Waduh! Pembimbing Disertasi Cuci Otak Ala Terawan Diduga Ditekan
SabangMerauke News - Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menduga para dosen pembimbing dr Terawan Agus Putranto di Universitas Hasanuddin Makassar mendapatkan tekanan untuk menyetujui pemberian disertasi berisi metode cuci otak pada 2016.
Anggota MKEK IDI Rianto Setiabudy mengatakan bahwa sebenarnya para pembimbing Terawan mengetahui adanya kelemahan atas metode cuci otak yang digagas sang mantan menteri kesehatan itu.
“Jadi kita mungkin akan bertanya mengapa para ilmuwan yang menjadi pembimbing beliau itu pada waktu melakukan disertasi diam saja. Saya dengan hal ini mengatakan hormat saya setinggi-tingginya kepada Unhas, dan hormat saya kepada tim pembimbing mereka,” ujar Rianto dalam rapat dengan Komisi IX DPR RI, Senin, 4 April 2022.
“Karena mereka sebetulnya tahu sejak semula weakness ini, mereka tahu, cuman mereka terpaksa mengiyakannya karena konon ada tekanan eksternal, yang saya sama sekali tidak tahu bentuknya apa," ujarnya.
Terapi cuci otak itu, katanya, memiliki lima kelemahan substansial. Pertama, menggunakan heparin. Metode Digital Subtraction Angiography (DSA) dilakukan dengan memasukkan kateter melalui pembuluh darah di paha hingga ke otak.
“Di sana dilepaskan kontras. Kontras itu nanti akan menunjukkan di mana letak mampetnya itu. Supaya ujung kateter itu tetap terbuka, diberikanlah sedikit dosis kecil heparin untuk mencegah bekuan darah di ujung kateter. Jadi, dosis yang kecil ini tidak bisa diharapkan untuk merontokkan gumpalan darah itu,” katanya.
Dengan itu maka akan timbul masalah yang besar, apalagi digunakan untuk orang yang terkena stroke yang lebih dari satu bulan. Karena bila dilihat dari literatur mana pun, katanya, darah yang telah mengeras, heparin tidak efektif untuk melarutkan bekuan darah.
Kelemahan kedua, dia menjelaskan, pada uji klinik yang dilakukan Terawan tidak memiliki kelompok pembanding. Rianto menuturkan sangat sulit menerima kesahihan penelitian tanpa adanya pembanding.
Ketiga, dalam menggunakan tolok ukur keberhasilan Terawan menggunakan parameter pengganti, yaitu dengan pelebaran pembuluh darah. “Seharusnya uji klinik yang baik tolok ukurnya tidak boleh itu, tapi perbaikan yang betul-betul dirasakan manfaatnya oleh pasien,” katanya.
Keempat, Rianto mengatakan, dasar penentuan sampel sebanyak 75 orang tidaklah jelas. Dan yang kelima, Terawan menggunakan prosedur diagnostik yang digunakan untuk prosedur terapeutik. (*)