Sampah Membludak di Selatpanjang Selama Perayaan Imlek, Dinas Perkimtan-LH Bekerja Ekstra Tapi Tak Ada Uang Lembur
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman, dan Lingkungan Hidup (Perkimtan-LH) Kabupaten Kepulauan Meranti mencatat adanya peningkatan produksi sampah selama perayaan Imlek, terutama di Kota Selatpanjang. Lonjakan ini dipicu oleh kedatangan wisatawan dan warga Tionghoa yang pulang kampung untuk merayakan Tahun Baru Imlek, serta pelaksanaan Festival Perang Air yang menjadi daya tarik utama.
Berdasarkan data dari Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Selatpanjang, sebanyak 27.204 penumpang tercatat menggunakan layanan pelabuhan sejak H-7 pada 22 Januari hingga H+3 pada 31 Januari 2025. Dari jumlah tersebut, 9.764 penumpang berangkat meninggalkan Selatpanjang, sementara 17.440 penumpang yang terdiri dari warga Tionghoa yang pulang kampung dan wisatawan tiba di kota tersebut melalui 503 keberangkatan kapal.
Kepala Dinas Perkimtan-LH Kepulauan Meranti melalui Kabid Lingkungan Hidup, Dewi Atmidilla, ST, MM, mengungkapkan bahwa produksi sampah meningkat sekitar 4-5 ton per hari dibandingkan hari biasa.
"Jika pada hari biasa produksi sampah berkisar 44-48 ton per hari, maka selama perayaan Imlek bertambah sekitar 4-5 ton per hari," ujar Dewi Atmidilla, Minggu (2/2/2025).
Peningkatan ini membuat petugas kebersihan harus bekerja ekstra untuk mengangkut sampah di sejumlah titik yang menjadi pusat aktivitas masyarakat, ditambah dalam perayaan Imlek tersebut juga digelar Festival Perang Air yang juga ikut menyumbang produksi sampah.
Namun, Dewi mengungkapkan bahwa pihaknya mengalami dilema karena tidak adanya tambahan uang lembur bagi petugas kebersihan yang harus menangani rute tambahan selama perayaan.
"Kami menambah rute bagi petugas kebersihan dan petugas sapu karena peningkatan produksi sampah. Sayangnya, kami tidak bisa memberikan uang lembur karena aturan tidak memperbolehkan melebihi yang tercatat dalam Standar Biaya Umum (SBU). Kami hanya bisa menambahkan uang BBM untuk operasional. Seharusnya Dinas Disporapar menganggarkan anggaran khusus untuk ini, mengingat perayaan Imlek dan Festival Perang Air adalah bagian dari agenda pariwisata," jelasnya.
Selain sampah dari aktivitas sehari-hari, jumlah tersebut juga belum termasuk limbah yang dihasilkan dari pesta ribuan kembang api yang akan dinyalakan pada puncak perayaan Imlek. Namun, Dewi memastikan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan yayasan yang bertanggung jawab atas acara tersebut.
"Petugas sapu akan siaga dan bekerja lembur untuk membersihkan sampah dari kembang api tengah malam nanti. Uang lembur bagi mereka disediakan oleh pihak yayasan, tanpa patokan jumlah dari kami karena memang tidak ada anggaran khusus untuk itu," tambahnya.
Dengan meningkatnya produksi sampah selama perayaan Imlek, diharapkan masyarakat dan wisatawan turut berpartisipasi dalam menjaga kebersihan kota agar kemeriahan perayaan tetap berjalan dengan nyaman dan lingkungan tetap terjaga.
*Persoalan Sampah di Kepulauan Meranti : Antara Kesadaran Masyarakat dan Keterbatasan Fasilitas
Masalah sampah yang berserakan di ibu kota Kabupaten Kepulauan Meranti masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah. Kepala Bidang Lingkungan Hidup Dinas Perkimtan-LH, Dewi Atmidilla, ST, MM, menegaskan bahwa persoalan ini tidak hanya bisa diselesaikan oleh pemerintah, melainkan membutuhkan kesadaran penuh dari masyarakat.
"Kami sudah berupaya dengan berbagai cara, seperti memasang selebaran, spanduk, hingga pagar seng agar warga tidak membuang sampah sembarangan. Namun, tidak hanya diabaikan, bahkan pagar seng dan spanduknya malah dicabut," ungkap Dewi.
Selain itu, petugas kebersihan juga telah ditempatkan di lokasi-lokasi rawan pembuangan sampah ilegal, tetapi masyarakat justru membuang sampah saat petugas tidak berjaga.
"Mereka seperti bermain kucing-kucingan dengan petugas. Sosialisasi sudah dilakukan hingga ke tingkat RT, tetapi kesadaran masyarakat masih menjadi kendala utama dalam pengelolaan sampah ini," tambahnya.
Dewi menegaskan bahwa tanggung jawab utama dalam pengelolaan sampah sebenarnya ada di tangan masyarakat. Sementara itu, Dinas Perkimtan-LH hanya berperan sebagai fasilitator. Namun, keterbatasan infrastruktur juga menjadi tantangan besar dalam upaya pengelolaan sampah di Kepulauan Meranti.
Sebagai kabupaten yang telah berdiri selama 16 tahun, Kepulauan Meranti seharusnya sudah memiliki mesin pemilah dan pencacah sampah untuk mendukung pengolahan limbah. Sayangnya, hingga saat ini, alat tersebut belum tersedia.
"Tahun lalu kami sudah mengajukan anggaran Rp 5 miliar untuk pengadaan mesin pencacah dan pemilah sampah, tetapi belum disetujui. Tahun ini, kami kembali mengusulkan alat serupa dengan skala lebih kecil seharga Rp 500 juta. Namun, kami belum tahu apakah akan kembali dicoret karena adanya refocusing anggaran," jelas Dewi.
Sementara itu, kondisi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Desa Gogok, Kecamatan Tebingtinggi Barat, yang hanya memiliki luas dua hektare, kini dalam kondisi overload. Sampah yang terus menumpuk bahkan sudah meluber hingga ke jalan.
Pemkab sebenarnya telah menerima hibah lahan seluas delapan hektare di Desa Sesap untuk dijadikan TPA baru. Namun, untuk memenuhi standar, TPA harus memiliki luas minimal 10 hektare, sehingga masih diperlukan pembebasan lahan tambahan.
Dewi menegaskan bahwa pengelolaan sampah di masa depan tidak hanya bertumpu pada TPA, melainkan harus dikelola langsung oleh masyarakat melalui sistem daur ulang.
"Tahun ini, kami akan membangun rumah kompos dan maggot untuk mengelola sampah organik melalui dana Pokir. Sementara untuk sampah anorganik, kami sedang mengupayakan sistem pemilahan sambil menunggu pengadaan mesin pencacah," katanya.
Dengan berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah daerah, Dewi berharap masyarakat bisa lebih sadar dalam menjaga kebersihan lingkungan dan tidak lagi membuang sampah sembarangan. Sebab, tanpa kesadaran kolektif, permasalahan sampah di Kepulauan Meranti akan terus menjadi momok yang sulit diselesaikan. (R-04)