Menteri Kehutanan Cabut Izin 18 Perusahaan Kehutanan Seluas Setengah Juta Hektare, Apakah Prestasi?
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dari 18 perusahaan yang mengelola 526.144 hektare lahan hutan oleh Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, bagi saya sebagai pengamat kehutanan bukan hal mengejukan.
Apalagi, menurut Raja Juli, sebanyak 18 perusahaan tersebut telah mengantongi izin PBPH sejak 1997, 1998, 2006, dan 2010, tetapi tidak mengelola hutan dengan optimal.
Sayangnya, Menhut tidak menjelaskan lebih lanjut 18 perusahaan yang dimaksud tersebut masuk golongan PBPH yang mana? Sebelum terbitnya UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja bidang kehutanan dan Peraturan Pemerintah (PP) No 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, pemanfaatan kawasan hutan mengacu pada UU No 41/1999 tentang Kehutanan.
Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan di hutan produksi dan hutan lindung serta dalam bentuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu, pemanfaatan hasil hutan kayu, dan pemungutan hasil hutan kayu.
Faktanya, pada tahun 2000-an (1997-2010), izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam (IUPHHK-HA/HPH, Hak Pengusahaan Hutan) dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan tanaman (IUPHHK-HT/HTI, hutan Tanaman Industri) jumlahnya menjamur pada saat itu.
Untuk memahami konstelasi perizinan kawasan hutan, khususnya IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT pasca-Reformasi setelah terbitnya UU No 41/1999, saya mencoba untuk menggambarkan secara utuh kondisi perizinan berusaha di bidang kehutanan tersebut sampai hari ini, berikut permasalahan yang dihadapinya.
Pengelolaan berupa pemanfaatan hutan produksi di Indonesia, khususnya hutan alam tropika basah telah mengalami masa-masa kelam dan berlangsung lebih dari tiga dekade lamanya.
Hanya berlandaskan pada UU No 5/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan dan PP No 21/1970 tentang hak pengusahaan hutan (HPH) serta hak pemungutan hasil hutan (HPHH) yang sederhana, ekosistem hutan alam Indonesia yang telah mencapai puncak keseimbangan ekologis, dibuka untuk dieksploitasi hasil hutannya (kayu) hanya semata-mata untuk kepentingan ekonomis dengan mengabaikan aspek sosial, apalagi aspek ekologisnya.
Hutan alam khususnya hutan produksi dianggap sebagai aset ekonomi yang diberikan Tuhan secara cuma-cuma dan dapat dimanfaatkan secara cepat untuk mendapatkan nilai ekonomi guna mendulang pundi-pundi devisa negara yang sangat diperlukan dalam era awal pembangunan Indonesia.
Hutan alam Dipterocarpaceae (meranti sp), anugerah Tuhan yang luar biasa, membentang luas di Pulau Sumatera dan Kalimantan.
Permintaan akan kayu meranti di pasar internasional cukup tinggi.
Bonanza kayu oleh rezim Orde Baru selama tiga dekade dimanfaatkan sebagai penggerak roda pembangunan, dan merupakan penyumbang devisa negara nomor dua setelah minyak bumi. Akibatnya hutan alam diekploitasi habis-habisan untuk diekspor kayunya dalam bentuk bahan mentah log (gelondongan).
Izin pengusahaan kayu alam dalam bentuk HPH (Hak Pengusahaan Hutan), baik asing maupun domestik terus bertambah.
Pada tahun 2000, misalnya, jumlah hak pengusahaan hutan (HPH) meningkat sekitar 600 unit dan mengusahakan areal hutan lebih dari 64 juta hektare.
Devisa negara yang disumbangkan hampir setara dengan minyak bumi, 9 miliar dollar AS per tahun (setara dengan nilai Rp 144 triliun dengan kurs Rp 16.000/dollar AS) terhadap pendapatan nasional.
Ekses yang timbul dari izin HPH yang tidak terkendali ini antara lain adalah tidak cermatnya lokasi kawasan yang ditunjuk. Banyak kawasan hutan yang mestinya berfungsi lindung/termasuk hutan gambut masuk dalam wilayah HPH.
Sistem silvikultur TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) tidak dipatuhi di lapangan karena lemahnya pengawasan aparat kehutanan setempat. Singkatnya, kaidah kelestarian produksi hutan alam tidak berjalan dengan baik.
Dengan telah bergantinya rezim dari Orde Baru ke rezim Reformasi, seiring dengan pudarnya kejayaan kayu dari hutan alam Indonesia, masa kejayaan HPH yang berubah namanya menjadi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam (IUPHHK-HA) pascaterbitnya UU No 41/1999, juga ikut terkena imbas.
Tahun 2019, HPH yang tersisa tinggal 255 unit dengan luas konsesi 18,7 juta hektare. Sebanyak 345 unit HPH lainnya telah habis kontrak (masa kontrak 35 tahun) atau diputus kontrak oleh pemerintah di tengah jalan karena telah melanggar ketentuan yang ada.
IUPHHK-HT /HTI
Ekstraksi hutan secara masif yang semula difokuskan untuk menjadi penghasil devisa negara telah menyisakan kerusakan hutan alam di Indonesia.
