Pulau Rangsang Teras NKRI di Kepulauan Meranti Hadapi 2 Ancaman Serius: Dikepung Konsesi Hutan Industri, Dari Laut Tergerus Abrasi
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Terbentang menghadap Selat Malaka, Pulau Rangsang di Kepulauan Meranti, Provinsi Riau, tengah menghadapi dua ancaman serius. Pulau dengan luasan 652,72 km² yang berbatasan langsung dengan negeri jiran Malaysia, diperhadapkan pada situasi ekologis yang tak menguntungkan: di darat tergerus konsesi hutan, dari laut terkikis abrasi pantai.
Pulau Rangsang menjadi areal konsesi hutan tanaman industri (HTI) yang diberikan pemerintah kepada PT Sumatera Ruang Lestari (SRL). Legalitasnya berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kehutanan Nomor SK. 208/Menhut-II/2007 tanggal 25 Mei 2007.
Sulit membantah, keberadaan perusahaan tersebut menimbulkan dampak terhadap ekosistem dan sosial kultural masyarakat yang mendiami Pulau Rangsang. Wilayah Pulau Rangsang secara administrasi meliputi tiga kecamatan, Rangsang, Rangsang Pesisir dan Rangsang Barat.
Ada kesan izin HTI seluas 18.890 hektare diterbitkan tanpa kajian yang komprehensif. Konsesi tampaknya diberikan dengan tidak cukup mempertimbangkan kondisi geografis dan kehidupan masyarakat lokal. Dampaknya, 10 desa yang termasuk ke dalam areal konsesi yang sebagian besar berupa lahan gambut rentan, kini berubah fungsi menjadi area tanam akasia dan kanal-kanal perusahaan.
Sejak PT SRL mulai beroperasi secara efektif pada 2009, aktivitas penebangan hutan, penanaman akasia, dan pengerukan tanah untuk kanal telah mengubah ekosistem Pulau Rangsang secara drastis. Gambut yang seharusnya menjadi penopang keseimbangan lingkungan malah terkuras dan kering, mempercepat kerusakan tanah.
Selain itu, abrasi yang melanda Pulau Rangsang juga telah menggerus puluhan hingga ratusan hektare tanah setiap tahunnya. Pulau yang dulunya megah sebagai garis depan kedaulatan Indonesia di Selat Malaka, kini terancam hilang secara perlahan. Dengan posisinya yang strategis di jalur perdagangan internasional, ketakutan akan kehilangan Pulau Rangsang tidak hanya menjadi masalah lingkungan tetapi juga geopolitik.
Masyarakat di 10 desa terdampak kini harus menghadapi kehilangan lahan, berkurangnya hasil tani, dan ancaman perubahan iklim akibat kerusakan gambut. Kehidupan tradisional yang mengandalkan sumber daya alam lokal terganggu oleh aktivitas industri, sementara abrasi terus mendekati pemukiman penduduk.
Kondisi Pulau Rangsang menjadi bukti nyata perlunya kebijakan yang berorientasi pada keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan konsesi yang hanya berorientasi ekonomi tanpa memperhatikan dampak jangka panjang harus dievaluasi.
Pulau Rangsang adalah wajah depan Indonesia di Selat Malaka. Upaya pelestarian dan rehabilitasi harus segera dilakukan untuk memastikan daratan ini tetap menjadi bagian dari kedaulatan Indonesia, sekaligus menjaga kehidupan masyarakat lokal dan ekosistemnya.
Konflik Berkepanjangan
Ketegangan antara masyarakat Kecamatan Rangsang dan Rangsang Pesisir dengan PT Sumatera Ruang Lestari (SRL) telah berlangsung sejak 2009, saat perusahaan mulai menjalankan konsesi yang diberikan melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) dari Kementerian Kehutanan. Dengan lahan konsesi seluas ±18.890 hektare, konflik tersebut tidak hanya mencakup persoalan hukum tetapi juga menyangkut keberlangsungan hidup masyarakat setempat.
