Penggemukan Sapi BUMD Meranti Berhenti Beroperasi dan Terbengkalai, Sisanya Dimitrakan ke Peternak Lokal
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Farm pengelolaan sapi milik Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Bumi Meranti (Perseroda), yang terletak di Jalan Pelajar, Dusun 1 Dorak, Desa Banglas, Kecamatan Tebingtinggi, kini hanya menyisakan cerita. Sepintas, lokasi yang dulu digadang-gadang menjadi pusat penggemukan sapi ini terlihat sepi dan terbengkalai, bahkan terkesan angker karena ditinggalkan tanpa aktivitas.
Pantauan di lapangan menunjukkan bahwa tidak ada kegiatan yang berlangsung. Bangunan yang pernah menjadi pusat penggemukan sapi kini tertutup oleh rumput liar yang tumbuh tanpa kendali. Jejak-jejak yang diharapkan kejayaannya seakan memudar di bawah bayang-bayang waktu.
Bangunan ini awalnya dibangun dengan nilai hampir Rp 1 miliar dan koor bisnis BUMD yang satu ini diharapkan dapat menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan daging sapi lokal, terutama menjelang Idul Adha. Dengan kapasitas 150 ekor sapi, tempat ini pernah menjadi harapan besar. Namun, realita berkata lain. Penjualan sapi hasil penggemukan tidak mencapai target, hanya laku kurang dari 50 persen, sehingga menyisakan persoalan finansial yang membebani BUMD.
Kini, kondisi farm tersebut menjadi sorotan masyarakat. Tidak sedikit yang mempertanyakan kelanjutan pengelolaan aset daerah ini dan apakah ada upaya untuk menghidupkannya kembali. Tempat yang pernah menjadi simbol harapan ekonomi lokal kini menjadi saksi bisu atas tantangan dalam pengelolaan bisnis berbasis daerah.
Warga berharap pemerintah daerah dan BUMD dapat mengevaluasi kembali pengelolaan aset ini agar tidak hanya menjadi investasi sia-sia, tetapi mampu memberikan manfaat nyata bagi masyarakat Kepulauan Meranti.
Direktur BUMD PT Bumi Meranti, Budiman, saat dikonfirmasi mengakui jika bisnis penggemukan sapi di tempat tersebut, telah dihentikan sejak Agustus tahun lalu. Program ini, yang awalnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan daging sapi di daerah, kini bergeser ke pola kemitraan dengan peternak lokal. Kondisi ini mencerminkan ketidakmampuan pihak BUMD dalam menjalankan bisnisnya
Budiman menjelaskan bahwa dari total 150 ekor sapi yang digemukkan, hanya 47 ekor yang berhasil terjual. Sebanyak 2 ekor sapi diberikan sebagai Corporate Social Responsibility (CSR) kepada Bupati untuk acara Kenduri Sekampung dalam rangka HUT ke-16 Kabupaten Kepulauan Meranti. Sayangnya, 3 ekor sapi mati karena sakit selama proses penggemukan.
Sisa sapi yang tidak terjual, berjumlah 98 ekor, kemudian dimitrakan kepada peternak di delapan lokasi berbeda di Kecamatan Tebingtinggi, Tebingtinggi Barat, dan Rangsang Barat. Namun, jumlah tersebut kembali berkurang karena 3 ekor sapi dilaporkan mati di tempat mitra.
Budiman menjelaskan bahwa keputusan untuk menerapkan pola kemitraan ini telah melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan sesuai dengan rencana awal bisnis BUMD, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13 Tahun 2017.
"Jadi koor bisnis penggemukan sapi kita di tempat itu sudah tidak jalan lagi, untuk itu sapi dari sisa penjualan kita titipkan kepada mitra untuk dilakukan pemeliharaan. Keputusan untuk memitrakan sisa sapi ini didasarkan pada survei dan seleksi ketat yang melibatkan Dinas Peternakan, dokter hewan, dan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Mitra peternak yang dipilih harus memenuhi kriteria tertentu, termasuk kemampuan memelihara sapi sesuai standar," ujar Budiman, Senin (27/1/2025).
