Mitigasi Dampak Perluasan Perkebunan Sawit
*Penulis: Ahmad Zazali, SH., MH
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Baru-baru ini, dalam Musrenbangnas RPJMN 2025-2029, Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa Sawit merupakan komoditi strategis dan aset negara yang harus dilindungi dan jangan takut dengan isu deforestasi untuk memperluas perkebunan sawit, karena sawit juga mampu menyerap karbon dioksida.
Pernyataan ini dilatarbelakangi tingginya permintaan dari negara-negara yang dikunjunginya akan minyak sawit sebagai pengganti minyak bumi yang semakin menipis. Pernyataan tersebut memunculkan pro dan kontra di antara pemangku kepentingan perkebunan sawit.
Pada satu sisi dari pelaku usaha yang direpsesentasikan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyambut gembira dan memberikan apresiasi arah kebijakan Presiden Prabowo yang mendukung peran strategis kelapa sawit dalam mendukung ketahanan pangan dan energi nasional. GAPKI mengharapkan perluasan pekebunan sawit tidak lagi mengalami karena adanya tekanan dan kampanye anti deforestasi dari komunitas global.
Sebaliknya dari sisi organisasi masyarakat sipil pemerhati sosial dan lingkungan hidup justru menyuarakan kritik kepada Presiden akan potensi dampak sosial dan lingkungan hidup perluasan perkebunan sawit.
Kritik muncul Sawit Watch yang menyoroti pernyataan Presiden Prabowo Subianto bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC) yang berupaya mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen secara mandiri atau 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030. Sawit Watch juga mengingatkan potensi meningkatnya konflik komunitas masyarakat dengan perusahaan jika perluasan sawit dilaksanakan, karena hingga tahun 2022 saja masih terdapat 1.088 konflik masyarakat dengan perusahaan sawit yang belum jelas penyelesaiannya.
Baik kelompok pro maupun kontra tentu memiliki landasan argumentasi yang menguatkan posisinya masing-masing. Namun keduanya, perlu memilik pemahaman bersama dari sisi peta pasokan minyak nabati dunia dan berbagai peluang ekonomi politik global serta tantangan sosial, lingkungan serta dinamika persaingan bisnis.
Data yang dipublikasi Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PAPSI) menyebutkan bahwa dari empat komoditi utama penghasil minyak nabati global, pekebunan kelapa sawit masih kalah luas dibandingkan dengan bunga matahari, kedelai dan rapeseed, dimana luas perkebunan sawit hanya 25,06 juta hektar, sedangkan kedelai, rapeseed dan bunga matahari masing-masing seluas 129,9 juta hektar, 37,8 juta hektar dan 28,4 juta hektar (PAPSI, 2023).
Kendati dari segi luasan kalah, tetapi dari segi prosuktifitas, kelapa sawit jauh lebih tinggi. Menurut hasil penelitian International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada 2018, menyebutkan bahwa kelapa sawit adalah komoditi yang paling efisien dalam penggunaan lahan dibandingkan komoditi minyak nabati global lainnnya, dimana setiap hektar kelapa sawit dapat menghasilkan 3,36 ton pertahun, sedangkan bunga matahari 0,78 ton per hektar pertahun, rapeseed 0,74 ton per hektar pertahun, dan kedelai hanya 0,47 ton per hektar pertahun.
Dengan demikian, Posisi Indonesia saat ini adalah pemilik 65 persen dari luas perkebunan sawit secara global, yaitu 16,83 juta hektar dengan produksi minyak mentah atau CPO (crude palm oil) sebesar 46,82 juta ton pertahun yang terbagi atas perkebunan besar miliki swasta 28,21 juta ton, milik negara 2,30 juta ton dan milik rakyat 16,31 juta ton (BPS, 2022).