Sejak awal, konsesi ini ditentang oleh masyarakat, terutama oleh mereka yang tanah ulayatnya diserobot oleh perusahaan. Hak masyarakat hukum adat diabaikan, sementara kebun-kebun milik warga rusak akibat aktivitas perusahaan. Penebangan pohon dan penanaman akasia memicu munculnya hama yang merusak tanaman lokal, menyebabkan banyak warga mengalami gagal panen.
Konflik muncul tidak hanya sampai disitu, setelah perusahaan masuk ke pulau Rangsang berbagai permasalahan terjadi, seperti penebangan pohon secara masif, kebakaran hutan, kekeringan.
Masalah semakin rumit ketika pihak perusahaan tetap berpegang teguh pada izin yang diberikan oleh Kementerian Kehutanan. Dengan dalih legalitas, mereka melanjutkan operasi meskipun sebagian wilayah konsesi mencakup area yang telah lama dihuni dan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat.
Dalam upaya mempertahankan haknya, masyarakat telah menempuh berbagai cara, mulai dari melaporkan sengketa ini ke pemerintah pusat, provinsi, hingga kabupaten. Namun, berbagai pendekatan formal tersebut belum membuahkan hasil.
Merasa aspirasinya diabaikan, masyarakat beralih ke tindakan langsung seperti memblokade jalan perusahaan, menahan kendaraan berat, hingga melakukan aksi protes di lapangan. Namun, langkah-langkah ini sering kali berujung pada kebuntuan, karena perusahaan terus beroperasi sesuai dengan izin yang dimiliki.
Peta konsesi perusahaan yang mencakup hampir sepertiga luas Pulau Rangsang menimbulkan kekhawatiran besar. Jika konsesi ini terus dijalankan tanpa solusi yang adil, maka tidak hanya lahan pertanian, tetapi juga pemukiman warga terancam habis.
Masyarakat menghadapi pilihan sulit, melawan perusahaan dengan risiko yang tidak kecil atau kehilangan sumber kehidupan mereka secara perlahan. Konflik ini bukan hanya soal legalitas, tetapi juga tentang keberlanjutan hidup masyarakat Pulau Rangsang yang bergantung pada tanah mereka.
Perjuangan Masyarakat
Pada tahun-tahun awal konflik lahan antara masyarakat Kecamatan Rangsang dan PT Sumatera Ruang Lestari (SRL), Kepala Adat dan masyarakat hukum adat menghadapi jalan terjal dalam mempertahankan hak mereka. Ketiadaan landasan hukum yang kuat membuat perjuangan mereka sering kali menemui kebuntuan. Namun, titik terang mulai tampak pada tahun 2015 dengan hadirnya Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 10 Tahun 2015 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya.
Perda tersebut memberikan amanat yang jelas: Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) memiliki tanggung jawab untuk membela dan menjaga tanah ulayat, serta memanfaatkannya demi kemakmuran masyarakat hukum adat setempat. Dengan dasar hukum ini, LAMR Kecamatan Rangsang mulai mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi konflik yang melibatkan tanah ulayat Buana Rangsang.
Tanah ulayat Buana Rangsang seluas 2.000 hektare menjadi simbol penting perjuangan masyarakat adat. Namun, kenyataan pahit tetap harus dihadapi: sebanyak 1.400 hektare dari lahan tersebut telah masuk dalam wilayah konsesi yang diberikan kepada PT SRL.
Meskipun Perda Nomor 10 Tahun 2015 memberikan harapan baru, implementasinya di lapangan tidak semudah yang dibayangkan. Masuknya tanah ulayat ke dalam wilayah konsesi menimbulkan dilema besar. Di satu sisi, masyarakat adat ingin menjaga kedaulatan atas tanah mereka, sementara di sisi lain, perusahaan terus menjalankan operasinya dengan berpegang pada izin konsesi yang telah diberikan oleh Kementerian Kehutanan.
