Cerita Lama Kepala Daerah Dipilih DPRD: Digulirkan Pendukung Prabowo, Tapi Dibatalkan SBY!
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Presiden Prabowo Subianto menggulirkan wacana agar pemilihan kepala daerah (Pilkada) dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), tidak lagi secara langsung dipilih rakyat.
Pilkada melalui wakil rakyat bukanlah suatu kebijakan baru.
Sistem pemilihan ini diterapkan pada masa orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, mertua Prabowo.
Setelah digulingkannya rezim Soeharto, terjadi banyak perubahan pada sistem demokrasi di Indonesia.
Termasuk sistem Pilkada lewat DPRD juga diubah menjadi pilkada langsung oleh rakyat, sejak 2005.
Sebelum digulirkan lagi oleh Prabowo pada 2024 ini, wacana untuk mengembalikan sistem Pilkada oleh DPRD pernah mengemuka 10 tahun lalu.
Aturannya bahkan sudah terbit, walaupun kemudian dibatalkan lagi oleh presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono.
Koalisi Merah Putih ingin Pilkada oleh DPRD Pada 2014, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI melakukan merevisi Undang-Undang (UU) Pilkada, yang salah satu pokok pembahasannya adalah soal mekanisme pemilihan.
Sebanyak enam fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP), yakni Golkar, PKS, PAN, PPP dan Gerindra menginginkan mekanisme Pilkada oleh DPRD.
Diketahui, KMP adalah gabungan partai pendukung pasangan Prabowo Subianto - Hatta Rajasa pada Pemilihan Presiden 2014.
Sementara Fraksi PDI-P, PKB, dan Hanura -partai pendukung Joko Widodo dan Jusuf Kalla- ingin agar Pilkada tetap dipilih langsung oleh rakyat. Opsi ini juga didukung oleh sebagian anggota DPR dari Fraksi Demokrat.
Setelah melewati proses panjang, DPR akhirnya menggelar rapat paripurna pada Kamis (25/9/2014) dengan agenda pengesahan RUU Pilkada yang mengatur pemilihan oleh DPRD.
Rapat pengesahan itu berlangsung alot dan diwarnai adu argumen antar anggota DPR dari setiap Fraksi. Rapat yang berlangsung hingga Jumat (26/9/2014) itu akhirnya harus diputuskan melalui mekanisme voting.
KMP yang mendukung Pilkada dipilih DPRD memperoleh 226 suara. Sementara gabungan fraksi PDI-P, PKB, dan Hanura yang ingin pemilihan tetap ditangan rakyat mendapatkan 135 suara.
Demokrat yang sebelumnya mendukung Pilkada oleh rakyat dengan beberapa syarat, justru mendadak walk out saat proses voting. “Opsi satu, Pilkada langsung 135 (suara). Lewat DPRD 226 (suara), dan abstain 0. Total 361,” ujar Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santono selaku pimpinan rapat, Jumat (26/9/2014) dini hari.
Seiring dengan itu, UU Pilkada yang mengatur pemilihan oleh DPRD pun disahkan oleh DPR RI.
“Memutuskan, untuk substansi ini adalah pilihan lewat DPRD,” ucap Priyo di ruang rapat paripurna. Prabowo pun mengaku senang atas kemenangan KMP dalam pembahasan revisi UU Pilkada di DPR RI, sehingga kepala daerah akan kembali dipilih DPRD.
Pengakuan itu disampaikan Prabowo saat berpidato dalam pembekalan calon anggota legislatif terpilih yang tergabung dalam KMP di Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (26/9/2014).
Pada 2 Oktober 2014, SBY kemudian menerbitkan dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perppu) untuk membatalkan aturan Pilkada lewat DPRD.
Pertama adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Perppu ini mencabut UU Nomor 22 Tahun 2014 yang mengatur pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Kedua adalah Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2014 Pemerintah Daerah.
Inti dari Perppu ini adalah menghapus tugas dan wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah.
Dalam pidatonya, SBY menyatakan “Saya dukung Pilkada langsung dengan perbaikan-perbaikan mendasar”.
Dia juga menegaskan bahwa Pilkada langsung adalah buah perjuangan reformasi, seraya menambahkan “Saya jadi presiden melalui Pemilu langsung oleh rakyat pada 2004 dan 2009”.
Setelahnya, DPR RI pun menyetujui Perppu yang diterbitkan oleh SBY. Keinginan kubu Prabowo agar sistem Pilkada kembali dipilih DPRD pun gagal, dan tetap berada di tangan rakyat.
Alasan Prabowo gulirkan wacana Pilkada lewat DPRD
Lantas mengapa Prabowo justru kembali menggulirkan wacana yang sebelumnya telah mendapatkan banyak penolakan? Dalam pidatonya di HUT Partai Golkar, Prabowo menyinggung soal biaya penyelenggaraan Pilkada langsung yang dianggap terlalu mahal.
