Gencatan Senjata Hamas-Israel di Gaza, Ini Untung Ruginya
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Israel dan milisi penguasa Gaza Palestina, Hamas, sepakat untuk melakukan gencatan senjata hari Minggu pekan ini. Hal ini terjadi setelah keduanya, dengan bantuan mediator dari Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat (AS), menyepakati sejumlah hal terkait dengan penghentian serangan dan pembebasan sandera Israel.
Kesepakatan tersebut menguraikan gencatan senjata awal selama enam minggu dengan penarikan pasukan Israel secara bertahap dari Jalur Gaza, tempat puluhan ribu orang telah terbunuh. Para sandera yang ditawan Hamas akan dibebaskan sebagai ganti tahanan Palestina yang ditahan Israel.
Dalam konferensi pers di Doha, Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani mengatakan gencatan senjata akan mulai berlaku pada hari Minggu. Para negosiator tengah bekerja sama dengan Israel dan Hamas untuk mengambil langkah-langkah guna melaksanakan kesepakatan tersebut.
"Kesepakatan ini akan menghentikan pertempuran di Gaza, menyalurkan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan bagi warga sipil Palestina, dan menyatukan kembali para sandera dengan keluarga mereka setelah lebih dari 15 bulan ditawan," timpal Presiden AS Joe Biden di Washington.
Serangan ini sendiri terjadi setelah pertempuran 15 bulan antara kedua pihak. Pihak berwenang di Gaza mengatakan kampanye Israel telah menewaskan lebih dari 46.000 warga Palestina dan membuat sebagian besar penduduk yang berjumlah 2,3 juta orang mengungsi. Sebagian besar daerah kantong pesisir itu juga dilaporkan hancur.
Berikut sejumlah hal yang dapat menguntungkan dari perdamaian dan gencatan senjata Israel-Hamas:
1. Stabilitas Ekonomi Israel-Palestina
Perdamaian sendiri terjadi saat ekonomi Israel masih terus dibayang-bayangi peperangan negara itu dengan Gaza. Dalam laporan OECD Economic Outlook yang dirilis bulan lalu, perang akan semakin membebani aktivitas dan defisit fiskal yang sudah besar.
Di sisi lain, de-eskalasi yang cepat dapat melepaskan permintaan yang terpendam. Perdamaian antara Israel dan Gaza juga pun diramalkan memperbaiki kondisi fiskal yang saat ini mengalami defisit
"Normalisasi parsial dalam lingkungan bisnis diasumsikan memungkinkan peningkatan ekspor dan konsumsi swasta mulai pertengahan tahun 2025," tulis laporan OECD.
Kondisi ekonomi Israel sangat terdampak oleh konflik. Peningkatan tajam dalam aktivitas militer telah mendorong permintaan pemerintah meningkat lebih dari seperlima dari level sebelum perang pada paruh kedua tahun 2024. Selain itu, pembatasan pekerja Palestina untuk masuk bekerja ke Israel telah membebani Negeri Yahudi itu.
"Kekurangan tenaga kerja yang terus-menerus dalam konstruksi telah membatasi investasi. Beberapa pekerja asing baru (0,4% dari lapangan kerja) telah memasuki Israel sejak izin kerja ditangguhkan untuk warga Palestina (4% dari lapangan kerja sebelum perang)."
"Serangan roket telah secara signifikan mengurangi produksi industri dan pertanian di wilayah Utara. Keterbatasan pasokan berkontribusi terhadap inflasi yang meningkat dari 2,5% menjadi 3,5% selama Februari-Oktober 2024."
Sementara itu, kesepakatan ini juga menjadi pintu penting bagi rekonstruksi wilayah Gaza dan Tepi Barat untuk menghidupkan kembali kegiatan ekonomi yang lumpuh akibat perang. Diketahui, lebih dari 70% infrastruktur di Gaza hancur akibat digempur Israel.
2. Jalur Perdagangan Dunia yang Kondusif
Jika berhasil, gencatan senjata akan menghentikan pertempuran yang telah menghancurkan sebagian besar wilayah Gaza. Hal itu pada gilirannya dapat meredakan ketegangan di seluruh Timur Tengah yang lebih luas karena diketahui, perang ini telah memicu konflik di Tepi Barat yang diduduki Israel, Lebanon, Suriah, Yaman, dan Irak.
Sejauh ini milisi sokongan Iran di Yaman, Houthi telah melancarkan serangan ke sejumlah kapal yang terkait dengan Israel dan milisinya di Laut Merah. Houthi sendiri menyebut serangannya akan terus dilakukan hingga Israel berhenti menyerbu Gaza.
Hal ini pun telah menimbulkan efek global. Ini disebabkan strategisnya Laut Merah sebagai penyambung Laut Tengah dan Samudera Hindia, dan menjadi pusat produksi migas dunia.
Beberapa raksasa perkapalan dunia seperti Maersk, Mediterranean Shipping Company (MSC), Ocean Network Express (ONE), Hapag Lloyd, dan Hyundai Merchant Marine (HMM) memilih untuk menghindari perairan Laut Merah dan Terusan Suez, yang mengakomodir 15% perdagangan dunia, akibat serangan Houthi.
Mereka pun mengambil rute memutari Benua Afrika ke Tanjung Harapan. Ini meningkatkan waktu perjalanan antara 30% dan 50%, sehingga mengurangi kapasitas pasar global.
3. Meredam Ketegangan Israel-Iran
Iran menjadi salah satu negara yang sangat vokal dalam menentang serangan Israel ke Gaza. Teheran bahkan sempat terlibat baku tembak rudal dengan Tel Aviv akibat isu Gaza, yang menimbulkan kekhawatiran perang besar di Timur Tengah.