Berangkat dari peta produksi minyak sawit Indonesia terhadap pasar minyak nabati global di atas, maka apa yang dinyatakan oleh Presiden Prabowo Subianta merupakan sesuatu yang masuk akal. Karena posisi dominan minyak sawit memilik nilai strategis yang dapat menjadi posisi tawar dalam berbagai diplomasi ekonomi Indonesia dengan negara-negara sahabat.
Nilai strategis minyak sawit diperkuat lagi dengan meningkatnya negara-negara dan komunitas global akan pentingnya energi hijau yang lebih ramah lingkungan atau energi yang dapat diperbaharui, serta sejalan dengan kesadaran global terkait alternatif pengganti minyak bumi berbahan fosil yang persediaannya semakin menipis di dunia.
Mitigasi Dampak
Membicarakan arah kebijakan kelapa sawit Indonesia, maka tidak bisa terlepas dari peta persaingan pasokan komoditi minyak nabati global. Isu-isu tentang pentingnya standar sosial, lingkungan dan tata kelola berkelanjutan industri kelapa sawit Indonesia dalam satu dekade belakangan semakin menguat.
Berbagai standar bisnis berkelanjutan banyak menyoroti kelapa sawit sebagai komiditi yang memiliki resiko tinggi dilihat dari dampak sosial dan lingkungan. Berbagai organisasi pemerhati sosial dan lingkungan seringkali membawa kasus praktek perkebunan sawit di Indonesia dalam forum-forum internasional, yang mengesankan adanya kampanye negatif menyerang industri sawit di Indonesia.
Pelaku usaha perkebunan sawit dalam berbagai kesempatan menyuarakan kontribusinya terhadap pendapatan negara, pertumbuhan ekonomi dan penyerapan lapangan kerja, juga membantah tuduhan pelanggaran hukum serta dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan dalam operasional perkebunan.
Sebagai upaya mitigasi terhadap pelanggaran hukum, dampak sosial dan lingkungan, Pemerintah Indonesia telah merespon dengan serius kepentingan kelompok pengusaha dan organisasi pengkritik kelapa sawit dengan merumuskan paket kebijakan pedoman perkebunan kelapa sawit berkelanjutan (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) yang dituangkan dalam Peraturan Presiden nomor 44 tahun 2020 dan peraturan teknis dalam bentuk peraturan Menteri Pertanian nomor 38 tahun 2020 tentanng penyelenggaraan sertifikasi perkebunan sawit berkelanjutan Indonesia.
Sejauh ini, paket kebijakan ISPO tersebut telah dipedomani oleh pelaku usaha perkebunan sawit. Menurut data GAPKI tahun 2023 menyebutkan bahwa dari 725 perusahaan anggota GAPKI mayoritas atau 335 perusahaan telah mengantongi sertifikat ISPO.
Namun menurut sebagian pemangku kepentingan, menyebutkan kebijakan ISPO masih terdapat banyak banyak subtansi dalam prinsip, kriteria dan indikator sistem penilaian sertifikası ISPO yang harus direvisi dan diperkuat, terutama pada substansi yang mengatur perlindungan sosial dan lingkungan bagi masyarakat adat dan lokal yang terdampak.
Selain itu, kebijakan ISPO perlu diperkuat untuk menjawab kelemahan tata kelola perizinan, pengawasan, perubahan kebijakan, transparansi dan penegakan hukum. Kelembagaan ISPO juga sebaiknya diperkuat krdedibilitasnya di mata internasional, sehingga sertifikasi mendapat pengakuan dari pemangku kepentingan bisnis pasar minyak sawit global.
Selain itu, hal yang sangat mendasar perlu dibangun oleh pemerintahan Prabowo ke depan adalah mendudukan semua pemangku kepentingan dan membangun kesepahaman yang sama tentang arah kebijakan keberlanjutan perkebunan sawit. Kepentingan nasional yang menjadi landasan kebijakan pemerintah dalam melindungi industri sawit harus benar-benar dibuat melalui proses legitimasi sosial dan mitigasi dampak hak asasi manusia (HAM) dan Perlindungan lingkungan hidup. (R-03)
*Penulis merupakan Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA)