Puncak Perayaan Imlek di Selatpanjang: Kirab Tiga Dewa dan Tradisi yang Menyatukan Budaya
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Seperti tahun-tahun sebelumnya, hari keenam perayaan Imlek di Kota Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, menjadi momen yang paling dinanti oleh masyarakat Tionghoa. Pada Senin, 3 Februari 2025, yang bertepatan dengan hari keenam Tahun Baru Imlek 2576 Kongzili, masyarakat merayakan Cue Lak dengan menggelar kirab budaya berupa pawai arak-arakan tiga dewa dari seluruh kelenteng di Selatpanjang.
Sebelumnya, Kota Selatpanjang telah dipenuhi dengan berbagai persiapan untuk menyambut Tahun Baru Imlek. Rumah-rumah warga keturunan Tionghoa, vihara, serta jalan-jalan protokol dihiasi dengan ornamen khas Imlek. Ratusan lampion menggantung di sepanjang ruas jalan utama, menciptakan atmosfer meriah yang membawa kegembiraan tidak hanya bagi warga Tionghoa, tetapi juga masyarakat dari berbagai latar belakang yang turut menikmati suasana perayaan.
Perayaan Imlek di Kepulauan Meranti bukan hanya tradisi keagamaan, tetapi juga ajang kebersamaan lintas budaya. Kota yang dijuluki Kota Sagu ini memiliki tradisi unik dalam menyambut Imlek, yakni Festival Perang Air (Cian Cui), yang telah menjadi daya tarik wisata tahunan.
Peringatan 980 Tahun Dewa Cho Se Kong
Imlek tahun ini seperti yang tertera dalam kalender Tiongkok memasuki tahun Shio Ular Kayu, yang melambangkan simbol kebijaksanaan, kreativitas, dan stabilitas, terakhir kali muncul pada 1965, tepat 60 tahun lalu.
Pada hari keenam yang menjadi puncak perayaan Imlek tahun ini di Kota Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, kembali mencuri perhatian dengan kemegahan dan kebersamaan yang ditunjukkan oleh seluruh masyarakat.
Tepatnya pada Senin 3 Februari 2025 masyarakat Tionghoa di Selatpanjang merayakan ulang tahun ke-980 Dewa Cho Se Kong, seorang rahib Buddha dari Provinsi Hokkian yang dikenal dengan nama asli Qing Shui Zu Shi, dia lahir pada tanggal 6 bulan 11 Imlek, tahun 1044 Masehi. Peringatan hari lahirnya dirayakan dengan prosesi khusus di Vihara Hoo Ann Kiong, Selatpanjang.
Dewa Cho Se Kong diarak keliling kota menggunakan tandu khusus, mengunjungi 24 kelenteng atau vihara yang ada di Selatpanjang. Setiap persinggahan di kelenteng dilakukan ritual Phai King, yakni doa bersama yang dipimpin oleh Sai Kong (imam kelenteng) selama 15 menit. Arak-arakan ini diiringi oleh barongsai, tarian naga, serta berbagai pertunjukan budaya yang semakin menyemarakkan suasana.
Vihara Hoo Ann Kiong atau sekarang diberi nama Vihara Sejahtera Sakti terletak di Jalan Ahmad Yani, Kota Selatpanjang, Kabupaten Meranti, tempat bersemayamnya Dewa Cho Se Kong, merupakan kelenteng tertua di Selatpanjang.
Vihara ini konon dulunya berada di jalan yang dikenal sebagai Jalan Melayu dibangun pada pertengahan abad ke-19, vihara ini memiliki nilai sejarah yang tinggi bagi masyarakat Tionghoa di Kepulauan Meranti. Sebuah prasasti yang ditemukan mencatat bahwa pemugaran pertama vihara ini dilakukan pada tahun 1903, menjadikannya salah satu tempat ibadah tertua di Provinsi Riau.
