Tajuk Redaksi
Menelisik Langkah Kejati Riau Usut Dugaan Korupsi Penerbitan Surat Tanah di Kawasan Hutan, Sampai di Mana Ujungnya?
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau memulai penyelidikan kasus dugaan korupsi dalam penerbitan surat keterangan tanah (SKT) dan surat keterangan ganti rugi (SKGR) dalam kawasan hutan. Penyelidikan telah dilakukan sejak 29 Oktober 2024 lalu dengan terbitnya Surat Perintah Penyelidikan (Sprinlidik) yang diteken oleh Kajati Riau, Akmal Abbas.
Kejati Riau menyasar dugaan terbitnya SKT dan SKGR di Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasyim dan Hutan Produksi Terbatas di wilayah Kabupaten Kampar. Sejumlah pihak telah dimintai keterangan, termasuk dari unsur pegawai dan pejabat Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau, pemerintah desa dan kecamatan.
BERITA TERKAIT: Kejati Usut Dugaan Korupsi Kehutanan di Tahura Sultan Syarif Hasyim, 6 Pegawai DLHK Riau Diperiksa
Langkah Kejati Riau ini patut diapresiasi, meski terbilang agak telat. Musababnya, kasus jual beli dengan objek kawasan hutan bukanlah perkara baru. Praktik bisnis lahan hutan negara sudah berlangsung cukup panjang, bahkan turun temurun sejak lama.
Jual beli hutan telah menjadi ladang ekonomi dengan cuan besar. Penerbitan surat pada areal kawasan hutan acapkali dilakukan para oknum kades. Tarifnya cukup variatif dan berlangsung di bawah meja.
Entah apa dasar dan kapasitas kepala desa maupun camat menerbitkan SKT maupun SKGR. Padahal sejak lama surat tanah itu sudah tidak diakui lagi sebagai dokumen yang sah dan memiliki kekuatan hukum yang kuat dan mengikat.
Jual beli kawasan hutan, pelakunya tidak semata orang per orang, namun juga melibatkan kelompok, termasuk tameng dan topeng kelompok tani dan koperasi. Tapi, di baliknya ada kepentingan korporasi yang memperalat atau berkolaborasi dengan kelompok penguasa hutan tanpa izin.
Dalam banyak kasus, sejumlah korporasi menggunakan tameng kelompok tani dan koperasi untuk bisa menggarap hutan. Hutan-hutan tersebut disulap menjadi areal perkebunan kelapa sawit.
Jika diamati, aliran produksi buah kelapa sawit itu akan berhilir pada pabrik kelapa sawit milik korporasi. Kerap, kebun sawit dalam kawasan hutan itu dilabeli sebagai kebun plasma masyarakat, sebuah alasan klise untuk membungkus pengendali yang sesungguhnya. Jika muncul persoalan, maka kelompok warga akan dimajukan sebagai pihak yang paling merasa dirugikan.
Berdasarkan data yang pernah diungkap oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun lalu, luasan kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan di Riau lebih dari 1,8 juta hektare. Tentu saja kebun sawit tersebut tidak membayar pajak dan kewajiban lain kepada negara.
Kasus korupsi yang menjerat Duta Palma Grup merupakan salah satu contoh kecil. Perusahaan ini hanya menggarap sekitar 37.500 hektare hutan di Indragiri Hulu, Riau disulap menjadi kebun sawit.
Areal itu hanya secuil bila dibandingkan luasan kebun sawit dalam kawasan hutan di Riau. Dalam kasus ini, Mahkamah Agung telah menyatakan bos Duta Palma Surya Darmadi bersalah. Ia diwajibkan membayar kerugian negara mencapai Rp 2,2 triliun. Sejumlah aset perusahaan telah disita oleh Kejagung.
Faktanya, masih terlalu banyak korporasi yang melakukan tindakan yang sama di Riau. Baru-baru ini, sebuah ormas PETIR juga melaporkan raksasa First Resources (eks Surya Dumai Grup) ke Kejagung atas dugaan pengelolaan kebun sawit dalam kawasan hutan. Namun, belum jelas perkembangan dari laporan ini, meski PETIR telah menggelar serangkaian demonstrasi mendesak pengusutan laporannya.
Sejumlah pihak telah menjadikan Undang-undang Cipta Kerja sebagai tameng berlindung untuk menghindari jerat hukum atas pengelolaan hutan tanpa izin. UU Cipta Kerja memang memberikan kesempatan bagi subjek hukum (pribadi, kelompok dan korporasi) untuk mendaftarkan diri mengikuti apa yang diklaim sebagai program keterlanjuran kebun sawit dalam kawasan hutan.
Para penguasa hutan tanpa izin bisa mengajukan pemutihan areal hutan. Sebagian lain bisa terhindar dari jerat pidana jika membayar denda administratif.
Namun, hingga saat ini tak jelas ujung dari program penyelesaian kebun sawit dalam kawasan hutan tersebut. Satgas Tata Kelola Kelapa Sawit yang dipimpin oleh eks Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara hingga kini belum pernah mengumumkan secara transparan hasil kerjanya. Berapa perusahaan yang sudah diampuni dan berapa denda yang berhasil dipungut, juga masih samar-samar. Sempat diklaim, denda dari kebun sawit dalam kawasan hutan bisa mencapai Rp 50 triliun.
Kembali lagi ke pengusutan kasus dugaan korupsi penerbitan surat tanah dalam kawasan hutan yang dilakukan oleh Kejati Riau. Bukan bermaksud mengajari, Kejati Riau harusnya memperluas locus dan tempus delicti perkara ini. Jangan hanya membatasi pada areal kawasan Tahura Sultan Syarif Hasyim saja.
Penerbitan surat tanah dalam kawasan hutan juga terjadi di banyak tempat di Riau. Bahkan telah merambah sampai kawasan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo dan areal hutan produksi maupun hutan produktif terbatas lainnya di Riau.
Penyelidik Kejati Riau juga harus memperluas jangkauan dan kedalaman dari perkara ini. Tidak saja menjerat oknum penerbit SKT maupun SKGR, namun yang lebih penting adalah mengusut para individu maupun korporasi penerima manfaat dari kebun sawit dalam kawasan hutan tersebut.
Kejati Riau jangan bertindak parsial dan tak perlu ragu-ragu lagi. Keberhasilan Kejagung membawa perkara Duta Palma Grup hingga menelurkan putusan berkekuatan hukum tetap adalah bukti telah disampingkannya UU Cipta Kerja.
Dengan demikian, tidak ada alibi bagi penikmat kebun sawit dalam kawasan hutan untuk berlindung pada undang-undang yang bermasalah itu. Apalagi jika subjek hukum sekadar hanya terdaftar dalam Surat Keputusan tentang Data dan Informasi (Datin) Usaha Terbangun Tanpa Izin Kehutanan yang pernah secara berjilid-jilid diterbitkan oleh eks Menteri LHK Siti Nurbaya.
Publik akan menantikan gebrakan dari Kejati Riau. Kita tetap mengawal sampai di mana ujungnya. (R-03)