Menurut FAO (1990), laju deforestasi dalam periode 1970-1975 dan 1981-1985 berkisar antara 550.000-600.000 hektare setiap tahun. Dalam rentang 1982-1990, FAO juga mencatat angka deforestasi sebesar 1,5 juta hektare per tahun.
Di sisi lain, industri kehutanan- terutama kayu gergajian, kayu lapis dan pulp- semakin berkembang pascapemberlakuan larangan eksport kayu bulat. Dalam situasi tersebut, dimulailah pengembangan hutan tanaman pada era 1990-an.
Pembangunan hutan tanaman diarahkan sebagai revitalisasi kehutanan yang bermata ganda, yakni sebagai rehabilitasi kawasan hutan yang terdegradasi dan pemenuhan bahan baku industri kehutanan.
Awal pengembangan hutan tanaman dimulai dengan terbitnya PP No 7/1990 tentang hak pengelolaan hutan tanaman indistri (HTI).
Areal hutan yang dapat diusahakan sebagai areal HTI adalah kawasan hutan produksi tetap yang tidak produktif.
Meskipun konsesi HTI hanya diberikan pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif, tapi dalam praktiknya seringkali terjadi penerbitan HPHTI terjadi pada lahan hutan yang produktif.
Berdasarkan studi kelayakan perusahaan HTI pada tahun 1998, terdapat 22 persen lahan yang dikelola sebagai HTI merupakan hutan alam produktif. Di samping itu, lebih dari 2,7 juta hektare konsesi HPH telah dikonversi menjadi HTI.
Namun sayang, kegiatan HTI yang di era Reformasi berubah menjadi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman (IUPHHK-HT), nampaknya juga belum/tidak berkembang dengan baik karena kondisi ekonomi global yang tidak dalam keadaan baik-baik saja hingga saat ini.
Sampai tahun 2019, jumlah IUPHHK-HT mencapai 293 unit dengan luas areal 11,3 juta hektare.
Masalah akut PBPH
Pencabutan izin PBPH sebanyak 18 perusahaan/korporasi oleh Menhut sudah dapat diperkirakan sebelumnya bagi korporasi-perusahaan yang memperoleh izin pasca-Reformasi pada 2000’an, setelah berjalan lebih dari dua dasawarsa.
Bahkan, menurut prediksi dan perkiraan saya, jumlah korporasi/perusahaan yang dicabut izinnya semestinya lebih dari 18 perusahaan.
Kenapa demikian? Pada 2022, pemerintah Joko Widodo juga telah mencabut 144 izin kehutanan IUPHHK-HA (HPH) dan IUPHHK-HT(HTI).
Sebetulnya, keputusan pencabutan ini terlambat. Seharusnya sejak sebelum era Joko Widodo, pemerintah sudah mencabut izin-izin memanfaatkan hutan yang bermasalah. Sejak 1998, industri kehutanan hancur, perusahaan kayu limbung.
Dari 600-an HPH pada 195 yang mengelola 64 juta hektare, menurun separuhnya tinggal 304 unit pada 2010. Tahun 2022, sekitar 201 perusahaan yang mengelola konsesi tak lebih dari 19 juta hektare.
Salah satu parameter surutnya era keemasan kayu alam adalah HPH yang tidak mampu melanjutkan operasi perusahaan setelah masa konsesi pertama selesai, yakni 20 tahun dari 35 tahun daur silvikultur hutan.
Banyak HPH yang hutan alamnya habis karena pembalakannya diijon—ditebang sebelum daurnya tiba. Akibatnya, secara teknis izin konsesi tidak bisa diperpanjang.
Atau produktivitas hutan alam setelah rotasi kedua menjadi sangat rendah, bahkan tidak ekonomis. Kondisi ini menyebabkan HPH gulung tikar, sebagian tidak aktif dan mati suri.
Sementara itu, hutan tanaman industri (HTI) yang diharapkan mampu mengambil peran HPH sebagai pemasok kayu untuk industri kehutanan juga didera beberapa masalah yang tidak kalah seriusnya.
Menurut Profesor Zufri Hamzah, Guru Besar Kehutanan IPB, usaha HTI membutuhkan dan mengambil banyak tempat dan ruang serta mudah rusak dan busuk (perishable), sementara harganya murah dibandingkan dengan barang substitusi lain. Akibatnya, secara ekonomi kurang menguntungkan.
Modal HTI juga lumayan besar. Apalagi jika ditambah dengan investasi pembuatan pabrik industri pengolah hutan tanaman seperti pabrik bubur kayu (pulp).
Dulu, untuk menarik minat investor, pemerintah memberikan insentif pinjaman dana reboisasi dengan bunga rendah. Sayangnya, modal pinjaman dana reboisasi banyak yang diselewengkan hingga skema pinjaman ini dihentikan.
Dulu sempat ada ide jaminan asuransi bagi HTI untuk melindungi hasil-hasil hutan tanaman dari kebakaran dan kerusakan.
Kenyataannya tak satu pun perusahaan asuransi mau menjamin usaha HTI karena waktunya yang panjang dan luasnya areal. Kondisi ini diperarah oleh industri kehutanan Indonesia yang tidak sedang baik baik saja.
