Menelisik Kinerja Bank Riau Kepri: Sebuah Catatan Miring
SabangMerauke News - Gubernur Riau, Syamsuar berencana akan melakukan evaluasi atas kinerja badan usaha milik daerah (BUMD) Riau. Lewat pemberitaan media massa, Senin (4/4/2022), ia memerintahkan Asisten Bidang Ekonomi Pembangunan Setdaprov, M Job Kurniawan untuk melakukan pengecekan terhadap kinerja perusahaan plat merah daerah.
Gubernur Syamsuar meminta dijadwalkan agar para pengurus BUMD menyampaikan laporan dalam bentuk presentasi langsung kepada dirinya. Salah satu indikator yang dipakai adalah sejauh mana BUMD tersebut meraup laba. Syamsuar berharap, kenaikan laba bisa menjadi pertambahan deviden yang menjadi pendapatan asli daerah (PAD).
"Evaluasi ini menjadi alarm sekaligus sandaran apakah BUMD telah dikelola secara profesional atau hanya sekadar aji mumpung doang"
Rencana Gubernur Riau tersebut adalah hal yang wajar. Itu lazim dilakukan untuk mendeteksi apakah jajaran direksi maupun komisaris BUMD bekerja atau hanya duduk-duduk saja menikmati fasilitas dan gaji. Apalagi, ia adalah representasi kedaulatan pemegang saham. BUMD itu uang rakyat Riau.
Evaluasi ini menjadi alarm sekaligus sandaran apakah BUMD telah dikelola secara profesional atau hanya sekadar aji mumpung doang. Publik menyambut baik langkah Gubernur untuk melakukan evaluasi tersebut.
Kita ambil satu contoh BUMD terbesar di Riau yakni Bank Riau Kepri (BRK). Tak sulit sebenarnya mengukur kinerjanya. Standar dan tolak ukur sudah lazim dipakai. Ada benchmark yang bisa menjadi acuan dan perbandingan.
Ibaratnya mencari komparasi yang seimbang: apple to apple, bukan apple to orange. Tak mungkin membandingkan apel dengan jeruk. Kalau standar yang kedua dipakai, maka hasilnya tak hanya timpang, namun juga absurb.
Salah satu dasar yang kerap dijadikan ukuran kinerja oleh Bank Riau Kepri yakni menyangkut kemampuan menghasilkan laba. Itu memang tidak salah, namun juga bukan berarti sudah tepat.
Capaian laba adalah salah satu alat ukur sementara. Namun idealnya, pengukur kinerja mestinya juga menggunakan peralatan ekonomi lain yakni dengan mengukur aspek pertumbuhan (growth).
Selama ini, target kinerja BRK diusulkan oleh dewan direksi dan dewan komisaris dalam forum rapat umum pemegang saham (RUPS). Namun, kerap terjadi mis-perception dan mis-understanding. Di mana pemegang saham hanya melihat berapa target laba selanjutnya dengan membandingkan capaian laba sebelumnya.
"Padahal mestinya, pemegang saham haruslah menelisik apakah dasar penetapan target laba tersebut merupakan angka optimum"
Jika ditetapkan target laba yang lebih tinggi, maka seakan-akan korporasi sudah dijalankan dengan baik. Padahal mestinya, pemegang saham haruslah menelisik apakah dasar penetapan target laba tersebut merupakan angka optimum, atau hanya sekadar menambah sedikit dari laba sebelumnya. Atau, jangan-jangan sebenarnya target laba bisa lebih ditingkatkan.
Untuk mengukur target laba, mestinya korporasi harus membandingkannya dengan pertumbuhan laba rata-rata Bank Pembangunan Daerah (BPD) se-Indonesia. Ini dapat dilihat dari pertumbuhan dana, pertumbuhan kredit, cost efisiensi dan juga pertumbuhan laba.
Pembanding selanjutnya yakni apakah penetapan target laba sudah melihat peer group dengan aset BPD lain yang sama dalam rata rata pertumbuhan dana, kredit dan lain-lain.
