Yayasan Riau Madani Ajukan Permohonan Eksekusi Kebun Sawit Dalam Kawasan Hutan Milik Edi Basri, Menang Mutlak Mulai Dari PN Bangkinang Hingga MA

Ketua Tim Kuasa Hukum Yayasan Riau Madani, Surya Dharma, SAg, SH, MH. Foto: SM News
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Yayasan Riau Madani resmi mengajukan permohonan eksekusi putusan terkait perkara kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan milik Edi Basri. Permohonan eksekusi disampaikan ke Pengadilan Negeri Bangkinang pada Senin (17/2/2025) pagi tadi.
Langkah pengajuan eksekusi ini ditempuh Yayasan Riau Madani, usai Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan oleh Edi Basri yang diketahui saat ini merupakan anggota DPRD Provinsi Riau. Putusan kasasi MA teregister dengan nomor 5540K/Pdt/2024 ditetapkan pada Senin, 16 Desember 2024 lalu.
Dengan terbitnya putusan kasasi MA ini, maka seyogianya tidak ada upaya hukum lain yang bisa dilakukan oleh Edi Basri. Bahkan, seandainya pun ada upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK), maka tidak akan menghalangi eksekusi putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah).
"Pagi tadi kami telah melayangkan surat permohonan eksekusi putusan perkara tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri Bangkinang. Kami berharap permohonan eksekusi ini segera ditindaklanjuti sesuai ketentuan yang berlalu. Kami juga menyatakan siap mengikuti proses dan tahapan yang semestinya," kata Ketua Tim Kuasa Hukum Yayasan Riau Madani, Surya Dharma, SAg, SH, MH.
Adapun surat permohonan eksekusi yang diajukan Yayasan Riau Madani bernomor: 03/KH-SDR/II/2025 tanggal 17 Februari 2025.
Surya Darma menegaskan, permohonan eksekusi dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas putusan yang telah ditetapkan lembaga peradilan. Di tengah sorotan yang keras terhadap masalah kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan yang merugikan negara dan merusak lingkungan, eksekusi perkara tersebut menjadi sangat relevan.
"Agar ada ending yang jelas dan konkret atas gugatan yang telah dimenangkan oleh Yayasan Riau Madani tersebut, maka eksekusi perlu segera dilakukan. Kami meyakini tidak ada pihak yang akan menghalanginya," kata Surya Darma.
Diwartakan sebelumnya, Yayasan Riau Madani menang secara meyakinkan dalam 3 tingkatan peradilan, atas gugatannya terhadap Edi Basri yang mengelola kebun sawit dalam kawasan hutan seluas 180 hektar di Desa Bencah Kelubi, Kecamatan Tapung, Kampar, Provinsi Riau. Organisasi pro lingkungan dan penyelamatan hutan ini menang mulai dari tingkatan PN Bangkinang, Pengadilan Tinggi Riau hingga Mahkamah Agung.
Gugatan Yayasan Riau Madani awalnya didaftarkan ke PN Bangkinang pada pada 15 Februari 2023 silam dengan nomor dengan nomor 17/Pdt-G/LH/2023/PN Bangkinang. Dalam gugatannya, Yayasan Riau Madani turut menyeret PT Arara Abadi sebagai turut tergugat I dan Menteri Lingkungan Hidup (LHK) Republik Indonesia ditarik sebagai turut tergugat II.
Majelis hakim PN Bangkinang pada 20 November 2023 mengabulkan gugatan Yayasan Riau Madani tersebut. Adapun trio majelis hakim PN Bangkinang yang memutus perkara tersebut yakni Andry Simbolon sebagai ketua majelis dan dua anggota majelis masing-masing Ersin dan Omori Rotama Sitorus.
Salah satu amar putusan majelis hakim yakni menghukum tergugat Edi Basri untuk memulihkan objek sengketa yakni kawasan hutan yang telah ditanami kelapa sawit, dengan cara menebang seluruh tanaman kelapa sawit yang ada di atas objek sengketa.