Tidak diketahui secara presisi tanggal pendirian kelenteng ini. Tak ada catatan tertulis atau bukti valid lain tentang hal itu. Namun, para sejarawan sepakat bahwa Hoo Ann Kiong dibangun pada tahun 1860-an.
Meskipun tanggal pendirian tidak diketahui, tetapi ada sebuah prasasti yang mencatat proyek pemugaran pertama tempat ibadah masyarakat Tionghoa itu.
Pihak pengelola pernah meminta sejumlah pakar untuk memperbaharui dan meneliti prasasti tersebut. Dari prasasti yang berisi nama para donatur tersebut, bisa dipastikan Hoo Ann Kiong selesai direhab pada masa Kaisar Guangxu tahun bulan Gui Mao atau tanggal 8 bulan 6 tahun 1903 dalam kalender Tionghoa. Jika dikonversi ke kalender masehi, proyek renovasi pertama itu selesai pada 31 Juli 1903.
Di tengah kemeriahan perayaan Imlek di Kota Selatpanjang, Vihara Hoo Ann Kiong tetap menjadi pusat spiritual dan sejarah yang kaya akan nilai budaya. Salah satu bagian paling ikonik dari vihara ini adalah gerbang utamanya, yang telah berdiri kokoh sejak pertama kali direnovasi pada tahun 1903. Meski vihara ini telah mengalami beberapa kali pemugaran, yaitu pada tahun 1941 dan 2005, gerbangnya tetap mempertahankan konstruksi asli, menjadi saksi bisu kejayaan para pengrajin Tionghoa zaman dulu.
Gerbang utama Hoo Ann Kiong dibangun menggunakan teknik tanggam, yaitu metode konstruksi tradisional tanpa menggunakan paku atau baut. Teknik ini menampilkan keahlian tinggi dalam arsitektur kayu, menciptakan struktur yang tidak hanya kokoh tetapi juga estetis.
Mengadopsi gaya bangunan khas Tiongkok bagian selatan, tata ruang vihara ini berbentuk persegi empat dengan ruang terbuka di tengah. Aula utamanya telah mengalami pemugaran besar pada tahun 2005, namun gerbangnya tetap tidak diubah, hanya diberi tambahan dinding batu di kedua sisi serta penggantian genteng. Hingga kini, struktur asli gerbang tetap terpelihara dengan baik, menunjukkan ketangguhan teknik konstruksi masa lampau.
Keindahan gerbang Hoo Ann Kiong tidak hanya terletak pada konstruksinya, tetapi juga pada ornamen ukirannya. Sejumlah figur Delapan Dewa (Baxian) diukir dengan detail pada ring balok, menciptakan suasana seolah-olah dewa-dewa tersebut sedang turun dari kayangan.
Di kedua sisi bagian atas gerbang, tergantung sepasang lentera kayu kuno yang dihiasi figur-figur mitologis. Empat balok kayu penyanggah di sudut gerbang, yang berusia lebih dari satu abad, tetap kokoh menopang struktur ini. Tak hanya itu, sepasang patung makhluk suci Qilin yang telah berusia ratusan tahun masih setia menjaga pintu masuk vihara, menyaksikan generasi demi generasi umat yang datang untuk beribadah.
Melestarikan bangunan kayu berusia lebih dari seabad bukanlah tugas yang mudah, terlebih di kota kecil seperti Selatpanjang yang berada di sebuah pulau di pantai barat Sumatera. Meski jarang terdengar di kancah nasional, Selatpanjang justru menjadi tempat di mana warisan keterampilan pengrajin Tionghoa kuno masih bertahan hingga hari ini.
Vihara Hoo Ann Kiong, dengan gerbang bersejarahnya, bukan hanya menjadi pusat ibadah bagi masyarakat Tionghoa, tetapi juga simbol keberlanjutan budaya dan sejarah yang patut dijaga. Dalam setiap pahatan ukiran dan teknik bangunan yang masih asli, tersimpan cerita tentang kejayaan masa lalu yang terus hidup di era modern ini.