Untuk itu, pemegang saham haruslah memiliki pengetahuan yang memadai dan lengkap dalam merespon usulan target yang diajukan direksi. Tidak cukup puas jika penetapan target laba sekadar lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
Hal lain yang harus ditelisik adalah apakah pernah ditetapkan penagihan kredit hapus buku dengan memetakan potensi tertagih atau melelang aset kredit hapus buku? Hal ini amat diperlukan karena kebanyakan kredit hapus buku itu biasanya merupakan 'dosa' yang pernah dibuat oleh pejabat korporasi yang sedang berkuasa.
"Bagaimana bank membentuk cadangan aktiva productive yang benar, sehingga mendapatkan angka pencadangan yang riil"
Pemegang saham juga perlu memastikan transparansi dan penerapan good corporate governance (GCG) apakah sudah berjalan menurut aturan. Harus diakui, hingga saat ini dalam laporan keuangan, publik sangat sulit mendapat akses informasi dan data tentang kantor cabang BRK yang memiliki kolektibiliti yang tidak baik.
Hal ini berkaitan erat dengan bagaimana bank membentuk cadangan aktiva productive yang benar, sehingga mendapatkan angka pencadangan yang riil.
Pemegang saham tentulah harus memahami jika terjadi kredit bermasalah atau dana yang bermasalah, maka laba akan tergerus yang mengakibatkan deviden berkurang.
Eksistensi Dewan Komisaris
Kalangan akademisi maupun praktisi lembaga keuangan perlu lebih banyak memperhatikan dan menyoroti soal kondisi Bank Riau Kepri (BRK) saat ini. Kita sayang terhadap BRK karena merupakan salah satu aset daerah yang paling vital sebagai BUMD.
Namun, pada sisi lain eksistensi dewan komisaris juga perlu diperlihatkan. Beberapa bulan lalu, kita menyaksikan adanya koreksi laba yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap BRK.
Seharusnya, kejadian itu bisa dicegah dengan pengawasan para komisaris BRK yang terdiri dari sejumlah akademisi bergelar profesor dan praktisi lembaga keuangan yang konon handal berpengalaman. Ditambah lagi posisi komisaris utama BRK yang dipegang orang dalam Pemprov Riau sebagai pemegang saham terbesar BRK.
"Dirut sebagai seorang nahkoda, tentu dia harus mampu membuat peta navigasi"
Yang harus dipastikan, tentu saja jabatan komisaris BUMD tidak sekadar perebutan posisi dan menjadi jabatan politik. Komisaris juga bukanlah penikmat fasilitas, tetapi merupakan perwakilan dari pemegang saham yang dianggap cakap dalam mengawasi kinerja suatu BUMD.
Fasilitas yang 'mewah' terkadang memang membuat peran dan fungsi dari dewan komisaris sedikit sungkam, karena telah diberi fasilitas terbaik. Dalam hal ini, komisaris tak boleh menjadi tukang stempel dalam pengawasan kinerja direksi.
Kinerja Direksi
Penilaian kinerja direksi harus diukur dari kinerja per direktorat. Dari situ dapat diketahui pada direktorat mana terjadi bottle neck yang perlu dievaluasi. Direktorat yang tak berprestasi layak diganti dengan pemain baru yang lebih cakap.
MBNQA adalah salah satu tools yang mampu mengukur kinerja per direktorat dan board of director (BOD). Sehingga kemampuan seorang direktur utama (dirut) dalam memimpin koordinasi lintas direktorat menjadi alat ukur kapasitas seorang dirut. Apakah dirut tersebut memiliki leadership dan visi yang jelas membawa korporasi atau justru sebaliknya.
Cetak biru (blueprint) seorang dirut akan menentukan arah dan kecepatan dalam membawa gerak langkah korporasi. Sebagai seorang nahkoda, tentu dia harus mampu membuat peta navigasi. Sehingga kapal dapat berlabuh sesuai jadwal dan melintasi perjalanan tanpa gangguan berarti.
Namun, jika antara nahkoda, juru kemudi, mualim dan awak kapal lain tidak memiliki visi yang sama dan tidak saling mendukung, dapat dipastikan kapal akan berjalan tidak pada track-nya. Yang paling dikhawatirkan, kapal bisa karam akibat bocor perlahan atau menabrak karang hingga tenggelam. Hati-hati, apalagi doyan berlayar malam. (*)