RSPO Disorot Keras, Perusahaan Raksasa Pemegang Sertifikat Nyatanya Buka Kebun Sawit Ilegal Dalam Kawasan Hutan: Aparat Hukum Harus Bertindak!
![RSPO Disorot Keras, Perusahaan Raksasa Pemegang Sertifikat Nyatanya Buka Kebun Sawit Ilegal Dalam Kawasan Hutan: Aparat Hukum Harus Bertindak!](https://www.sabangmeraukenews.com/foto_berita/2025/02/2025-02-16-rspo-disentil-perusahaan-raksasa-pemegang-sertifikat-nyatanya-buka-kebun-sawit-ilegal-dalam-kawasan-hutan-aparat-hukum-harus-bertindak.jpg)
Ilustrasi kebun sawit dalam kawasan hutan. Foto: betahita
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan lingkungan hidup bereaksi atas terbitnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan (Menhut) RI Nomor 36 Tahun 2025 yang diterbitkan pada 6 Februari 2025 lalu.
Surat Keputusan Menhut tersebut berisi Daftar Subjek Hukum Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit yang Telah Terbangun dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan yang Berproses atau Ditolak Permohonannya di Kementerian Kehutanan sesuai kriteria Pasal 110A Undang-undang Cipta Kerja.
SK Menhut itu mengungkap daftar 436 pengelola kebun sawit dalam kawasan hutan di Indonesia seluas 1.107.727 juta hektare. Dari luasan kebun sawit tanpa izin kehutanan itu, Kementerian Kehutanan telah memproses seluas 790.474 hektare. Sementara sisanya seluas 317.253 hektare dinyatakan ditolak. Lokasi kebun sawit dalam kawasan hutan yang paling luas berasa di Provinsi Kalimantan Tengah dan Riau.
Berdasarkan lampiran SK Menhut tersebut, kebun sawit yang permohonannya dalam status diproses, terbagi atas tiga kelompok. Yakni dalam proses Persetujuan Prinsip, Penelitian Tim Terpadu (Timdu) dan Penetapan Areal Pelepasan Hutan.
Surat Keputusan Menhut itu juga mengungkap penikmat program pengampunan keterlanjuran kebun sawit, didominasi oleh perusahaan yang terafiliasi ke raksasa sawit di Indonesia. Di antaranya Duta Palma Grup, First Resources (Surya Dumai Grup), Sinarmas Agro dan Astra Agro.
Juga ada perusahaan dari Musim Mas dan Salim Ivomas, Mahkota Grup dan PTPN IV (eks PTPN V). Kemudian grup Bumitama Gunajaya Abadi, Citra Borneo Indah, Sampoerna Grup, Tor Ganda, Best Agro, Eagles High Plantations, London Sumatera, Triputra dan Incasi serta USTP.
Kemudian Wilmar Grup, PTPN, Permata Hijau, Sinar Alam Plantations, DSN, Nusantara Sawit Sejahtera, KLK, Genting, Mahkota Grup, ANJ, Gawi, Djarum, MP Evans Grup, USTP, Cargill, KPN Plantations, Genting, Austindo, Goodhope, Kencana dan Sinar Mas Agro serta sejumlah grup besar lainnya.
Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo menilai, sangat ironis ketika sejumlah perusahaan besar masuk dalam daftar SK Menteri Kehutanan tersebut. Soalnya, selama ini mereka dianggap telah mematuhi prinsip dan kriteria minyak sawit berkelanjutan berdasarkan standar ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) maupun RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil).
Surambo mempertanyakan komitmen perusahaan-perusahaan kelapa sawit raksasa tersebut dalam mengimplementasi prinsip sawit berkelanjutan. SK Menhut itu membuktikan perusahaan justru teridentifikasi melakukan pengelolaan kebun ilegal di kawasan hutan.
Ia menjelaskan, hasil investigasi dan rekapitulasi Sawit Watch dari 15 Surat Keputusan Menteri LHK yang diterbitkan di era Menteri Siti Nurbaya, di Provinsi Riau terdapat sebanyak 11 grup besar anggota RSPO, dengan total luasan mencapai 59.817,70 hektar. Sementara di Provinsi Kalteng, terdapat 10 grup besar sawit dengan total luasan mencapai 134.319,63 hektar.
