17 Izin Korporasi di Riau Dicabut KLHK, Tapi Cuma 2 Perusahaan yang Dieksekusi BKPM: Ada Apa Bahlil?
SabangMerauke News - Keputusan Menteri Investasi/ Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia yang mencabut 2 izin perusahaan konsesi kehutanan di Riau, Kamis (30/3/2022) lalu menimbulkan tanda tanya. Pencabutan izin tersebut dinilai tidak memberikan alasan yang memadai, detil, tebang pilih dan tidak adil.
Mengapa?
Awal Januari 2022 lalu, Presiden Jokowi didampingi sejumlah menteri terkait yakni Menteri LHK, Menteri ATR/ BPN dan Bahlil di Istana Negara mengumumkan pencabutan izin sebanyak 192 perusahaan di seluruh wilayah Indonesia. Perusahaan tersebut tersebar di beberapa sektor usaha yakni kehutanan, pertambangan dan perkebunan yang diduga telah menelantarkan lahan diberikan izin pengelolaan oleh negara. Dari antara 192 perusahaan tersebut, terdapat 17 perusahaan beroperasi di Riau.
"Bahlil sama sekali tidak menyentuh sektor perkebunan kelapa sawit yang telah dicabut izinnya oleh Menteri LHK"
Tak sampai 3 bulan kemudian, Bahlil mengumumkan pencabutan izin sebanyak 15 dari 192 perusahaan yang dicabut perizinannya oleh KLHK itu. Dua perusahaan berada di Provinsi Riau, yakni PT Pelalawan Merbau Lestari dan PT Lantabura Mentari Sejahtera. Kedua perusahaan bergerak di sektor hutan tanaman industri.
Bahlil, sama sekali tidak menyentuh perusahaan-perusahaan sektor pertambangan yakni batubara yang sudah menghancurkan ekosistem di Riau. Termasuk juga, perusahaan perkebunan kelapa sawit tidak dijamah sama sekali oleh Bahlil.
Lantas, bagaimana nasib dari 15 perusahaan yang telah dideklarasikan pencabutan izinnya oleh Menteri LHK lewat Surat Keputusan nomor: SK.01/ MENLHK/ SETJEN/KUM.1/2022 tertanggal 5 Januari 2022 tersebut?
Tentu saja publik patut mempertanyakan kebijakan Menteri BKPM, Bahlil tersebut. Ia bisa dicap tebang pilih dalam melakukan pencabutan izin perusahaan. Di satu sisi, ia berani mencabut 2 izin perusahaan di Riau, namun di sisi lain 15 perusahaan lain tetap dibiarkan beroperasi.
Padahal, jika melihat fakta lapangan, sebanyak 15 perusahaan itu juga mengalami masalah yang berat dan permanen. Misalnya saja, PT Rimba Seraya Utama di Kampar yang mengantongi izin konsesi 12 ribu hektar lebih, kondisinya lebih parah. Namun Bahlil tidak melakukan pencabutan izin, meski KLHK pada 5 Januari lalu telah mengumumkan pencabutan izinnya.
Lebih parahnya, wilayah konsesi PT Rimba Seraya Utama sebagian sudah 'diputihkan' dari kawasan hutan menjadi APL, akibat kebijakan perubahan kawasan Riau di akhir periode jabatan Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan. Jauh sebelum diputihkan, sudah berdiri pabrik kelapa sawit (PKS) di areal PT Rimba Seraya Utama.
Atau, bila melihat kondisi areal kelola PT Riau Bara Harum di Indragiri Hulu yang ditinggalkan begitu saja oleh perusahaan tanpa melakukan reklamasi lobang-lobang yang menganga cukup lama. Meski perusahaan telah kalah dalam gugatan, namun hingga kini putusan pengadilan tak kunjung dieksekusi.
"Selama ini, mereka sudah cukup kenyang mendapatkan hasil berlimpah dari kayu-kayu hutan yang ditebangi dan manisnya uang minyak kelapa sawit yang mereka timbun di mana-mana"
Sejumlah perusahaan lain yang telah diumumkan pencabutan izinnya oleh KLHK, kondisi juga sama parahnya. Ada perusahaan kebun sawit yang saban waktu kerap berkonflik dengan rakyat setempat. Beberapa di antaranya ditengarai juga menggarap di luar izin areal konsesi yang diberikan. Konflik dengan rakyat terus berlanjut hingga kini.