Tradisi yang Menyatukan Berbagai Budaya
Perayaan ulang tahun Dewa Cho Se Kong tidak hanya menjadi puncak perayaan Imlek di Selatpanjang, tetapi juga menjadi ajang kebersamaan antar etnis. Dalam kirab budaya ini, selain masyarakat Tionghoa, warga dari berbagai suku dan agama juga turut serta. Berbagai kelompok seni menampilkan atraksi khas mereka, seperti Reog Ponorogo, serta pawai anak-anak dalam pakaian adat Nusantara.
Arak-arakan tiga dewa dalam kirab ini juga memiliki urutan khusus. Tandu terdepan diisi oleh Tian Tho Wan Sue, disusul Lie Loh Chia, dan di bagian akhir adalah Dewa Cho Se Kong. Ketiga dewa ini dipercaya membawa berkah bagi masyarakat Tionghoa, dan arak-arakan ini menjadi simbol penghormatan serta harapan untuk kehidupan yang lebih baik di tahun yang baru.
Selain ketiga dewa tersebut juga terdapat sejumlah dewa pengiring. Dewa Pengiring itu di antaranya Dewa Lie Loh Chia (Panglima Perang), Dewa Tian Tho Wan Sue (Panglima Perang), Dewa Kuang Kong (Panglima Perang), Dewi Kuan In (Dewa Penyelamat Bumi), Dewa Sam Ong Hu (Dewa Raja), Dewa Tua Li Giah Peh (Dewa Neraka), Dewa Huat Cu Kong (Dewa Bumi), Dewa Sam Tai Kong (Dewa Bumi), Goh Ong Giah Kong (Dewa Raja), Tua Lang Kong (Dewa Raja), dan Dewa Tua Pek Kong (Dewa Wilayah).
Dewa pengiring tersebut bukan dalam bentuk patung, namun dipercaya masyarakat Tionghoa dalam bentuk roh yang merasuki warga-warga pilihan Tionghoa atau mereka menyebutnya Tang KKi Dijelaskan Tjuan An, Tang Ki adalah orang yang dipilih oleh para dewa untuk dirasuki.
Tidak semua orang bisa menjadi Tang Ki, hanya orang terpilih saja. Para Tang Ki akan sangat dihargai oleh masyarakat Tionghoa, karena dianggap sebagai orang sakti dan orang pilihan para dewa. Yang menjadi Tang Ki adalah orang yang sama setiap tahunnya. Sampai ia mati atau dewa nya memilih tubuh orang lain sebagai mediator.
Pada pagi hari imlek ke 6, para Tang Ki akan disiapkan dengan berbagai ritual di masing-masing vihara. Sedikit bacaan, kemudian minum segelas teh, dulu arak, kini tidak lagi dibolehkan oleh YSUBB. Kemudian secara otomatis, Tang Ki mulai kerasukan dewa yang menjadi pemilik tubuhnya. Baru kemudian para imam di vihara menusuk berbagai besi ke tubuh Tang Ki.
Sebenarnya Dewa pemujaan utama di Vihara Hoo Ann Kiong adalah Tua Pekkong atau Fude Zhengshen. Sementara Qing shui Zushi dan Mazu adalah dewa pendamping. Walaupun demikian, Qingshui Zushi atau Cho Se Kong mempunyai kedudukan dan pengaruh yang lebih dominan daripada dewa lainnya.
Perayaan ulang tahun Qing shui Zushi yang semarak itu juga menjadi puncak sekaligus penutup perayaan Tahun Baru Imlek di Selatpanjang. Yang menarik, kegiatan pawai tersebut telah dipandang sebagai sarana pemersatu budaya yang heterogen di kota itu. Tidak hanya etnis Tionghoa yang ikut memeriahkannya, warga etnis lain juga selalu ikut serta dalam parade dan menampilkan berbagai pertunjukan budaya tradisional masing-masing
Di tengah suasana perayaan yang penuh semangat, puncak perayaan Imlek di Selatpanjang menjadi bukti bahwa tradisi tidak hanya sekadar warisan budaya, tetapi juga alat pemersatu dalam keberagaman. Perayaan ini menegaskan bahwa kebersamaan dan harmoni tetap menjadi nilai utama dalam kehidupan masyarakat di Kepulauan Meranti.