Berikut bunyi amar putusan PN Bangkinang:
Dalam Provisi:
Menolak tuntuan provisi Penggugat Konvensi;
Dalam Eksepsi:
Menolak eksepsi Tergugat Konvensi untuk seluruhnya;
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat Konvensi untuk seluruhnya;
2. Menyatakan bahwa Tergugat Konvensi telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;
3. Menyatakan bahwa status objek sengketa yang terletak di Desa Bencah Kelubi, Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar Provinsi Riau adalah merupakan kawasan hutan;
4. Menghukum Tergugat Konvensi untuk memulihkan objek sengketa seluas ± 180 hektare yang terletak di Desa Bencah Kelubi Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar Provinsi Riau, dengan cara menebang seluruh tanaman kelapa sawit yang ada di atas objek sengketa;
5. Menghukum Tergugat Konvensi untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp10 juta setiap harinya kepada negara apabila Tergugat Konvensi lalai melaksanakan isi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde);
6. Menghukum Turut Tergugat I Konvensi dan Turut Tergugat II Konvensi untuk tunduk dan patuh pada putusan ini;
Dalam Rekonvensi:
Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk seluruhnya;
Dalam Konvensi dan Rekonvensi:
Menghukum Tergugat Konvensi/ Penggugat Rekonvensi untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp2.651.000,00.
Banding dan Kasasi Ditolak
Atas putusan PN Bangkinang tersebut, Edi Basri kemudian menempuh upaya banding pada 29 Desember November 2023. Namun, Pengadilan Tinggi Riau menolak permohonan banding Edi Basri tersebut, lewat putusan nomor:10/PDT-LH//2024/PT.PBR tertanggal 29 Februari 2024.
Putusan banding ditetapkan oleh trio majelis hakim banding PT Riau yang diketuai oleh Drs Arifin SH, MH serta anggota majelis yakni Abdul Hutapea SH, MH dan Petriyanti SH, MH.
Putusan banding justru menguatkan putusan PN Bangkinang nomor: 17/ PDT.G/LH/2023/PN Bkn, tanggal 20 November 2023 dan menghukum Edi Basri untuk membayar biaya perkara.
Belum menyerah, Edi Basri lantas mengajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung (MA) pada 8 Mei 2024. Tapi, langkah Edi Basri ini dipatahkan lagi oleh MA yang menolak kasasinya pada 16 Desember 2024 lalu.
MA dalam putusan kasasinya bernomor: 5440 K/Pdt/2024 menolak permohonan kasasi Edi Basri yang lantas menghukumnya untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi sebesar Rp 500 ribu.
Putusan kasasi ini ditetapkan oleh trio hakim agung yang diketuai oleh Dr. H. Panji Widagdo SH, MH dan dua anggota majelis kasasi yakni Dr. Ibrahim SH, MH, LLM serta Dr. Pri Pambudi Teguh SH, MH.
UU Cipta Kerja yang Inkonstitusional Dikesampingkan
Putusan tiga tingkatan peradilan atas gugatan Yayasan Riau Madani terhadap Edi Basri ini dinilai telah menjadi bukti bahwa dalih keterlanjuran dan pengampunan atas keberadaan kebun sawit dalam kawasan hutan tanpa izin yang diatur dalam Undang-undang Cipta Kerja, telah dapat dikesampingkan.
Soalnya, UU Cipta Kerja telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai UU yang inkonstitusional bersyarat. Ironisnya, meski UU Cipta Kerja telah dinyatakan MK inkonstitusional, namun pemerintah justru tetap nekat menerbitkan turunan peraturan yang mengatur tentang penyelesaian penguasaan kawasan hutan tanpa izin lewat jalur pengenaan sanksi denda administrasi.
Adapun turunan UU Cipta Kerja tersebut yakni Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Lewat beleid itulah, pemerintah saat ini ingin melakukan pemutihan dan pengampunan atas penguasaan hutan tanpa izin, secara khusus bagi kelompok dan korporasi kebun kelapa sawit.
Bahkan, atas dasar PP Nomor 24 Tahun 2021 itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya telah melakukan pendataan dan inventarisasi kebun sawit dalam kawasan hutan untuk dimasukkan ke dalam kebijakan pengampunan atau pemutihan.
"Bagaimana mungkin undang-undang yang telah dinyatakan inkonstitusional dijadikan rujukan dalam menerbitkan peraturan pemerintah sebagai aturan teknis pelaksanaan UU tersebut. Ini sangat tidak logis dan tidak memiliki kepastian hukum," pungkas Surya Darma. (R-03)