Prabowo membandingkan sistem politik Indonesia dengan negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan India yang dianggap lebih efisien proses pemilihannya.
Menurut dia, negara tetangga hanya melaksanakan pemilihan sebanyak satu kali, yakni untuk anggota DPRD.
Selebihnya, para legislator di tingkat daerah lah yang memilih bupati hingga gubernur.
Prabowo lantas membandingkan dengan sistem pemilihan di Indonesia yang bisa menghabiskan anggaran triliunan rupiah dalam 1-2 hari saja.
"Ketum Partai Golkar salah satu partai besar, tapi menyampaikan perlu ada pemikiran memperbaiki sistem partai politik. Apalagi ada Mbak Puan kawan-kawan dari PDI-P, kawan-kawan partai lain, mari kita berpikir, mari kita tanya, apa sistem ini, berapa puluh triliun habis dalam 1-2 hari. Dari negara maupun dari tokoh politik masing-masing," ujar Prabowo dalam acara HUT ke-60 Golkar di Bogor, Kamis (12/12/2024).
"Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien. Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih, ya sudah DPRD itu lah yang milih gubernur, yang milih bupati," sambungnya.
Prabowo mengatakan, sistem seperti di negara tetangga itu jauh lebih hemat ketimbang pemilihan di Indonesia.
Padahal, uang yang dikeluarkan untuk pemilihan bisa dimanfaatkan untuk makanan anak-anak, perbaikan sekolah, hingga perbaikan irigasi.
"Ini sebetulnya begitu banyak ketum partai di sini sebenarnya bisa kita putuskan malam hari ini juga, gimana?" tanya Prabowo disambut tawa.
Bagaimana respons partai saat ini?
Gerindra dan Golkar sebagai partai pendukung Prabowo di Pilpres 2024 secara terang-terangan mendukung wacana Pilkada dipilih DPRD.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Golkar Muhammad Sarmuji mengaku sepakat dengan pernyataan Prabowo yang mengusulkan untuk mengevaluasi sistem Pilkada.
Sarmuji menyebutkan, Golkar siap memberikan sejumlah opsi sistem baru untuk pilkada, termasuk kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD.
“Golkar mendukung kajian menyeluruh sistem pilkada. Salah satunya memang opsi (kepala daerah) kembali dipilih DPRD,” ujar Sarmuji saat dihubungi media, Sabtu (14/12/2024).
Sarmuji belum membeberkan lebih jauh soal opsi-opsi yang bakal diberikan oleh Golkar. Namun, dia menekankan bahwa pilkada tidak langsung bukanlah pelanggaran atas Undang-Undang Dasar 1945.
“Semua demokratis, lewat DPRD juga bisa dipandang demokratis. Salah satu opsi dari Golkar bisa dinilai lebih demokratis tetapi bisa lebih efisien,” ujar Sarmuji.
Sekjen Gerindra Ahmad Muzani bahkan berharap kajian soal wacana Pilkada lewat tangan wakil rakyat perlu segera dikaji bersama-sama oleh pemerintah dan DPR mulai 2025.
Sebab, untuk mewujudkan gagasan tersebut, memerlukan revisi aturan UU tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
“Karena ini Pilkada baru selesai, gubernur akan dilantik, wali kota dilantik, bupati dilantik, maka setelah itu kami akan minta dilakukan kajian-kajian dulu di DPR, setelah itu dilakukan pembahasan-pembahasan. Ya mungkin 2025 lah,” kata Muzani.
Sementara PKB mengaku sepakat dengan Prabowo untuk mengevaluasi sistem Pilkada. Pihaknya juga memiliki pandangan yang sama soal besarnya ongkos pemilih untuk tingkat daerah.
Tetapi soal mekanisme pemilihan oleh DPRD atau rakyat, PKB meminta hal ini dikaji dan dibahas bersama-sama.
“Ide untuk mengevaluasi pemilihan langsung di level pilkada itu saya kira, saya mendukung, PKB juga mendukung. Soal mekanismenya, apakah langsung DPRD, apakah semua DPRD, mari kita diskusikan bersama,” ujar Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (13/12/2024) malam.
PDI-P secara tegas menolak wacana tersebut karena dianggap merampas hak rakyat untuk memilih langsung kepala daerahnya.
"Pada prinsip yang kami tetap ingin pemilu langsung dan kedaulatan rakyat di tangan rakyat, one man, one vote," ujar Ketua DPP PDI-P Deddy Sitorus dalam konferensi pers di Kantor DPP PDI-P, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (13/12/2024).
Deddy menekankan bahwa biaya politik tak bisa dijadikan alasan utama untuk mengganti sistem pemilihan langsung. Menurut dia, narasi biaya mahal justru muncul karena ada politisi yang memilih cara instan dengan menggunakan uang.
"Jadi jangan hanya menyalahkan rakyat biaya mahal, karena yang menyatukan uang itu kan memang dari elite politik sendiri," pungkasnya. (R-03)