Langkah-langkah yang diambil oleh LAMR, seperti mediasi, pengajuan dokumen legalitas, hingga advokasi di tingkat provinsi, menunjukkan komitmen besar untuk mempertahankan hak tanah ulayat. Namun, berbagai upaya ini sering kali terganjal oleh proses birokrasi yang panjang dan kurangnya dukungan politis yang signifikan.
Kekecewaan masyarakat adat terhadap lambannya proses penyelesaian konflik kerap kali membuat perjuangan ini terasa berat. Namun, semangat mereka untuk mempertahankan tanah ulayat tidak pernah padam. Bagi masyarakat adat, tanah ulayat bukan sekadar lahan, tetapi juga bagian dari identitas, warisan leluhur, dan sumber kehidupan.
Konflik ini menjadi pengingat akan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, masyarakat adat, dan perusahaan dalam mencari solusi yang adil dan berkelanjutan. Tanah ulayat harus dipandang sebagai bagian integral dari kesejahteraan masyarakat adat, bukan sekadar aset yang dapat dimanfaatkan secara ekonomi.
Dalam situasi ini, pemerintah diharapkan segera turun tangan untuk memediasi konflik yang berkepanjangan. Dibutuhkan solusi yang adil dan inklusif, baik bagi masyarakat maupun pihak perusahaan, dengan mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem Pulau Rangsang.
Jika dibiarkan tanpa penyelesaian, konflik ini tidak hanya akan memengaruhi masyarakat lokal tetapi juga mengancam masa depan Pulau Rangsang sebagai salah satu wilayah strategis Indonesia di perbatasan.
Dalam mediasi, Plt Bupati Kepulauan Meranti AKBP (Purn) Asmar menegaskan bahwa Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti berada di posisi untuk memfasilitasi aspirasi masyarakat agar disampaikan kepada perusahaan. Namun, PT SRL tidak menghadiri rapat tersebut tanpa memberikan alasan.
Bupati Asmar memastikan bahwa pemerintah daerah akan terus hadir untuk memfasilitasi konflik dan sengketa lahan masyarakat. Ia meminta masyarakat melengkapi dokumen yang dibutuhkan untuk mengajukan usulan mediasi lebih lanjut.
Desa Sungai Gayung Kiri Tergusur di Tanah Sendiri
Desa Sungai Gayung Kiri, yang terletak di Kecamatan Rangsang, Kepulauan Meranti, adalah salah satu desa yang terdampak langsung oleh keberadaan PT SRL. Desa ini mencakup wilayah seluas 99.924 km², yang menjadikannya desa terluas di kecamatan tersebut dengan proporsi 24,31 persen dari total luas Kecamatan Rangsang yang mencapai 411,12 km².
Namun, lebih dari tiga perempat wilayah desa, tepatnya 78 persen atau 77.940,72 km², telah masuk dalam konsesi perusahaan HTI (Hutan Tanaman Industri) yang fokus menanam akasia.
Kehadiran PT SRL yang memulai operasinya pada 2009 membawa dampak besar bagi kehidupan warga, baik dari segi sosial, ekonomi, maupun lingkungan.
"Luas desa kami yang masuk dalam wilayah konsesi PT SRL mencapai 78 persen. Jika ditarik lurus dari laut ke darat, hanya sekitar 2 kilometer wilayah desa yang bebas konsesi, sedangkan 8 kilometer lainnya menjadi bagian konsesi perusahaan,” ungkap Perdana Noriowati, Kepala Desa Sungai Gayung Kiri, Kamis (16/1/2025).
Perdana juga mengungkapkan bahwa bahkan lahan keluarganya, yang telah digarap sejak 1996, kini masuk dalam kawasan konsesi. "Seluruh wilayah desa kami, termasuk jalan poros kecamatan yang dibangun Pemda, berada dalam areal konsesi. Kami serasa menjadi tamu di desa kami sendiri," tambahnya.