Pada medio tahun 2020, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) melaporkan bahwa kayu bulat segar kelompok meranti harganya jatuh dan tidak cukup untuk menutupi biaya produksi yang rata-rata di atas Rp 1,4 juta/m3.
Kayu bulat kelompok meranti ini lebih dari 70 persennya untuk suplai bahan baku industri kayu lapis (plywood) yang kontinyuitas pasokan kayu bulat fresh cut-nya tidak terjamin.
Sisanya 30 persen untuk industri kayu gergajian, industri kayu serpih, dan lain-lain. Produk industri pengolahan kayu seperti kayu lapis harga jualnya juga rendah.
Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) menyatakan bahwa untuk kayu lapis umum (general plywood) yang berbahan baku kayu bulat dari hutan alam harganya berkisar antara 500-550 dollar AS per m3.
Sedangkan dari hutan tanaman antara 250-400 dollar AS per m3. Padahal untuk 1 m3 kayu lapis memerlukan bahan baku sekitar 2 m3 kayu bulat hutan alam.
Produktivitas tenaga kerja hanya 4 atau 5 m3 per orang/bulan (upah rata-rata sekitar 80 dollar per m3).
Jika ditambah biaya lem, upah minimum tenaga kerja yang terus meningkat dan tidak diikuti dengan peningkatan produktivitasnya, produktivitas mesin-mesin juga rendah karena sudah tua (umur mesin sudah lebih dari 30 tahun), maka perusahaan makin tidak mampu menutupi biaya usaha.
Pada akhirnya tidak cukup untuk menutupi harga pokok produksi (HPP), di mana HPP industri kayu lapis berkisar 600-650 dollar AS per m3.
Artinya, industri kayu lapis malah merugi karena biaya produksi lebih besar daripada harga jual. Kondisi ini sudah berlangsung selama lebih dari dua tahun belakangan.
Konsekuensinya, banyak di antara pabrik kayu lapis, kayu gergajian, dan industri perkayuan lainnya kolaps atau hanya beroperasi on and off. Sekalipun kapasitas produksi tidak turun, tetapi harga jual tidak menutupi HPP-nya atau impas saja.
Industriawan kayu lapis hanya bisa mengeluh. Hal ini hanya bisa untuk bertahan saja supaya tidak rugi lebih besar. Banyak industri perkayuan terancam kolaps.
Dari sisi pemasukan (devisa negara) dari sektor kehutanannya pun tak kalah pelik masalahnya. Di era keemasan sektor kehutanan, devisa negara dari sektor kehutanan mencapai Rp 16 triliun setiap tahunnya.
Sekarang, pemasukan negara dari sektor kehutanan tak lebih dari Rp 5 triliun setiap tahun melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Padahal PNBP Indonesia sekarang sudah mencapai hampir Rp 350 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku tak habis pikir bagaimana Indonesia yang memiliki hutan sangat luas, tapi sumbangan ke keuangan negara sangat kecil.
Sektor kehutanan secara keseluruhan, hanya memberikan setoran dalam bentuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sangat kecil.
Lebih jauh, Menteri Keuangan menjelaskan bahwa setoran PNBP dari hutan ini kurang masuk akal apabila dibandingkan dengan luas hutan Indonesia yang menguasai daratan Indonesia seluas 120,5 juta hektare. Kegundahan Sri Mulyani masuk akal.
Sektor yang tadinya mampu memberikan pemasukan negara sebesar 16 miliar dollar AS per tahun di era Orde Baru dan menyumbang devisa kedua sesudah Migas, sekarang turun drastis menjadi 375 juta dollar AS per tahun saja. Menteri Keuangan memprediksi bahwa sebenarnya dominasi PNBP dari basis kayu masih sangat tinggi.
Namun PNBP sektor kehutanan sangat kecil karena kurangnya pengawasan, penegakan hukum yang lemah dan kurang komprehensif dan optimalisasi potensi termasuk aset yang dinilai masih menganggur.
Benarkah sinyalemen yang dikemukaan oleh Menteri Keuangan tersebut?
Salah satu isu, aset yang dinilai masih idle memang ada benarnya. Hutan produksi yang memang disiapkan untuk memproduksi hasil hutan kayu, baik dari hutan alam/tanaman maupun hasil hutan nonkayu, 50 persennya belum dimanfaatkan secara keseluruhan sebagai aset ekonomi yang mampu menghasilkan pemasukkan negara.
Jadi kesimpulannya, pencabutan 18 perusahaan/korporasi PBPH oleh Menhut Raja Juli bukan prestasi, tetapi merupakan kesalahan Kementerian Kehutanan masa lalu yang lalai membina dan mengawasi perusahaan izin PBPH yang mampu mengelola kawasan hutannya sampai akhir masa daur keduanya (35 tahun).
Pemerintah (Kemhut) hanya berfokus pada besarnya jumlah pungutan PNBP (DR dan PSDH) yang harus dibayar oleh perusahaan setiap tahun. Ternyata jumlahnya juga tidak besar menurut Menteri Keuangan.(R-04)