang Kontradiktif dengan Realitas
Kritik ini semakin mempertegas bahwa predikat Kabupaten Layak Anak yang disandang Kepulauan Meranti lebih banyak bersifat seremonial ketimbang benar-benar mencerminkan kondisi di lapangan.
Ketika kasus-kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat, seharusnya pemerintah daerah hadir dengan kebijakan yang proaktif. Namun, yang terjadi justru sebaliknya—para pihak yang berada di garda terdepan dalam menangani korban harus berjuang sendiri tanpa dukungan yang seharusnya mereka dapatkan.
Sebelumnya, Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), Desy yang dikonfirmasi mengatakan jika pihaknya baru bisa turun ke lapangan setelah mendapatkan disposisi langsung dari Kepala Dinas.
"Kami baru melakukan pendampingan dan turun ke lapangan jika sudah mendapatkan disposisi dari kepala dinas," ujarnya.
Namun, pernyataan ini justru bertentangan dengan fakta bahwa surat-surat dari kepolisian kerap dikirimkan saat kasus terjadi. Hal ini semakin menimbulkan pertanyaan mengenai prosedur koordinasi antarinstansi yang tampaknya tidak berjalan dengan baik.
Ketika ditanya mengapa pihaknya jarang terlibat langsung dalam pendampingan bersama Peksos yang selama ini sering bekerja sendirian, Desy berdalih bahwa pihaknya tetap melakukan upaya kolaborasi dengan UPT PPA dalam penanganan kasus.
"Kami dalam melakukan upaya penanganan terhadap anak juga berkolaborasi, hanya saja kami turun ke lapangan bersama dengan UPTD," katanya.
Salah satu isu utama yang mencuat adalah anggaran operasional untuk pendampingan kasus kekerasan seksual anak. Seharusnya, ada alokasi dana untuk operasional Peksos dalam menangani kasus di lapangan, termasuk biaya transportasi dan kebutuhan lainnya.
Namun, ketika ditanya mengenai anggaran tersebut, Desy justru menyatakan bahwa anggaran tersebut tidak berada di bawah bidangnya.
"Anggaran untuk itu tidak ada di kami, coba ditanyakan ke Bidang Sosial," jawabnya singkat.
Pernyataan ini semakin memperjelas bahwa ada masalah serius dalam koordinasi dan pengelolaan anggaran untuk penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak di Meranti.
Berdasarkan catatan, jumlah kasus kejahatan seksual terhadap anak terus bertambah setiap tahunnya. Dimana pada tahun 2023 tercatat 13 kasus dengan 15 korban. Selanjutnya pada tahun 2024,angka meningkat menjadi 14 kasus dengan 20 korban, termasuk 4 anak laki-laki. Selanjutnya pada tahun 2025 (Januari–Februari): Dalam dua bulan pertama saja sudah terdapat 7 kasus dengan 10 korban, termasuk 2 kasus yang melibatkan anak laki-laki. (R-01)