Sejauh ini, Negeri Persia telah menyambut baik kesepakatan gencatan senjata. Mereka menyebut pemberlakuan gencatan senjata terhadap rezim Zionis (Israel) merupakan kemenangan yang jelas dan besar bagi Palestina dan kekalahan yang lebih besar bagi rezim Zionis.
"Perlawanan tetap hidup, berkembang, kuat ... dan memiliki keyakinan yang lebih dalam pada janji Ilahi untuk membebaskan Masjid Al Aqsa dan Yerusalem," kata Garda Revolusi, memperingatkan terhadap pelanggaran gencatan senjata oleh Israel dan mengatakan mereka mempertahankan persiapan lapangan untuk menghadapi "perang dan kejahatan baru."
Dampak Lanjutan
Sementara itu, ada juga dampak-dampak lainnya yang akan terpengaruh akibat gencatan senjata ini. Berikut poin-poin tersebut:
1. Gonjang-ganjing Politik Israel
Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, mengancam akan keluar dari pemerintahan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu, Selasa (14/1/2025). Hal ini disebabkan progres gencatan senjata antara Israel dengan milisi penguasa Gaza Palestina, Hamas.
Dalam laporan Reuters, Ben-Gvir, yang kepergiannya belum bisa menjatuhkan Netanyahu, mendesak Menteri Keuangan sayap kanan lainnya, Bezalel Smotrich, untuk bergabung dengannya dalam upaya mencegah kesepakatan gencatan senjata. Ia menggambarkan kesepakatan itu sebagai penyerahan diri kepada Hamas.
"Langkah ini adalah satu-satunya kesempatan kita untuk mencegah (kesepakatan) itu terlaksana, dan mencegah Israel menyerah kepada Hamas, setelah lebih dari setahun perang berdarah, yang mengakibatkan lebih dari 400 tentara IDF (Pasukan Pertahanan Israel) gugur di Jalur Gaza, dan untuk memastikan bahwa kematian mereka tidak sia-sia," kata Ben-Gvir di X.
Smotrich sendiri telah mengatakan pada hari Senin bahwa ia menolak kesepakatan tersebut tetapi tidak mengancam akan membubarkan koalisi Netanyahu. Mayoritas menteri diperkirakan akan mendukung kesepakatan gencatan senjata bertahap, yang merinci penghentian pertempuran dan pembebasan sandera.
Ben-Gvir menggemakan pernyataan Smotrich. Ia sempat mengatakan pada hari Senin bahwa Israel harus melanjutkan kampanye militernya di Gaza hingga kelompok militan Palestina Hamas menyerah sepenuhnya.
2. Normalisasi Arab-Israel
Perdamaian ini sendiri terjadi saat Donald Trump kembali akan dilantik sebagai presiden AS pada 20 Januari mendatang. Trump, yang pernah memimpin AS pada 2017-2021, merupakan motor normalisasi antara dunia Arab dengan Israel.
Trump sendiri mengaku 'sangat gembira' dengan kesepakatan itu seraya menyatakan timnya akan 'terus bekerja sama erat dengan Israel dan sekutu kami' untuk memastikan Gaza bebas teror, memperluas perdamaian Timur Tengah (Timteng).
Mengutip Reuters dan laman Times of Israel, ia bahkan sesumbar akan menggunakan momentum itu untuk memperluas kesepakatan Abraham Accords (Perjanjian Abraham), yang membuka hubungan normalisasi antara Israel dengan sejumlah negara Arab.
"Dengan kesepakatan ini, tim Keamanan Nasional saya, melalui upaya Utusan Khusus untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, akan terus bekerja sama dengan Israel dan sekutu kami untuk memastikan Gaza TIDAK PERNAH lagi menjadi tempat berlindung yang aman bagi teroris," tulis Trump di platform Truth Social miliknya, dikutip Kamis (16/1/2025).
"Kami akan terus menggalakkan PERDAMAIAN MELALUI KEKUATAN di seluruh kawasan, seraya kami membangun momentum gencatan senjata ini untuk lebih memperluas Perjanjian Abraham yang bersejarah," imbuhnya, merujuk pada perjanjian yang menormalisasi hubungan Israel dengan Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko.
"Perjanjian gencatan senjata EPIC ini hanya dapat terjadi sebagai hasil dari Kemenangan Bersejarah kita pada bulan November, karena hal itu memberi isyarat kepada seluruh Dunia bahwa Pemerintahan saya akan mencari Perdamaian dan menegosiasikan kesepakatan untuk memastikan keselamatan semua orang Amerika, dan Sekutu kita," lanjut Trump.
Perlu diketahui, Abraham Accords sendiri telah berupaya memperluas kesepakatan dengan menggaet Arab Saudi. Tetapi upaya tersebut terhenti oleh pecahnya perang, dan Riyadh mengatakan tidak akan mempertimbangkan normalisasi hubungan sampai Yerusalem berkomitmen pada "jalur yang kredibel" menuju negara Palestina.
Menteri Luar Negeri Saudi Pangeran Faisal bin Farhan telah berulang kali menekankan bahwa "normalisasi dan stabilitas sejati hanya akan terwujud dengan memberikan Palestina sebuah negara". Menurut sumber, beberapa pemerintah Arab kini memang menunggu untuk melihat apakah Trump akan menghidupkan kembali upaya normalisasi itu, termasuk kesepakatan Israel-Saudi.
"Ajudan Trump melakukan lebih banyak hal untuk memengaruhi perdana menteri (Israel Benjamin Netanyahu) dalam satu kali pertemuan daripada yang dilakukan Presiden Joe Biden yang akan lengser sepanjang tahun," tulis The Times of Israel merujuk dua pejabat Arab. (R-03)