5 Fakta Kebun Sawit Ilegal di Riau yang Diungkap di Rapat DPR-Menteri LHK, Nomor 4 Bisa Bikin Rakyat Marah
SabangMerauke News, Jakarta - Persoalan lawas kebun kelapa sawit ilegal di Riau mendapat atensi khusus dari Komisi IV DPR RI. Serangkaian rapat digelar memanggil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, menagih komitmen kementerian tersebut untuk menuntaskan masalah itu.
Terakhir pada 28 Maret lalu, Komisi IV kembali memanggil Menteri Siti Nurbaya. Lagi-lagi, tensi rapat berlangsung keras. Para wakil rakyat tak puas dengan kinerja Siti yang dinilai tidak memiliki progres nyata dalam menindak dan menginventarisasi kepemilikan kebun sawit dalam kawasan hutan di Riau.
"Saya gak bodoh-bodoh amat. Tapi gak bisa dibohongi. Data-datanya harus benar dan akurat," kata Ketua Komisi IV DPR, Sudin.
Alhasil, karena kerap molor, Komisi IV meminta agar KLHK menuntaskan verifikasi kepemilikan dan lokasi kebun ilegal dengan prioritas 2 provinsi, yakni Kalimantan Tengah dan Riau. Dideadline, pendataan lengkap tuntas pada 31 Mei mendatang untuk Provinsi Kalteng dan 31 Juli untuk Provinsi Riau. Menteri LHK, Siti Nurbaya menyepakati target tersebut.
Berikut 5 fakta kebun kelapa sawit ilegal di Riau yang terungkap dalam rapat Komisi IV DPR dengan KLHK:
1. Ada Bupati di Riau Minta Maaf ke DPR
Anggota Komisi IV DPR Darori mengungkap ada seorang bupati di Riau yang ia semprot saat berkunjung ke Riau beberapa waktu lalu. Sang bupati, kata Darori sempat berdebat dengan dirinya ikhwal keberadaan kebun sawit ilegal di wilayah.
Semula, pembicaraan soal kewenangan bupati yang terbatas dalam urusan kehutanan. Para bupati dalam pertemuan itu juga meminta dana untuk melakukan inventarisasi kebun sawit ilegal.
"Ada bupati baru yang merasa pintar. Seakan-akan KLHK gak pernah bekerja," katanya.
Darori lantas menyampaikan ke bupati tersebut kalau daerahnya yang akan lebih dulu diperiksa. Bahkan, Darori meminta agar KPK yang turun tangan.
"Sorenya, bupatinya ketemu saya. Dia mohon maaf ke saya. Bukan begitu, Pak," kata Darori menuturkan ulang pernyataan bupati tersebut.
2. Pejabat KLHK dan Kepala Daerah Tak Mungkin Gak Tahu Kebun Ilegal
Dalam paparannya, Komisi IV DPR menyebut luasan kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan di Riau mencapai 1,5 juta hektar. Bahkan, data terbaru menyebut jumlahnya bertambah menjadi 1,8 juta hektar.
Ketua Komisi IV, Sudin merasa heran kalau pejabat KLHK dan para kepala daerah tidak mengetahui keberadaan dan kepemilikan kebun sawit ilegal tersebut.
"Masak segini banyak pejabat KLHK di sini gak tahu kebun ilegal seluas itu. Itukan kampung para kepala daerah, gak mungkin dia gak tahu," kata Sudin.
Anggota Komisi IV DPR Darori menyebut dalam kondisi tak jelas saat ini, KLHK semestinya membawa persoalan ini ke aparat penegak hukum. Ia meminta agar Bareskrim, Jampidsus serta KPK ikut dilibatkan menelisik perkara yang merugikan negara dalam skala besar ini.
"Waktu saya tugas di Kementerian Kehutanan dulu, saya gandeng KPK, Bareskrim dan Jampidsus. Akhirnya, kepala daerah mau datang dan memaparkan data. Kayaknya harus dibuat begitu," tegas Darori.
