Memaknai Friksi di DPRD Kuansing: Menguji Kedewasaan Elit Politik Lokal
SabangMerauke News - Pada prinsipnya pergantian alat kelengkapan dewan (AKD) di DPRD merupakan kesepakatan dari ketua-ketua partai politik dan fraksi yang ada di daerah masing masing. AKD merupakan jabatan politik, bukan jabatan struktural yang pengaturannya dilakukan berdasarkan deal-deal politik antara fraksi atau antara partai politik yang ada di DPRD. Hal inilah yang baru-baru ini terjadi di DPRD Kuantan Singingi (Kuansing).
Pengaturan AKD itu dilakukan berdasarkan tata tertib (tatib) yang telah ditentukan oleh DPRD di awal masa jabatan saat pelantikan dulu. Juga diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 12 tahun 2018. Di dalam dalam tatib ini, diatur lebih teknis soal bagaimana pengambilan keputusan rapat-rapat, kourum dan sebagainya.
BERITA TERKAIT: PKB Kuansing: Plt Bupati Jangan Berlagak Seperti Anggota Dewan
Ketika tatib ini sudah diputuskan, maka terbentuklah deal-deal politik sehingga menghasilkan pembentukan AKD. Sepanjang itu sesuai dengan peraturan tatib yang ada, maka itu dianggap sah.
Contoh pertama dalam dinamika politik terjadi pada awal periode DPRD Provinsi Riau pada dua setengah tahun pertama. Dimana pada saat pemilihan AKD, ada tiga fraksi di DPRD Provinsi Riau tidak mendapatkan posisi ketua sama sekali di AKD yaitu Fraksi PKS, Fraksi PAN dan Fraksi Gerindra.
Contoh kedua dinamika politik yakni saat semua Fraksi di DPRD Kota Pekanbaru, minus Fraksi PKS meminta Hamdani untuk mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPRD. Contoh ketiga terjadi di Kuansing pada pemerintahan Mursini-Halim terjadi perbedaan pendapat dan tidak sejalan antara eksekutif dan legislatif yang mengakibatkan semua proses di pemerintahan tidak berjalan maksimal dan terhambat.
BERITA TERKAIT: Pertimbangkan Langkah Hukum, Suhardiman Tegaskan Tak Ikut Campur Urusan Dewan: Kuansing Baik-baik Saja!
Begitulah kenyataannya dinamika politik. Dan itu dirasa sah-sah saja, meski konsekuensinya berimbas kepada kepentingan anggota partai, kepentingan fraksi, kepentingan partai serta aspirasi masyarakat dari dapil masing-masing.
Maka, dalam dinamika politik yang ada di DPRD, hal itu merupakan hal yang biasa dan sah-sah terjadi. DPRD itu memang harus ada dinamikanya. Itu yang dinamakan dengan dinamika politik.
Hal itu bertujuan untuk memperkuat institusi DPRD itu sendiri, memperkuat DPRD dari intervensi dan dari kepentingan-kepentingan luar dari DPRD itu sendiri. Termasuk kepentingan kepala daerah yang kerap tidak sesuai dengan kepentingan DPRD dalam menjalankan amanah rakyat.
Intinya, DPRD itu tidak bisa diintervensi oleh siapapun apalagi oleh kepala daerah. Kalau itu terjadi, maka nantinya DPRD itu tidak lagi memiliki fungsi serta kontrol dalam mengawasi kinerja kepala daerah.
Kalau hal ini bisa dipahami oleh semua anggota DPRD, maka DPRD akan menjadi lebih kuat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Baik dari sisi pengawasan, penganggaran dan pembentukan peraturan-peraturan daerah.
Dengan tidak adanya keterwakilan masing masing fraksi pada posisi ketua AKD, sebenarnya tidak menjadi persoalan. Karena fungsinya sudah diatur di tatib DPRD dengan syarat setiap keputusan DPRD diambil dengan memenuhi kourumnya rapat pengambilan keputusan itu sendiri.
Dalam dinamika politik kejadian itu sesuatu hal yang lumrah dan wajar terjadi. Akan tetapi, wajib hukumnya bagi fraksi-fraksi di DPRD yang anggotanya mengemban amanah menjabat sebagai pimpinan AKD untuk merangkul bahkan melobi fraksi lain yang belum mendapatkan posisi pimpinan.
Maka jangan kedepankan kepentingan pribadi, kepentingan fraksi dan kepentingan partai dalam menjalankan tugas sebagai perpanjangan tangan dari rakyat.
Seharusnya dengan adanya dinamika politik yang terjadi pada saat sekarang ini, masing masing anggota DPRD harus lebih memahami dan lebih kuat lagi untuk menjalankan tugas dan fungsinya sebagai perwakilan dari dapilnya masing-masing. Anggota Dewan jangan lemah.
Keterlibatan bupati dalam pemilihan AKD dan dalam pengambilan keputusan apa pun, itu juga adalah hal yang wajar dan sah-sah saja dalam dinamika politik.
Ingatlah akan kepentingan rakyat, kalau seandainya APBD tersendat baik murni maupun perubahan, proglam legislasi daerah tidak berjalan dua setengah tahun ke depan, apa yang akan terjadi nantinya? Jadi marilah bersikap dewasa dan legowo karena sesuatu hal tersebut wajar dalam dinamika politik. (cr4)
Penulis: Tito Handoko, Pemerhati Politik dan Pemerintahan