Dalam skema kemitraan ini, jumlah sapi yang diterima oleh setiap peternak disesuaikan dengan kapasitas dan kesanggupan mereka. Semua biaya operasional selama pemeliharaan ditanggung sepenuhnya oleh mitra. Sedangkan keuntungan dari hasil penjualan sapi akan dibagi dua antara BUMD dan mitra.
"Skema ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kedua belah pihak. Mitra mendapatkan peluang ekonomi, sementara BUMD tetap menjalankan misinya untuk memberdayakan masyarakat," tambahnya.
Budiman berharap pola kemitraan ini dapat menjadi solusi berkelanjutan untuk mengatasi tantangan yang dihadapi dalam bisnis penggemukan sapi di masa mendatang.
BUMD Sebut Perencanaan Bisnis Terganjal Penyertaan Modal yang Dikurangi
Direktur BUMD PT Bumi Meranti, Budiman, secara terbuka mengakui bahwa pihaknya tidak dapat menjalankan bisnis sesuai dengan rencana awal yang telah disusun. Ia menyebut bahwa naskah akademis dan kajian awal yang mendasari rencana bisnis ternyata tidak dapat diterapkan sepenuhnya karena perubahan besar dalam alokasi penyertaan modal dari pemerintah daerah.
Awalnya, di bawah kepemimpinan Bupati nonaktif Muhammad Adil, direncanakan penyertaan modal sebesar Rp 15 miliar untuk BUMD. Dana tersebut akan dialokasikan untuk dua lini bisnis, yakni pengadaan eskavator sebesar Rp 10 miliar dan penggemukan sapi sebesar Rp 5 miliar. Namun, setelah Muhammad Adil terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK pada April 2023, rencana tersebut mengalami evaluasi besar-besaran.
"Setelah OTT itu, penyertaan modal dievaluasi karena kondisi keuangan daerah yang tidak memungkinkan. Akhirnya hanya diakomodir Rp 5 miliar untuk penggemukan sapi, sementara rencana awal kami telah dirancang untuk mendukung modal sebesar Rp 15 miliar," jelas Budiman.
Dengan pengurangan modal tersebut, BUMD harus melakukan revisi rencana kerja dan anggaran. Budiman mengungkapkan kebingungannya dalam mengelola modal yang jauh lebih kecil dari rencana awal, terutama mengingat tingginya biaya operasional.
"Kondisi ini tidak seperti rencana awal yang telah kita susun sebelumnya yang awalnya ada penyertaan modal Rp 15 miliar jadi Rp 5 miliar, sehingga kita dipaksakan untuk membuat RKP baru. Saya jadi bingung karena sudah ada kandang senilai Rp 1 miliar tinggal sisa Rp 4 miliar untuk pembelian sapi, dimana disana sudah ada biaya operasional yang sangat tinggi seperti bayar gaji karyawan dan pembelian rumput untuk pakan bahkan kami sempat berhutang untuk menutup biaya operasional," ungkapnya.
Selain itu, Budiman juga menyebut bahwa biaya operasional dalam bisnis penggemukan sapi tidaklah kecil. Dengan sumber daya yang terbatas, BUMD harus membuat strategi baru yang lebih realistis, namun tetap menghadapi berbagai tantangan di lapangan.
Menurut Budiman, perubahan drastis dalam perencanaan membuat pihaknya harus bekerja lebih keras untuk menyesuaikan diri. Namun, ia menekankan bahwa kondisi tersebut menuntut adanya dukungan pemerintah daerah untuk menjaga keberlanjutan bisnis.
"Dengan segala keterbatasan ini, kami berharap adanya kerja sama yang baik untuk memastikan program yang dijalankan tetap memberikan manfaat bagi masyarakat. Meski tidak sesuai harapan awal, kami akan terus berupaya mencari solusi terbaik," tukasnya.
Budiman juga membeberkan beberapa kendala yang dihadapi dalam usaha penggemukan sapi ini. Salah satu kendala utama adalah masa penggemukan yang tidak cukup karena keterlambatan penyertaan modal.