Ketua Pembina Yayasan Vihara Sejahtera Sakti, Tjuan An, mengungkapkan bahwa suasana Imlek tahun ini terasa lebih semarak dengan berbagai rangkaian acara yang melibatkan ribuan orang.
Dirinya juga mengatakan pada hari pertama Imlek ini masyarakat dari luar daerah cukup ramai datang ke Selatpanjang untuk merayakan Imlek.
Selain memiliki makna budaya reliji, perayaan imlek di Kota Selatpanjang menjadi iven spesial dan selalu ditunggu. Baik oleh warga tionghoa, pribumi maupun dari luar negeri yang sekedar berkunjung ataupun pulang kampung.
Dimana sebelumnya dua tahun tidak dapat dilaksanakan secara penuh akibat pandemi Covid-19 dan perayaan sebelumnya yang bertepatan dengan Pemilu, Tahun Baru Imlek 2576 Kongzili di Kota Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, kembali disambut dengan kemeriahan luar biasa.
"Perayaan Imlek tahun ini sangat meriah, rangkaian Imlek diisi dengan berbagai acara. Warga Tionghoa yang berada di luar daerah banyak yang pulang kampung. Lampion dan pernak-pernik Imlek juga terpasang di berbagai sudut kota," ujar Tjuan An.
Pada hari keenam Imlek atau Cue Lak, Kota Selatpanjang kembali menggelar tradisi kirab budaya yang dinantikan oleh masyarakat Tionghoa dan warga lainnya. Puncak perayaan ini ditandai dengan pawai arak-arakan Dewa Cho Se Kong yang diikuti sekitar 5.000 orang, mengelilingi setiap vihara di kota.
Prosesi sakral ini semakin istimewa dengan kehadiran para Tang Ki (orang yang dipercaya sebagai perantara dewa) yang datang dari berbagai daerah, seperti Balai, Batam, dan Pekanbaru. Kehadiran mereka menambah nuansa mistis dan spiritual dalam ritual yang sudah berlangsung selama lebih dari satu abad ini.
Tjuan An mengungkapkan, kirab budaya kali ini juga mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), Yayasan Sosial Umat Beragama Buddha (YSUBB) Kepulauan Meranti, dan Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN). Selain itu, turut hadir perwakilan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Provinsi Riau, Pembimas Buddha Provinsi Riau, Tarjoko, serta pihak Majelis Tri Dharma Agung Indonesia.
Menurut Tjuan An, tradisi arak-arakan dewa dalam Cue Lak merupakan warisan leluhur yang telah dibawa ke Selatpanjang lebih dari 100 tahun lalu.
"Ini adalah tradisi dari Tiongkok yang diwariskan oleh nenek moyang kami dan tetap lestari hingga saat ini," jelasnya.
Sejak pagi hingga malam hari, arak-arakan ini menyusuri jalan-jalan protokol di Kota Selatpanjang yang dipenuhi oleh lautan manusia. Masyarakat dari berbagai etnis dan latar belakang turut serta, menjadikan perayaan ini tidak hanya sebagai ritual keagamaan, tetapi juga sebagai simbol kebersamaan dan harmoni budaya.
Menyadari besarnya jumlah peserta dan pengunjung, panitia telah menyiapkan sistem keamanan yang ketat. Ambulans lengkap dengan oksigen dan tenaga medis disiagakan untuk mengantisipasi keadaan darurat. Selain itu, unit pemadam kebakaran juga dikerahkan dengan perlengkapan pemadam api guna mengantisipasi risiko kebakaran akibat banyaknya petasan dan kembang api yang dinyalakan selama perayaan.