Pencabutan 2 izin perusahaan oleh BKPM dari 17 perusahaan yang telah dicabut oleh KLHK ini, memberikan dampak pada ketidakpastian usaha. Nasib perusahaan tersebut dibiarkan menggantung. Langkah penegakan aturan pun jadi linglung.
Pada sisi lain, niat pemerintah untuk benar-benar melakukan reformasi agraria sesuai janji jargon kampanye Jokowi-Amin, juga patut dipertanyakan. Seolah-olah, pemerintah masih setengah hati untuk menarik paksa lahan-lahan konsesi yang ditelantarkan, di tengah tindakan okupasi lahan yang massif berjamaah dilakukan oleh sejumlah oknum dan kelompok.
Coba bayangkan, luasan areal dua perusahaan yang dicabut izinnya oleh Bahlil tak sampai 30 ribu hektar. PT Merbau Pelalawan Lestari hanya memiliki luas areal kelola 12.660 hektar. Sementara, PT Lantabura Mentari Sejahtera memegang izin konsesi seluas 16.120 hektar.
Sebagai perbandingan, berikut luasan lahan 17 perusahaan yang telah dicabut izin kehutanannya oleh Menteri LHK:
1. SK nomor 69/Menhut-II/2007 atas nama PT Merbau Pelalawan Lestari seluas 12.660 hektar
2. SK nomor 378/Menhut-II/2008 atas nama PT Sari Hijau Permata seluas 20.000 hektar
3. SK nomor 420/Menhut-II/2014 atas nama PT Lantabura Mentari Sejahtera seluas 16.120 hektar
4. SK nomor 1/1/IPPKH-PB/PMDN/2017 atas nama PT Riau Baraharum seluas 1.476,74 hektar
5. SK nomor 603/Kpts-II/1991 atas nama PT Darmali Jaya Lestari seluas 5.501,5 hektar
6. SK nomor 697/Kpts-II/1993 atas nama PT Dharma Wungu Guna seluas 5.340 hektar
7. SK nomor 645/Kpts-II/1995 atas nama PT Duta Palma Nusantara (II) seluas 3.025 hektar.
8. SK nomor 840/Kpts-VI/1999 atas nama PT Hutani Sola Lestari seluas 45.990 hektar
9. SK nomor 802/Kpts-VI/99 atas nama PT Bhara Induk seluas 47.687 hektar
10. SK nomor 217/Menhut-II/2007 atas nama PT Lestari Unggul Makmur seluas 10.390 hektar
11. SK nomor 554/Menhut-II/2006 atas nama PT Rimba Rokan Perkasa seluas 22.930 hektar
12. SK nomor 553/Menhut-II/2006 atas nama PT Prima Bangun Sukses seluas 8.670 hektar
13. SK nomor 21/Menhut-II/2007 atas nama PT National Timber Forest Product seluas 9.300 hektar
14. SK nomor 599/Kpts-II/1999 atas nama PT Rimba Seraya Utama seluas 12.600 hektar
15. SK nomor 70/Menhut-II/2007 atas nama PT Bukit Raya Pelalawan seluas 4.010 hektar
16. SK nomor 262/Kpts-II/1998 atas nama PT Rimba Rokan Lestari seluas 14.875 hektar
17. SK nomor 75/Menhut-II/2007 atas nama PT Perkasa Baru seluas 13.170 hektar.
Pemerintah mestinya tak perlu ragu untuk mengambil langkah tegas terhadap sejumlah perusahaan tersebut. Selama ini, mereka sudah cukup kenyang mendapatkan hasil berlimpah dari kayu-kayu hutan yang ditebangi dan manisnya uang minyak kelapa sawit yang mereka timbun di mana-mana.
Langkah menggantung pemerintah ini bisa memicu spekulasi adanya oknum-oknum pejabat yang memiliki konflik kepentingan. Atau juga, dugaan permainan pencitraan pemerintah yang di awal menunjukkan sikap seakan pro rakyat lewat isu reforma agraria.
Gigi atrek pemerintah ini patut disoroti. Jangan sampai terjadi permainan oknum-oknum di dalamnya. Aparat penegak hukum khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) wajib memelototinya. (*)