3. Pabrik Kelapa Sawit Ambil Buah Dari Kebun Kawasan Hutan
Wakil Ketua Komisi IV DPR, Dedi Mulyadi meminta KLHK untuk mengawasi suplai buah ke pabrik kelapa sawit (PKS) yang ada di Riau. Ia menyebut sejumlah PKS tidak memiliki kebun sawit sendiri.
Diduga kuat kata Dedi, PKS tersebut mendapat pasokan dari kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan. KLHK kata Dedi seharusnya menindak hal tersebut.
"Dari mana PKS itu mendapat bahan baku kelapa sawit. Kalau bukan dari kebun sawit ilegal dan kawasan hutan, darimana coba?" kata Dedi.
Ia menjelaskan kalau keberadaan PKS tersebut sangat merugikan negara. Pengusaha PKS akan mengabaikan kewajiban pajak dan untung besar.
"Mereka mendapat keuntungan sangat besar. Mereka kaya dengan cepat, tapi justru rakyat miskin dengan cepat. KLHK harusnya periksa ini," tegas Dedi.
4. Korporasi Kebun Sawit Disulap Jadi Koperasi
Anggota Komisi IV DPR menemukan pola baru dalam menyembunyikan kebun sawit ilegal. Dari penelisikan dan pantauan lapangan ke Riau, kemungkinan ada tindakan penyulapan penguasaan kebun sawit ilegal dari korporasi ke koperasi.
Namun modus tersebut tetap saja tak menguntungkan rakyat. Sebab koperasi jadi-jadian itu hanyalah alat pengelabu yang didesain oleh korporasi perampok hutan negara.
"Itu kalau Bu Menteri turun nanti, kemungkinan korporasi kebun ilegal akan berubah jadi korporasi. Lahannya seakan-akan milik masyarakat anggota koperasi, tapi cuma nama doang," kata Wakil Ketua Komisi IV, Dedi Mulyadi.
Dedi meyakini pola tersebut dilakukan korporasi untuk memanfaatkan celah Undang-undang Cipta Kerja. Dengan mememecah-mecah hak kepemilikan ke orang per orang, maka korporasi bisa menghindar dari jerat pembayaran denda dan PNBP karena sudah menguasai hutan secara tidak sah.
Undang-undang Cipta Kerja memberi kelonggaran kepemilikan lahan maksimal 5 hektar di kawasan hutan untuk mengurus perizinan dan tidak dikenai denda maupun PNBP.
"Itu korporasi akan bikin seperti itu. Celah dari Undang-undang Cipta Kerja untuk menghindari denda dan PNBP," tegas Dedi.
Politisi Partai Golkar ini meminta KLHK berkoordinasi dari Kementerian Koperasi dan UKM. Keberadaan koperasi jadi-jadian itu harus dideteksi dan dicegah.
5. Denda Kebun Ilegal Tak Masuk Akal
Komisi IV DPR juga menyoroti soal jumlah denda dan tarif PNBP yang dikenakan kepada penguasa kebun sawit ilegal di kawasan hutan. Berdasarkan lampiran UU Cipta Kerja, kata anggota Komisi IV, Darori, besarnya denda antara Rp 11 juta sampai Rp 15 juta.
"Ini dasar penetapan dendanya dari mana muncul angka seperti itu? Coba dijelaskan bagaimana hitung-hitungannya," tanya Darori kepada Menteri LHK Siti Nurbaya.
Ketua Komisi IV DPR, Sudin pun naik pitam. Ia menilai penetapan besaran denda itu akal-akalan.
"Kalau saya ditanya dari mana muncul angka denda itu, maka saya jawab itu datangnya turun dari langit. Udah itu aja. Pusing saya melihat angkanya itu," tegas Sudin.
Sudin mengkalkulasi berapa uang yang diperoleh oleh perampok hutan negara saat membuka hutan tersebut dengan mengambil tegakan kayu. Selain itu, kerusakan lingkungan akibat pembukaan kebun sawit ilegal juga berdampak sistemik terhadap ekologi yang membutuhkan biaya pemulihan lingkungan.
Sudin juga membandingkan biaya membuka kebun sawit per hektar bisa mencapai Rp 50 juta sampai Rp 60 juta.
"Jadi, kok angka denda yang muncul Rp 15 juta? Ini ada yang gak beres," tegas Sudin. (*)