Jendela Hukum
Makna Officium Nobile yang Disandang Profesi Advokat
SabangMerauke News - Profesi advokat (pengacara) kini jadi salah satu pilihan para sarjana hukum. Geliatnya begitu cepat. Penampilannya tampak menawan, penuh wibawa dan terkadang memang eksentrik. Profesi ini sedang digandrungi oleh banyak orang, entah kenapa.
Advokat kerap menampilkan dirinya sebagai public defender. Artinya, ia adalah pertahanan publik yang utama sekaligus sebagai benteng hukum terakhir bagi warga negara.
Itu sebabnya, profesi ini mendapat julukan sebagai officium nobile. Apa artinya?
Officium nobile secara umum diterjemahkan sebagai profesi atau pekerjaan yang terhormat dan mulia. Ada beragam alasan yang membuat advokat layak menyandang gelar spesial.
Sebagai pendekar hukum, advokat berada sejajar dengan penegak hukum lainnya yakni kepolisian, kejaksaan dan hakim (pengadilan). Undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat secara tegas menempatkan advokat sebagai penegak hukum.
Perbedaan dengan tiga penegak hukum lain terletak pada kemandirian dan independensinya terhadap intervensi, termasuk intervensi negara dan kekuasaan. Ia tidak dibiayai oleh negara sehingga dapat dengan bebas dan mandiri menjalankan profesinya sesuai kode etik. Berbeda dengan tiga penegak hukum lain yang keseluruhan gaji dan penerimaan diperoleh dan dibiayai oleh negara.
Sumber utama pembiayaan kerja advokat adalah dari klien atau masyarakat yang didampingi dan dibela hak hukumnya. Lebih dari itu, nyaris tidak ada lagi penerimaan lain.
Bahkan, advokat justru harus membayar sejumlah uang untuk mengikuti pelatihan profesi, ujian dan pengangkatan sumpah. Belum cukup, advokat harus membayar iuran keanggotaan dan biaya memperpanjang kartu tanda anggota (KTA). Hanya secuil organisasi advokat yang membebaskan biaya perpanjangan KTA seumur hidup.
Kemandirian profesi itu kian keras manakala advokat melakukan tugasnya. Ia kerap berhadapan dengan aparat atau petugas negara yang mendapat hak 'lebih' atas nama undang-undang untuk melakukan suatu tindakan hukum. Para aparat hukum, misalnya kepolisian maupun kejaksaan diberikan hak lebih oleh undang-undang untuk melakukan tugas-tugas yang diberikan dan atas nama negara.
Meski advokat juga dilindungi dan diakui negara berdasarkan undang-undang, namun dalam praktiknya kerap terjadi ketimpangan hak dan kewenangan. Dalam titian itulah advokat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Menurut Dr Frans Hendra Winata SH, MH, sedikitnya ada 5 tanggung jawab advokat sebagai officium nobile. Yakni ia menanggung beban kemanusiaan (humanity) yakni memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam arti penghormatan pada martabat kemanusiaan.
Nilai kedua yakni keadilan (justice). Yakni bagaimana agar warga negara mendapatkan perlindungan hukum dan dapat mempertahankan haknya. Advokat juga memperjuangkan nilai kepatutan dan kewajaran (reasonableness) sebagai upaya mewujudkan ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. Menempatkan masyarakat dalam porsi yang ideal dan wajar dalam menempuh upaya perlindungan dan kebebasan terhadap dirinya.
Nilai pokok lain yang diemban oleh advokat yakni kejujuran (honesty). Ia memiliki beban dan dorongan kuat untuk memelihara kejujuran dan menghindari perbuatan yang curang. Dalam menjalankan profesinya, advokat harus memiliki kesadaran untuk selalu menghormati dan menjaga integritas dan kehormatan profesinya.
Terakhir, advokat menjalankan nilai pelayanan kepentingan publik (to serve public interest). Yakni aktualisasi profesi hukum dengan semangat keberpihakan pada hak-hak masyarakat pencari keadilan yang merupakan konsekuensi langsung dari nilai-nilai keadilan, kejujuran dan kredibilitas profesi.
Empat pilar hukum yakni kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan advokat idealnya bisa bekerja efektif untuk tegaknya hukum dan terwujudnya keadilan. Jika salah satu pilar runtuh dan rontok, maka ketimpangan penegakan hukum untuk keadilan akan terjadi.
Mengutip Bernardus Maria Taverne (1874-1944): "Berikan aku hakim, jaksa, polisi, dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang sekalipun." Ini mengandung makna bahwa sebanyak apapun hukum dan undang-undang dibuat, jika penegak hukumnya tidak baik, maka tidak baik pula kehidupan publik yang terbangun. (*)