Kasus Pelecehan Seksual Anak di Kepulauan Meranti Meningkat, OPD Terkait Saling Lempar Tanggung Jawab, Predikat Kota Layak Anak Jadi Taruhan
Kasus pelecehan seksual anak. Foto: Dok SM News
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Kasus pelecehan seksual terhadap anak di Kabupaten Kepulauan Meranti terus meningkat dalam dua tahun terakhir. Lonjakan kasus ini menimbulkan keprihatinan mendalam, terutama karena korbannya terus bertambah setiap tahun.
Penegakan hukum terhadap pelaku memang menjadi bagian penting dalam menangani kasus ini. Namun, pencegahan juga harus menjadi prioritas utama. Sayangnya, upaya pemerintah daerah melalui Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (Dinsos-P3AP2KB) dinilai masih minim. Sejauh ini, belum terlihat langkah konkret dari pemerintah daerah dalam menekan angka kekerasan seksual terhadap anak.
Kondisi ini turut mencoreng prestasi Kabupaten Kepulauan Meranti yang sebelumnya meraih penghargaan Kota Layak Anak (KLA) kategori Nindya yang diraih pada tahun 2022 lalu. Predikat ini seharusnya mencerminkan lingkungan yang aman bagi anak-anak, namun kenyataannya, angka kasus pelecehan seksual justru meningkat.
Berdasarkan catatan, jumlah kasus kejahatan seksual terhadap anak terus bertambah setiap tahunnya. Dimana pada tahun 2023 tercatat 13 kasus dengan 15 korban. mayoritas pelaku adalah orang-orang terdekat seperti ayah tiri, guru, tetangga, pacar, hingga kenalan dari media sosial.
Selanjutnya pada tahun 2024,angka meningkat menjadi 14 kasus dengan 20 korban, termasuk 4 anak laki-laki. Pelaku masih berasal dari lingkaran terdekat korban, bahkan ada yang dilakukan oleh ayah kandung, guru, ayah tiri, dan kakek kandung.
Selanjutnya pada tahun 202 5 (Januari–Februari): Dalam dua bulan pertama saja sudah terdapat 7 kasus dengan 10 korban, termasuk 2 kasus yang melibatkan anak laki-laki. Pelaku masih didominasi oleh guru, ayah tiri, tetangga, dan pacar korban.
Melihat tren peningkatan ini, upaya perlindungan anak di Kepulauan Meranti perlu lebih ditingkatkan. Tanpa langkah pencegahan yang efektif, kasus serupa kemungkinan akan terus bertambah. Masyarakat pun berharap agar pemerintah daerah segera mengambil tindakan nyata, seperti edukasi dan sosialisasi pencegahan kepada anak-anak dan orang tua, serta memperkuat peran aparat dalam menangani kasus-kasus pelecehan seksual secara lebih serius. Jika tidak, maka penghargaan Kota Layak Anak yang diperoleh hanya akan menjadi gelar tanpa makna.
Pendampingan Korban Pelecehan Anak di Meranti: Perjuangan Tanpa Dukungan
Di tengah meningkatnya jumlah kasus pelecehan seksual terhadap anak yang semakin memprihatinkan, pendampingan bagi para korban menjadi langkah penting untuk memulihkan kondisi psikologis mereka. Namun, tugas ini ternyata tidak berjalan semudah yang dibayangkan.
Erma Indah Fitriana, Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos) dari Kementerian Sosial RI di Kepulauan Meranti, menjadi garda terdepan dalam mendampingi korban pedofil atau kelainan seksual yang menjadikan anak-anak sebagai objek seksual. Sayangnya, Indah mengaku sering kewalahan karena minimnya dukungan dari dinas terkait.
Siang dan malam, dengan jarak tempuh yang jauh maupun dekat, Indah menjalankan tugasnya hampir tanpa bantuan dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait. Bahkan, dalam banyak kasus, ia harus turun ke lapangan seorang diri, tanpa koordinasi yang baik dari instansi yang seharusnya turut bertanggung jawab.
Tak hanya itu, Indah juga mengungkapkan bahwa selama ini ia menggunakan anggaran pribadi untuk biaya transportasi dan kebutuhan lain saat melakukan pendampingan. Dana yang seharusnya diberikan untuk operasional pendampingan tak pernah sampai kepadanya.
"Saya sangat kewalahan bekerja sendirian, kadang hanya dibantu pihak kepolisian. Sementara OPD terkait yang katanya berkolaborasi, sama sekali tidak tampak," ujarnya.
"Bensin beli sendiri, biaya lainnya juga dari kantong pribadi. Uang yang seharusnya diberikan untuk transportasi sejak tahun lalu tidak pernah diganti, alasannya dana belum cair. Tapi setelah cair, justru dialokasikan untuk kegiatan lain," keluhnya.
Tak hanya soal biaya, Indah juga menyoroti lemahnya respons OPD terkait dalam menangani kasus pelecehan seksual anak. Ia mengaku sering menghubungi dinas terkait saat ada kasus darurat di malam hari atau akhir pekan, namun panggilannya jarang dijawab.
"Sering kali saat ada kasus mendesak saya telepon, tapi tidak diangkat. Tapi ketika kasusnya sudah beres, baru mereka menghubungi balik atau berkoordinasi," ungkapnya.
Indah berharap agar pemerintah daerah, khususnya OPD terkait, lebih aktif dalam menangani rehabilitasi korban pelecehan seksual. Menurutnya, pendampingan terhadap korban tidak hanya sebatas pemulihan psikologis, tetapi juga harus mencakup aspek lain, seperti kesehatan dan hukum.
"Harapannya pemerintah daerah benar-benar berperan aktif, jangan hanya berpangku tangan. Jangan sampai ketika masalah selesai, baru sibuk mengurus," tegasnya.
Selain itu, ia juga mengajak masyarakat untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitar. Peran serta masyarakat sebagai kontrol sosial sangat penting dalam mencegah kejahatan seksual terhadap anak.
"Kita semua harus peduli. Jangan hanya diam dan membiarkan kasus seperti ini terus terjadi. Lindungi anak-anak kita dari para predator yang mengintai di sekitar," tutupnya.
Dengan kondisi darurat predator anak di Kepulauan Meranti, ia berharap sudah saatnya pemerintah daerah dan seluruh elemen masyarakat bekerja sama lebih serius dalam mencegah dan menangani kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak. Jangan sampai para korban terus berjuang sendiri tanpa dukungan yang layak. (R-01)