Desa Sungai Gayung Kiri resmi dimekarkan dari Desa Tanjung Kedabu pada 2004. Berdasarkan data terbaru Desember 2024, desa ini dihuni oleh 429 kepala keluarga dengan total penduduk 1.392 jiwa. Namun, kehadiran konsesi perusahaan membuat ruang hidup warga semakin sempit, terlebih abrasi yang terus-menerus menggerus pesisir.
Kehidupan masyarakatnya yang banyak bekerja sebagai petani dan nelayan tidak banyak lagi yang akan diusahakan.
"Kebijakan pusat seperti tidak memandang rakyat kecil. Dengan situasi seperti ini, apakah kami yang harus mengalah di tanah sendiri? Atau perusahaan yang seharusnya menyesuaikan diri?" tanya Perdana penuh harap.
Konsesi perusahaan tidak hanya menyisakan sedikit ruang untuk kehidupan warga, tetapi juga memicu konflik berkepanjangan. Penebangan hutan dan pengerukan tanah untuk kanal-kanal akasia menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem, mempercepat abrasi, dan menggusur sumber mata pencaharian warga.
Hingga kini, warga Desa Sungai Gayung Kiri terus berupaya mencari keadilan. Namun, harapan mereka untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan atas hak ulayat seakan berhadapan dengan tembok kebijakan pusat yang sulit ditembus.
"Kami hanya berharap ada perhatian nyata dari pemerintah. Jangan sampai pulau ini hilang, dan kami hanya tinggal cerita tanpa jejak di tanah kami sendiri," tutup Perdana dengan nada penuh keprihatinan.
Pulau Rangsang, yang menjadi rumah bagi lahan gambut dan hutan alam, kini menghadapi tantangan besar dengan kehadiran perusahaan yang menggantikan hutan dengan tanaman akasia. Meski terlihat ada upaya dari pihak perusahaan untuk memberikan kontribusi melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR), dampak kerusakan yang ditimbulkan terhadap lingkungan dan masyarakat jauh lebih besar dibandingkan kompensasi yang diberikan.
Hutan-hutan di Pulau Rangsang telah mengalami penggundulan untuk digantikan oleh tanaman akasia, yang menjadi bahan baku industri pulp dan kertas. Selain itu, banyak kanal yang digali untuk mendukung operasional perusahaan. Hal ini menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan ekosistem gambut yang rentan.
"Pulau Rangsang ini tanahnya adalah gambut. Kalau terus-terusan digali kanal dan digantikan tanaman akasia, lambat laun tanah akan mengering, bahkan bisa mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan di musim kemarau," ujar seorang tokoh masyarakat setempat.
Keberadaan kanal-kanal tersebut juga dikhawatirkan akan mempercepat penyusutan lahan gambut, yang berfungsi sebagai penyimpan air alami. Jika gambut mengering, pulau ini terancam menghadapi bencana ekologis yang lebih besar, termasuk abrasi yang semakin parah.
Sejak tahun 2012, PT SRL mengklaim telah menggelontorkan dana CSR sebesar Rp1 miliar per tahun, yang diarahkan untuk pengembangan desa-desa di ring satu perusahaan. Selain itu, mereka juga memberikan reward berupa pembangunan infrastruktur senilai Rp100 juta untuk desa yang dinilai bebas api.
Namun, bagi masyarakat, kontribusi ini dirasa tidak sebanding dengan dampak kerusakan yang telah terjadi. "Apa yang diberikan perusahaan memang ada, tapi apakah itu cukup untuk menggantikan hilangnya hutan dan lahan kami?" tanya seorang warga Desa Sungai Gayung Kiri.
Bagi masyarakat setempat, dana tersebut hanya menjadi solusi jangka pendek tanpa memberikan dampak nyata terhadap keberlanjutan hidup mereka. "Kami memang menerima dana, tapi kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih besar. Lingkungan kami berubah, lahan semakin sulit untuk digarap, dan hasil dari hutan seperti dulu sudah tidak ada lagi," tambahnya.