Segala hal yang termasuk dalam bisnis penggemukan sapi dan semuanya diatur dalam standar tata cara penggemukan. Dimana waktu efektif proses penggemukan baru 2 bulan dan proses pemulihan 1 bulan, sehingga menurutnya itu tidak cukup waktunya.
"Masa penggemukan yang ideal seharusnya 6 bulan, namun saat itu baru berjalan 3 bulan sejak sapi tiba dimana satu bulannya merupakan masa pemulihan, hal itu dikarenakan penyertaan modal yang agak lambat, sehingga ini tidak cukup maksimal. Selain itu saya jujur ada kelemahan di internal untuk pengelolaan tapi ini PR kita," jelasnya.
Selain itu, faktor geografis dan pakan juga menjadi tantangan dalam pengelolaan penggemukan sapi jenis Ongol ini.
Dari sisi bisnis, penjualan sapi milik BUMD juga menghadapi persaingan ketat. Masyarakat cenderung lebih memilih sapi Bali ketimbang sapi jenis Ongol.
"Saat ini sapi bebas masuk ke Kepulauan Meranti, permintaan sapi Bali lebih tinggi di masyarakat, sementara sapi jenis Ongol kurang diminati,
Direktur BUMD PT Bumi Meranti itu juga membeberkan sejumlah tantangan yang dihadapi dalam usaha penggemukan sapi jenis Ongol yang sempat dijalankan perusahaan. Salah satu kendala utama adalah keterlambatan penyertaan modal yang memengaruhi masa penggemukan sapi sehingga hasilnya tidak maksimal.
Menurut Budiman, bisnis penggemukan sapi membutuhkan proses yang terstandar. Masa penggemukan idealnya berlangsung selama enam bulan untuk mencapai berat optimal. Namun, waktu efektif penggemukan hanya berjalan selama dua bulan, dengan satu bulan sebelumnya dialokasikan untuk masa pemulihan setelah sapi tiba.
"Penyertaan modal yang terlambat membuat kami hanya memiliki waktu tiga bulan sejak sapi tiba, dengan satu bulan untuk pemulihan. Idealnya, masa penggemukan itu harus enam bulan agar hasilnya maksimal. Selain itu, saya juga jujur mengakui ada kelemahan di internal dalam pengelolaan. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi kami ke depannya," ujar Budiman.
Budiman juga menjelaskan tantangan geografis di Kabupaten Kepulauan Meranti yang turut memengaruhi usaha penggemukan sapi. Faktor ini berdampak pada distribusi pakan dan pengelolaan sapi jenis Ongol yang membutuhkan perawatan khusus.
Selain itu, ketersediaan pakan menjadi isu penting. "Pengelolaan sapi jenis Ongol ini cukup menantang, terutama dari sisi geografis dan suplai pakan yang harus terus tersedia," tambahnya.
Dari sisi pemasaran, BUMD juga menghadapi persaingan ketat dengan sapi Bali yang lebih diminati oleh masyarakat setempat.
"Saat ini, sapi jenis Ongol kurang diminati masyarakat, sementara permintaan terhadap sapi Bali jauh lebih tinggi. Kondisi ini membuat penjualan sapi Ongol kami cukup sulit," ungkap Budiman.
Ketika ditanya mengapa memilih jenis sapi Ongol meskipun menghadapi kesulitan pemasaran, Budiman menjelaskan bahwa keputusan tersebut berdasarkan masukan dari Dinas Peternakan.
"Pemilihan sapi Ongol dilakukan berdasarkan rekomendasi Dinas Peternakan, dengan harapan dapat memberikan hasil yang baik. Namun, tantangan di lapangan ternyata berbeda," jelasnya.
Penyertaan Modal Rp 5 Miliar, Keuntungan Minim, Modal Tak Kembali Utuh
Alih-alih harus memikirkan keuntungan sehingga mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap PAD dan mendukung berbagai program pembangunan daerah karena mendapatkan penyertaan modal dari pemerintah daerah, Direktur BUMD malah tidak bicara untung dan justru menghadapi kenyataan bahwa modal penyertaan sebesar Rp 5 miliar dari pemerintah daerah tidak kembali seperti semula.
