Ironi Keadilan Sumber Daya Migas, Ketika Participating Interest Dianggap 'Jatah Preman' untuk Daerah
Penulis: Nazaruddin l Pemerhati Ekonomi dan Kebijakan Publik
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Ketika membahas Participating Interest (PI) 10% untuk daerah penghasil migas yang merupakan amanah konstitusi melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2016, tak sedikit suara sumbang muncul dari perusahaan migas swasta. Mereka menganggap kebijakan ini tak lebih dari "jatah preman" yang membebani investasi mereka. Sebuah narasi sinis yang justru menyingkap ironi besar dalam pengelolaan sumber daya alam nasional.
Participating Interest (PI) 10% bukanlah sekedar pendekatan tekno-ekonomi yang dikesankan oleh perusahaan migas selama ini. Beleid ini lahir dari filosofi keadilan sosial, dimana daerah penghasil sumberdaya migas berhak mendapatkan manfaat dari kekayaan alam yang dikeruk dari perut bumi mereka. Itu yang harus dapat dipahami bersama.
PI 10%: Hak Daerah atau Beban Perusahaan?
Participating Interest 10% adalah kebijakan yang memungkinkan pemerintah daerah, melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), memiliki andil dalam pengelolaan sumber daya migas di wilayah mereka. Secara teori, ini adalah bentuk pemerataan manfaat, memastikan bahwa daerah tidak hanya menjadi korban eksploitasi sumber daya alam tanpa imbal hasil.
Namun sayang dalam tataran praktis, beberapa perusahaan migas swasta memandangnya dengan sudut pandang berbeda. Bagi mereka, PI adalah skema "gratisan" untuk daerah, sebuah porsi yang dianggap tidak perlu karena dianggap tidak memberikan kontribusi langsung dalam modal atau operasi. Bahkan, ada yang secara terang-terangan menyebutnya sebagai "jatah preman."
Pernyataan dan sikap apriori seperti ini menunjukkan betapa jauhnya perusahaan-perusahaan tersebut dari pemahaman mengenai prinsip keadilan sosial dan tanggung jawab terhadap komunitas lokal.
Siapa yang Sebenarnya Gratisan?
Mari kita balikkan argumen. Jika PI adalah gratisan, bukankah perusahaan-perusahaan ini juga menikmati "gratisan" dalam bentuk kekayaan alam yang berada di tanah rakyat? Setiap barel minyak yang mereka eksploitasi tidak datang dari kantong pribadi pemilik perusahaan atau pemegang saham, melainkan dari anugerah Tuhan dari perut bumi yang secara hukum adalah milik negara dan masyarakat.
Lalu, ketika perusahaan menikmati kemudahan regulasi, insentif pajak, hingga perlindungan hukum untuk mengeksploitasi sumberdaya alam berupa migas, apakah itu tidak termasuk bentuk "gratisan"? Jika ada yang berhak menggunakan istilah "jatah preman", siapa sebenarnya yang lebih pantas mendapatkannya?
Mempertanyakan Moralitas Bisnis
Lebih ironis lagi, pandangan ini menunjukkan minimnya empati perusahaan terhadap masyarakat lokal yang sering kali menderita dampak negatif eksploitasi migas: kerusakan lingkungan, pencemaran air, dan bahkan konflik sosial. PI 10% adalah upaya kecil untuk menyeimbangkan skala keadilan, memberikan sedikit manfaat bagi daerah yang telah memberikan banyak hal.
Namun, mengapa perusahaan begitu enggan memberikan porsi ini? Apakah laba yang sudah dikeruk melimpah selama puluhan tahun masih kurang? Ataukah ini sekadar cerminan dari sikap tamak yang mengesampingkan tanggung jawab sosial?
Mengapa Risiko Daerah Diabaikan?
Yang sering dilupakan perusahaan adalah bahwa daerah penghasil migas menanggung risiko besar akibat eksploitasi sumberdaya alam. Bencana lumpur akibat eksplorasi migas oleh entitas Lapindo Brantas di Sidoarjo adalah contoh nyata bagaimana daerah menjadi korban, alih-alih menerima manfaat dari operasi kegiatan migas.
Pada tahun 2006, semburan lumpur aktivitas pengeboran migas Lapindo Brantas yang merupakan satu perusahaan dengan EMP menghancurkan ribuan rumah, memaksa puluhan ribu orang kehilangan tempat tinggal, dan melumpuhkan kegiatan perekonomian daerah. Kerugian ekonomi mencapai triliunan rupiah, sementara dampak sosial dan lingkungan masih dirasakan sampai hari ini.
Dalam contoh kasus seperti ini, dimana perusahaan seolah mencuci tangan dari tanggung jawab moral dan sosial, masyarakat daerahlah yang harus menanggung akibatnya. Bukankah PI 10% adalah upaya kecil untuk memberikan kompensasi atas risiko besar yang mereka pikul?
Pesan untuk Daerah: Jangan Diam
Bagi daerah penghasil migas, sikap sinis dan cenderung menganggap rendah dari perusahaan ini harus menjadi motivasi untuk terus memperjuangkan hak.
PI 10% bukanlah belas kasihan dari perusahaan, melainkan merupakan regulasi pemerintah dan bagian dari kesepakatan hukum yang harus dihormati. Daerah tidak seharusnya gentar dengan tudingan sinis "jatah preman", karena yang mereka minta adalah hak, bukan sedekah.
Jika perusahaan masih berkeras dengan argumen mereka, masyarakat dan pemerintah harus mempertanyakan: apakah kita masih membutuhkan perusahaan seperti ini? Ataukah lebih baik mencari mitra yang benar-benar memahami arti tanggung jawab sosial?
Narasi bahwa PI 10% adalah "gratisan" atau "jatah preman" hanya mencerminkan ketidakpedulian perusahaan terhadap prinsip keadilan dan tanggung jawab sosial. Kekayaan migas bukan milik segelintir korporasi, melainkan milik seluruh rakyat.
Jika perusahaan merasa terbebani dengan kewajiban ini, mungkin mereka perlu mengingat siapa yang sebenarnya menjadi tuan rumah dalam eksploitasi sumber daya ini. (R-01)