Pulau Rangsang adalah salah satu wilayah penting yang membutuhkan perhatian lebih dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian lingkungan. Kerusakan yang ditimbulkan akibat aktivitas perusahaan tidak hanya berdampak pada ekosistem, tetapi juga pada kehidupan masyarakat setempat yang semakin terhimpit oleh terbatasnya akses ke lahan dan sumber daya alam.
"Perusahaan seharusnya tidak hanya fokus pada keuntungan, tetapi juga memikirkan dampak jangka panjang bagi kami yang tinggal di sini. Kalau tanah gambut ini rusak dan pulau kami tenggelam, apa yang tersisa untuk anak cucu kami?" ungkapnya lagi.
Dengan semakin besarnya tantangan yang dihadapi Pulau Rangsang, diperlukan langkah nyata dan kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat untuk menciptakan solusi berkelanjutan. Pulau Rangsang tidak hanya membutuhkan kontribusi berupa dana CSR, tetapi juga kebijakan yang benar-benar melindungi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Desa Sungai Gayung Kiri, salah satu desa di Kecamatan Rangsang, menjadi salah satu wilayah terdampak paling ekstrem akibat dua ancaman besar yakni luasnya konsesi perusahaan dan ganasnya abrasi. Sebagai satu dari dua desa paling terdampak di Pulau Rangsang, Sungai Gayung Kiri harus menghadapi realitas sulit, di mana lahan yang tersedia untuk masyarakat semakin menyusut, sementara daratan terus terkikis oleh laut.
Hampir seluruh wilayah Desa Sungai Gayung Kiri, sekitar 78 persen dari total luas desa seluas 99,924 kilometer persegi, masuk dalam konsesi PT SRL. Situasi ini membuat masyarakat kesulitan untuk mengelola lahan mereka sendiri. Sejak izin konsesi diberikan pada 2007, lahan-lahan yang sebelumnya digunakan untuk berkebun atau bercocok tanam oleh warga kini menjadi bagian dari wilayah yang digarap perusahaan untuk penanaman akasia.
Kepala Desa Sungai Gayung Kiri, Perdana Noriowati, menyampaikan kekhawatirannya. "Kami seperti menjadi tamu di tanah kami sendiri. Luas desa kami yang tinggal sedikit ini makin hari terasa makin sempit. Jika konsesi terus diperluas, mau ke mana lagi kami harus bertani?" keluhnya.
Selain terbatasnya lahan, Desa Sungai Gayung Kiri juga menjadi salah satu wilayah yang terdampak abrasi paling parah di Pulau Rangsang. Data mencatat bahwa luas wilayah desa yang terdampak abrasi mencapai 281,6 hektare dengan panjang wilayah terkikis hingga 11.300 meter.
Di Kecamatan Rangsang, abrasi terjadi dengan kecepatan laju rata-rata 8 meter per tahun, sementara di Kecamatan Rangsang Barat dan Rangsang Pesisir angkanya bahkan lebih tinggi, mencapai 8,8 meter per tahun. Pulau Rangsang, yang merupakan salah satu garis depan pertahanan Indonesia di Selat Malaka, kini menghadapi ancaman nyata kehilangan daratan akibat abrasi.
Secara keseluruhan, luas wilayah yang terdampak abrasi di Kabupaten Kepulauan Meranti mencapai 118.484 hektare. Dari jumlah tersebut, Kecamatan Rangsang mencatatkan dampak tertinggi dengan luas abrasi mencapai 1.396 hektare yang meliputi 23 desa dan panjang wilayah terdampak hingga 54.860 meter.
Masyarakat Desa Sungai Gayung Kiri kini berada di persimpangan sulit. Mereka harus menghadapi kenyataan bahwa lahan mereka semakin berkurang, baik karena masuk dalam konsesi maupun terkikis oleh laut. Meski demikian, mereka berharap ada perhatian lebih dari pemerintah dan pihak terkait untuk mencari solusi atas permasalahan yang melanda.