BUMD awalnya diharapkan mampu memberikan kontribusi besar terhadap PAD sekaligus mendukung berbagai program pembangunan daerah. Namun, realisasi bisnis jauh dari ekspektasi.
Sorotan publik terhadap pengelolaan BUMD ini pun semakin tajam. Banyak pihak berharap ada evaluasi menyeluruh terhadap strategi bisnis BUMD agar modal dari pemerintah dapat digunakan secara efektif dan memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat
Direktur BUMD, Budiman, mengungkapkan bahwa dari 150 ekor sapi yang diusahakan dalam program penggemukan, hanya 49 ekor yang berhasil terjual dengan harga Rp 16,5 juta per ekor. Jika dikalkulasikan, total pendapatan dari penjualan ini mencapai Rp 775,5 juta.
Sementara itu, sisa sapi sebanyak 95 ekor telah dimitrakan ke peternak lokal. Jika seluruh sapi yang tersisa dijual dengan harga yang sama, estimasi pendapatan mencapai Rp 1,567 miliar. Namun, berdasarkan skema kemitraan, hasil penjualan harus dibagi dua antara BUMD dan mitra, sehingga BUMD hanya akan memperoleh Rp 783,75 juta.
Dengan demikian, total pendapatan yang berhasil dihimpun BUMD dari penjualan sapi dan hasil kemitraan hanya Rp 1,559 miliar. Jumlah ini jauh dari modal awal yang diberikan pemerintah daerah, menyisakan defisit sebesar Rp 3,44 miliar.
"Modal yang kami dapatkan sebesar Rp 5 miliar, tetapi dari kalkulasi saat ini jelas terlihat bahwa modal tersebut belum bisa kembali sepenuhnya, apalagi untuk memberikan keuntungan yang signifikan kepada PAD," jelas Budiman.
Terakhir, Direktur BUMD PT Bumi Meranti itu memberikan klarifikasi terkait polemik kerugian yang dialami usaha penggemukan sapi di bawah naungan BUMD. Dalam keterangannya, ia menegaskan bahwa pihaknya hanya menjalankan tugas sebagai direksi, sementara kebijakan besar, termasuk arah bisnis, sangat dipengaruhi oleh keputusan kepala daerah.
"Kami hanya direksi yang menjalankan bisnis, sementara semua keputusan strategis ditentukan oleh bupati. Kalau ada yang menyalahkan kami, selagi kami tidak menyalahgunakan wewenang dan menjalankan proses sesuai mekanisme, maka tidak ada masalah. Terlepas pertanyaan soal kenapa profit margin tidak tercapai," ujar Budiman.
Setelah proyek penggemukan sapi dinyatakan gagal, BUMD berencana mengalihkan fokus bisnisnya. Lokasi tempat penggemukan sapi yang kini terbengkalai akan dialihfungsikan menjadi gudang untuk bisnis bahan bangunan.
Budiman menjelaskan bahwa modal untuk bisnis baru ini diharapkan berasal dari Participating Interest (PI) 10% yang diterima Kabupaten Kepulauan Meranti sebagai daerah penghasil minyak dan gas (migas). Dengan rencana ini, BUMD berharap dapat memulai babak baru yang lebih menguntungkan.
"Kami akan mengalihkan lokasi penggemukan sapi menjadi gudang bahan bangunan. Untuk modal, kami berharap dari Participating Interest 10% yang memang menjadi hak daerah penghasil migas. Semoga ini menjadi langkah baru yang lebih produktif bagi BUMD," tambahnya.
Budiman mengakui bahwa pengalaman dalam bisnis penggemukan sapi menjadi pelajaran berharga, terutama dalam memahami tantangan operasional dan kebijakan. Ke depan, ia berharap agar BUMD dapat bergerak lebih mandiri dengan rencana bisnis yang lebih matang, tanpa terlalu banyak intervensi yang dapat memengaruhi arah perusahaan.
"Kami berharap bisa lebih fokus ke bisnis-bisnis yang sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerah, tentunya dengan dukungan penuh dari semua pihak," pungkasnya. (R-01).