Perayaan Imlek di Selatpanjang akan mencapai akhir rangkaian pada Kamis, bertepatan dengan hari kesembilan Imlek. Pada hari kesepuluh, masyarakat Tionghoa akan menggelar ritual yang dikenal sebagai Mengantar Dewa-Dewi Kembali ke Langit, sebagai penutup dari seluruh rangkaian perayaan tahun baru.
Tjuan An mengatakan jika kemeriahan Imlek 2025 di Selatpanjang tidak hanya menjadi momentum keagamaan, tetapi juga menegaskan bahwa tradisi dapat menjadi perekat persaudaraan dan harmoni di tengah keberagaman masyarakat Kepulauan Meranti.
Sementara itu, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Provinsi Riau, Mariyana, yang hadir dalam acara Cue Lak atas undangan khusus dari panitia, mengapresiasi betapa besarnya gaung perayaan Imlek di kota kecil ini.
"Saya datang ke sini karena diundang panitia untuk menghadiri tradisi dalam agama kita. Meskipun begitu, saya juga merasa sebagai bagian kecil dari warga Selatpanjang. Wilayah ini memang tidak luas, tetapi perayaan Imlek di sini begitu besar dan bergaung luas," ujarnya.
Mariyana menyebut bahwa meskipun Selatpanjang hanya sebuah kota kecil di Provinsi Riau, namun kemeriahan perayaan Imlek di sini bahkan disebut sebagai yang terbesar di Indonesia. Menurutnya kota ini dihuni oleh sekitar 22.000 pemeluk agama Buddha, yang hidup rukun berdampingan dengan masyarakat dari berbagai latar belakang agama dan budaya.
"Kerukunan beragama di sini sangat tinggi, begitu juga dengan toleransinya. Bahkan, Provinsi Riau menjadi provinsi terbaik kedua di Indonesia dalam hal toleransi beragama. Ini adalah pencapaian yang harus terus kita pertahankan dan tingkatkan," kata Mariyana.
Dia juga menyoroti antusiasme warga dalam mempersiapkan perayaan Imlek. Dekorasi khas Tionghoa seperti lampion, gapura, dan berbagai ornamen merah keemasan menghiasi jalanan, semuanya dibuat secara swadaya oleh masyarakat.
"Perayaan Imlek di Selatpanjang ini saya kira paling meriah dibandingkan kabupaten dan kota lainnya di Provinsi Riau. Partisipasi masyarakat sangat tinggi dalam menghias kota dan memeriahkan acara," tambahnya.
Potensi Masuk Rekor MURI dan Ikon Pariwisata Nasional
Melihat besarnya jumlah peserta dalam acara Cue Lak, bahkan lebih ramai dari Festival Cap Go Meh di Singkawang, Mariyana berharap kemeriahan ini bisa terus ditingkatkan dan dicatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI).
"Saya berharap kemeriahan seperti ini terus ditingkatkan dan kita harus upayakan agar tercatat dalam rekor MURI. Selatpanjang bisa menjadi ikon budaya dan pariwisata yang menarik perhatian nasional maupun internasional," ungkapnya.
Selain itu, ia menegaskan pentingnya menjaga persatuan dan kebersamaan antarwarga, sehingga semangat perayaan Imlek dapat dirasakan oleh semua orang tanpa memandang latar belakang etnis atau agama.
"Saya mengimbau kepada semua warga Tionghoa untuk selalu menjaga persatuan dan hidup berdampingan. Kita harus saling mendukung agar kebahagiaan dalam perayaan Imlek ini bisa dirasakan oleh semua," pungkasnya.
Dengan kemeriahan yang semakin besar setiap tahunnya, Selatpanjang semakin mengukuhkan dirinya sebagai pusat perayaan Imlek yang tidak hanya menjadi kebanggaan masyarakat Tionghoa, tetapi juga menjadi simbol kebersamaan bagi seluruh warga Kepulauan Meranti. (R-01)