Gawat! DPR Desak Menteri LHK, Ultimatum Serahkan Data Pemilik Kebun Sawit Ilegal di Riau Paling Lama Juli 2022
SabangMerauke News, Jakarta - Komisi IV DPR RI mendesak keras Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya untuk melaporkan data kepemilikan kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan. Laporan tertulis di-deadline paling lambat 31 Juli mendatang.
Dalam rapat kerja Komisi IV dengan Menteri LHK bersama jajarannya, para anggota Dewan naik pitam. Kementerian LHK menjadi bulan-bulanan akibat sengkarut data kepemilikan kebun sawit di kawasan hutan yang selalu molor dari janji KLHK.
"Malu saya begini jadi anggota Dewan. Saya merasa dilecehkan. Ini dagelan namanya. Stop retorika. Jangan nipu-nipu data, saya ini gak bodoh-bodoh amat," tegas Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin lewat video yang ditayangkan via channel YouTube DPR RI, Selasa (28/3/2022).
Sudin selama hampir 3 jam rapat berlangsung, terlihat keras memimpin jalannya pertemuan. Politisi PDI Perjuangan ini beberapa kali tampak berbicara keras dan marah atas kinerja KLHK dalam menertibkan kebun ilegal dalam kawasan hutan, khususnya di Riau. Dua orang anggota Dewan lain yakni Dedy Mulyadi dan Dahori juga vokal dalam 'melucuti' kinerja dan keseriusan KLHK dalam mengurus hutan Indonesia.
"Stop retorika. Jangan nipu-nipu data, saya ini gak bodoh-bodoh amat"
Rapat kerja tersebut dihadiri langsung Menteri LHK Siti Nurbaya, Wakil Menteri LHK Alue Dohong serta jajaran pejabat eselon I di lingkungan KLHK, termasuk Dirut BUMN Inhutani.
Adapun kesimpulan rapat tersebut terdiri dari 4 poin pokok. Pada poin ketiga yakni DPR meminta KLHK melakukan inventarisasi data kebun sawit ilegal termasuk tambang ilegal dalam kawasan hutan. Untuk wilayah Provinsi Kalimantan Tengah paling lama 31 Mei dan Provinsi Riau 31 Juli mendatang.
"Komisi IV meminta KLHK melakukan inventarisasi dalam rangka menyelesaikan data kebun, tambang dan penggunaan lainnya yang ilegal dalam kawasan hutan. Yang dilengkapi dengan poligon, nama perusahaan/ pemilik/ pengelola) dan lokasi desa/ kecamatan/ kabupaten/ kota. Laporan dimaksud agar disampaikan ke Komisi IV DPR RI selambat-lambatnya untuk Provinsi Kalimantan Tengah pada 31 Mei 2022 dan Provinsi Riau pada 31 Juli 2022," demikian bunyi poin ketiga kesimpulan rapat kerja tersebut.
Menteri LHK, Siti Nurbaya mencoba mengklarifikasi pertanyaan dan kritikan yang dilayangkan para anggota Komisi IV DPR RI. Politisi Partai NasDem ini sepakat jika fokus awal pendataan dilakukan di Provinsi Riau dan Kalteng.
"Ya, saya setuju di Riau dulu. KLHK akan membuat tim dalam jumlah besar. Agar bisa turun ke bawah dalam waktu yang agak lama. Agar dapat diperoleh data yang faktual di lapangan," kata Siti Nurbaya.
Korporasi 'Disulap' Menjadi Koperasi
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Dedy Mulyadi dalam rapat tersebut mewanti-wanti agar KLHK menelisik dugaan terjadinya penyulapan korporasi perusahaan penggarap hutan ilegal menjadi koperasi. Seakan-akan lahan yang dikuasai adalah milik koperasi, namun nyatanya merupakan kebun kepunyaan perusahaan yang dikemas dalam bentuk kepemilikan masyarakat.
"Itu tadi, ada dugaan korporasi menjadi koperasi. Lahan korporasi perusahaan dikesankan milik masyarakat yang tergabung dalam koperasi di atas kertas. Nyatanya itu milik korporasi perusahaan," kata Dedy.
Politisi Partai Golkar ini menjelaskan, modus menyulap koperasi menjadi korporasi dilakukan untuk menghindari kewajiban denda dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) oleh korporasi kebun sawit ilegal.
"Kalau dipecah-pecah kepemilikan menjadi seakan-akan di bawah 5 hektar. Kan kalau melihat Undang-undang Cipta Kerja, lahan di bawah 5 hektar tidak kena denda dan kewajiban PNBP. Ini harus ditelisik oleh KLHK. Jangan sampai negara rugi berkali-kali," katanya.
"Mereka segelintir orang kaya dengan cepat. Tapi, rakyat justru miskin secara cepat. Negara rugi besar, mereka untung besar"
Ia heran mengapa negara khususnya KLHK dan aparat hukum tidak berkolaborasi dalam menindak persoalan kebun sawit di kawasan hutan secara ilegal ini. Padahal, negara telah mengalami kerugian ratusan bahkan ribuan triliun akibat pembiaran selama bertahun-tahun.
"Mereka segelintir orang kaya dengan cepat. Tapi, rakyat justru miskin secara cepat. Negara rugi besar, mereka untung besar. Aneh, kok gak diumumkan berapa kerugian negara, agar menjadi perhatian publik," tegas Dedy.
Anggota DPR lainnya, Darori menjelaskan hasil kunjungan lapangan Komisi IV DPR RI beberapa waktu lalu ke Kabupaten Siak, Riau memperkuat sinyalemen yang disampaikan Dedi Mulyadi tersebut. Mantan pejabat tinggi di Kementerian Kehutanan ini menyebut kebun sawit diduga ilegal di Siak berada dalam hamparan yang luas dengan kondisi umur tanaman yang relatif sama.
"Fakta lapangannya demikian. Kami ke Siak melihat luasan kebun sawit dengan hamparan luas. Tidak mungkin itu milik masyarakat per 5 hektar. Itu justru ratusan hektar. Kok kondisi tanamannya relatif sama, berarti kan dikelola satu orang," tegas Darori sembari menegaskan KLHK harus mengungkap kepemilikan dan penguasa kebun sawit ilegal di Riau.
Kolaborasi dengan Mabes Polri
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Dedy Mulyadi mempertanyakan mengapa KLHK tidak menggandeng aparat penegak hukum, khususnya Bareskrim Polri untuk mengusut kasus kebun ilegal di Riau. Ia mendapat laporan dari Gubernur Riau, Syamsuar kalau luasan kebun sawit ilegal di Riau mencapai 1,5 juta hektar.
"Rakyat yang menebang satu pohon saja ditangkap dan diproses hukum. Ini kebun sawit ilegal jutaan hektar, kok negara tak berdaya. Mengapa Bu Menteri tidak bekerja sama dengan Bareskrim?" kata Dedy.
Menurutnya keberadaan polisi sudah sampai ke tingkatan paling bawah yakni Bhabinkamtibmas. Termasuk juga militer yang berada di level Babinsa.
"Ini kan bisa digandeng. Agar di bawah nanti tidak terjadi pergesekan. Apalagi kalau ada isu pembekingan. Kan nanti jadi ketahuan. Jadi, tolonglah agar serius. Negara rugi besar, segelintir orang kaya raya," pungkas Dedy. (*)