Ia menantang agar RSPO segara melakukan tindakan tegas atas aktivitas perkebunan sawit ilegal anggotanya di kawasan hutan.
"Yakni dengan membekukan keanggotaan dan sertifikat keberlanjutan perusahaan yang membuka kawasan hutan tanpa izin tersebut," kata Surambo dalam keterangan tertulis diterima SabangMerauke News, Minggu (16/2/2025).
"Pemerintah Indonesia juga perlu melakukan audit terhadap perusahaan-perusahaan yang memiliki sertifikat ISPO,” tambah Surambo.
Surambo menyatakan, terbitnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6 Tahun 2025 merupakan bagian dari proses transparansi yang dilakukan pemerintah atas penyelesaian sawit dalam kawasan hutan. Namun pihaknya berharap transparansi proses tidak berhenti hanya dalam tahap rilis daftar perusahaan, namun juga harus jelas sampai tahap akhir penyelesaiannya.
"Di sisi lain kebijakan ini tidak secara jelas menyebutkan proses lanjutan yang akan ditempuh terutama kebun-kebun sawit yang ditolak. Apakah akan diambil alih dan dikelola BUMN atau akan dihutankan kembali. Jika dibiarkan tanpa pengawasan maka dikhawatirkan akan dimanfaatkan atau menjadi “bancakan” bagi kelompok tertentu yang tidak bertanggung jawab," kata Surambo.
Sawit Watch mendesak agar otoritas penegak hukum dan Satgas Penertiban Kawasan Hutan dapat saling berkoordinasi dan menindaklanjutinya dengan melakukan proses hukum pidana kehutanan terhadap perusahaan perkebunan sawit yang ditolak permohonannya.
Ahmad Zazali, Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA) menegaskan, tindakan Menteri Kehutanan Raja Juliantoni, menerbitkan daftar perusahaan sawit yang ditolak permohonannya, di satu sisi patut diapresiasi sebagai wujud komitmen terhadap transparansi yang sempat tersumbat pada era menteri sebelumnya.
"Namun, di sisi lain masih terdapat wilayah “abu-abu” yang belum sepenuhnya terbuka kepada publik, yaitu mengenai apakah perkebunan yang ditolak tersebut akan otomatis dimasukkan dalam skema penyelesaian Pasal 110B UUCK atau akan masuk dalam skema penguasaan kembali kawasan hutan sebagaimana Pasal 3 Perpres 5 Tahun 2025 atau menggunakan pemidanaan sebagaimana Pasal 7 Perpres 5 Tahun 2025," kata Ahmad Zazali.
"Siapa dan bagaimana nasib pengelolaan terhadap kebun-kebun sawit tersebut selanjutnya, apakah tanaman sawit akan ditebang lalu dihutankan kembali atau akan diberikan tanggung jawab pengelolaannya kepada entitas bisnis tertentu,” kata Zazali.
Penasihat Senior Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS), Gunawan mengatakan, perubahan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan melalui UU Cipta Kerja secara khusus terdapat dalam pasal-pasal sisipan 110A dan 110B terbukti telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penyelesaian masalah perkebunan sawit dalam kawasan hutan.
"Apakah pemidanaan atau pemutihan melalui sanksi adminitratif berupa pembayaran denda. Di sisi lain menjadi tumpang tindih dengan mekanisme penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Sehingga akan berdampak buruk bagi diplomasi sawit Indonesia dan komitmen Indonesia dalam menghentikan deforestasi, terang Gunawan.
John D Sinurat, Kuasa Hukum Sawit Watch dari IHCS menyatakan Pasal 110B UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sedang diajukan permohonan uji materi di Mahkamah Konstitusi oleh Sawit Watch dengan kuasa hukum IHCS. Naskah perbaikan gugatan telah dikirim ke MK dan saaat ini sedang menunggu proses di MK.
"Permohonan uji materi ini guna memberikan jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi petani yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hukum,” tegas John. (R-03)