"Ini adalah masalah bersama, bukan hanya kami yang terkena dampak. Kami berharap pemerintah pusat dan daerah bisa turun langsung dan membantu kami mencari solusi. Pulau Rangsang adalah garda depan Indonesia, jangan biarkan hilang begitu saja," ujar Perdana Noriowati penuh harap.
Desa Sungai Gayung Kiri kini bukan hanya membutuhkan perlindungan terhadap hak-hak lahan masyarakat, tetapi juga langkah nyata untuk menyelamatkan daratan mereka yang perlahan tenggelam akibat abrasi. Pemerintah dan masyarakat perlu bergandengan tangan untuk melawan ancaman ganda yang mengancam keberlangsungan desa ini.
PT SRL Beroperasi Dalam Konsesi Resmi
Manajemen PT SRL, yang menjadi pemasok kayu untuk PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), menepis tuduhan masyarakat yang menyebut perusahaan telah menyerobot lahan mereka.
Humas PT SRL, F. Ragil Samosir, menjelaskan bahwa seluruh aktivitas operasional alat berat perusahaan dilakukan secara sah di dalam kawasan konsesi yang telah mendapatkan izin resmi dari Kementerian Kehutanan sejak 2007.
"Izin Hutan Tanaman Industri (HTI) kami di Blok V Pulau Rangsang diberikan berdasarkan SK Menteri Kehutanan dengan total luas konsesi mencapai 18.890 hektare. Kami baru menggarap sekitar 6.000 hektare dari total konsesi yang diizinkan," ungkap Ragil.
Ragil memastikan bahwa aktivitas perusahaan tidak mengganggu lahan masyarakat. Namun, dia tidak memungkiri bahwa terdapat sejumlah warga yang berkebun di dalam kawasan konsesi perusahaan.
"Yang kami kerjakan adalah lahan di areal konsesi kami, bukan lahan masyarakat. Jika ada kerusakan yang mungkin terjadi akibat operasional, kami selalu memberikan sagu hati sebagai pengganti," ujarnya.
Menurutnya, sebelum memulai pengoperasian alat berat, PT SRL selalu menggelar sosialisasi di tingkat desa untuk menginformasikan rencana kerja tahunan (RKT) perusahaan.
Perusahaan menyebut bahwa sebagian besar lahan yang digarap berupa semak belukar. Operasional ini dilakukan untuk mengurangi risiko kebakaran hutan dan lahan (karhutla), terutama di wilayah yang rawan terbakar selama musim kemarau panjang. "Kami melakukan land clearing di area yang rawan karhutla, bukan di lahan yang memiliki tanaman warga," tegas Ragil.
Ia juga menambahkan bahwa PT SRL belum sepenuhnya menggarap seluruh konsesi, meskipun tetap diwajibkan membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk seluruh lahan yang masuk dalam izin konsesi mereka.
"Saat ini baru sepertiga dari konsesi yang kami kelola. Namun, kewajiban seperti membayar PBB tetap harus dipenuhi meski keuntungan belum maksimal," jelasnya.
Ragil menegaskan bahwa perusahaan tetap membuka ruang dialog dengan masyarakat untuk mencari solusi yang saling menguntungkan. Ia berharap persoalan ini tidak berkembang menjadi konflik yang merugikan kedua belah pihak.
"Kami ingin masyarakat memahami bahwa aktivitas kami dilakukan sesuai izin yang sah. Jika ada perbedaan pendapat, kami siap berdiskusi untuk mencari jalan keluar terbaik," pungkasnya.
Tanggapan PT SRL ini menjadi salah satu upaya perusahaan untuk menepis tuduhan yang berkembang di tengah masyarakat. Namun, bagaimana langkah ke depan untuk mengatasi ketegangan ini masih menjadi tantangan bagi kedua pihak agar kepentingan perusahaan dan hak masyarakat dapat berjalan beriringan. (R-01)