Dugaan Fee Ilegal Bank Riau Kepri Muncul Lagi, Siapa yang Peduli?
SabangMerauke News - Bank Riau Kepri (BRK) kembali jadi sorotan. Kasus dugaan penerimaan fee oleh pemimpin operasional bank plat merah kebanggaan Riau ini kembali muncul ke publik.
Yang terbaru, Kepolisian Resor Kota (Polresta) Pekanbaru mengusut dugaan pemberian fee penjaminan kredit dari PT Penjaminan Kredit Daerah (Jamkrida) Riau. Surat penyelidikan perkara sudah terbit sejak 9 Maret silam.
Sejumlah pihak dilaporkan sudah dimintai klarifikasi dan keterangan. Media SabangMerauke News sejak November tahun lalu sudah mengangkat isu ini.
BERITA TERKAIT: Polresta Pekanbaru Selidiki Dugaan Fee Dana Penjaminan PT Jamkrida ke Pegawai Bank Riau Kepri
Sebenarnya, jika ingin tuntas penanganan perkara ini mestinya diambil alih oleh Polda Riau agar dapat menjangkau lebih luas lagi. Kuat dugaan kalau pemberian fee tidak saja terjadi di Pekanbaru, namun juga di sejumlah daerah operasional BRK.
Ini adalah kasus kedua yang menyeret BRK ke panggung hukum dalam dugaan penerimaan ilegal yang bertentangan dengan Undang-undang Perbankan. Sebelumnya, tahun lalu BRK juga dilanda skandal yang mirip. Yakni penerimaan fee asuransi kredit dari broker PT Global Risk Management. Lagi-lagi, penerimanya adalah para pemimpin operasional di cabang, cabang pembantu dan diduga sampai ke tingkatan kedai BRK.
Tiga mantan pemimpin cabang dan cabang pembantu BRK dalam kasus itu, terbukti secara sah dan meyakinkan menerima uang fee dari broker. Ketiganya divonis masing-masing 2,5 tahun penjara dan kini proses hukum sudah pada tingkatan kasasi di Mahkamah Agung.
Untuk kasus pertama itu, sebenarnya kuat dugaan kalau penerimaan fee tidak saja dilakukan oleh 3 orang yang sudah divonis bersalah. Pengakuan mantan kepala cabang PT GRM Riau, Dicky Vera Soebasdianto kalau dirinya membagi-bagikan uang di tiap akhir bulan. Modusnya bahkan cukup janggal. Uang ditransfer ke rekening atas nama Dicky, namun kartu ATM dan buku tabungan diberikan kepada para penerimanya.
Dicky mengaku seluruh pemimpin operasional BRK yang menjadi mitra PT GRM mendapat jatah fee gelap tersebut. Jumlahnya diperkirakannya mencapai lebih 40 orang.
Namun, setakat ini Kepolisian Daerah (Polda) Riau yang sejak awal menyidik perkara ini, belum melakukan pengembangan dan pengusutan terhadap terduga puluhan orang tersebut. Hanya 3 orang saja yang masih meringkuk di sel tahanan. Sebagian besar lagi masih beraktivitas di BRK, bahkan dikabarkan ada yang naik jabatan.
Belum lagi 'skandal berjamaah' fee ilegal dari PT GRM dibongkar tuntas, kasus baru muncul. Para pemimpin operasional BRK diduga kuat menerima komisi ilegal dari PT Jamkrida Riau.
Perusahaan ini seluruh sahamnya dimiliki oleh Pemprov Riau. Jadi ibaratnya, sesama BUMD saling memberi dan menerima sesuatu, namun itu sebenarnya dilarang keras oleh Undang-undang maupun kode etik perbankan.
Dugaan pemberian fee oleh PT Jamkrida tersebut terjadi dalam periode Desember 2019 hingga September 2020. Penyelidikan perkara ini mengenakan pasal 49 ayat 2 huruf a atau pasal 49 ayat 2 huruf b Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Sama persis dengan kasus pemberian fee dari PT GRM.
Kasat Reskrim Polresta Pekanbaru, Kompol Andrie Setiawan belum memberikan penjelasan ikhwal penanganan perkara yang tengah ditangani satuan di bawah otoritasnya tersebut. Setali tiga ulang, pihak BRK juga belum mau merespon. Seorang direksi telah dikonfirmasi sejak kemarin, namun sampai hari ini belum memberi keterangan.
Sikap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Riau sudah jelas. Penerimaan tersebut dilarang oleh ketentuan perundang-undangan.
"Secara normatif tidak diperkenankan penerimaan pribadi," terang Kepala OJK Perwakilan Provinsi Riau, M Lutfi pada Jumat (10/12/2021) lalu.
Pemberian uang disebut sebagai biaya akuisisi atau komisi atas apresiasi karena kepala cabang BRK telah melakukan penjaminan kredit produktif yang diproses tidak melalui broker alias head to head kepada PT Jamkrida Riau.
Hal ini diformalkan lewat surat keputusan Direktur Utama PT Jamkrida Riau tentang Biaya Akuisisi Cabang-cabang BRK tertanggal 1 Agustus 2019. PT Jamkrida mencuplik Peraturan OJK nomor: 2/POJK.5/2017 tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjaminan sebagai rujukan pemberian komisi biaya akuisisi tersebut.
Dalam salinan kopian surat itu disebutkan kalau pembayaran akuisisi dilakukan secara transfer ke rekening sesuai konfirmasi bayar dari pimpinan cabang BRK.
Kasus baru ini patut kita letakkan dalam kerangka penegakan hukum mengedepankan asas praduga tak bersalah. Kita berharap penegak hukum kepolisian bisa membukanya ke publik suatu saat nanti.
Jangan sampai perkara ini mengendap karena bisa memicu syak wasangka dari publik. Perkara ini harus memiliki ujung yang jelas dan publik memberi waktu kepada petugas hukum.
Bahkan, seandainya penyidik Polresta Pekanbaru memiliki alat bukti yang cukup, perkara ini bisa saja ditarik ke ranah dugaan tindak pidana korupsi dalam bentuk gratifikasi. Tapi, itu semua adalah kewenangan dan otoritas para pemegang kekuasaan hukum di negeri ini. Mana bisa kita ikut campur.
Koreksi Tata Kelola BUMD
Kabar buruk soal adanya desas-desus fee yang mengalir ke sejumlah pemimpin operasional BRK bisa memicu ketidakpercayaan publik. Kita tahu, lembaga perbankan mestinya dikelola dengan mengedepankan praktik bisnis yang sehat, prudent dan prinsip kehati-hatian.
BRK bisa mengalami kehancuran reputasinya. Dampaknya akan sangat meluas dan fundamen. Jika tak ada langkah koreksi atau sebaliknya terjadi pembiaran, maka reputasi perbankan akan rusak.
Kehancuran reputasi biasanya selalu diawali dari keroposnya moral dan etika penyelenggaraan korporasi. Mekanisme pengawasan internal bank perlu dievaluasi. Pembersihan perlu dilakukan tanpa mengulur waktu.
Apalagi konon kabarnya BRK segera menyongsong tuntasnya konversi dari bank umum menjadi bank syariah. Beban moralnya lebih berat lagi, karena membawa-bawa nilai-nilai agama.
Setiap perbankan tak terkecuali BRK sebenarnya sudah memiliki sistem yang rigid. Sulit untuk melakukan kejahatan jika pelakunya tunggal. Biasanya, kejahatan perbankan terjadi secara sistematis. Dalam hal ini, fungsi pengawasan independen perlu diperkuat.
Pada sisi lain, pemegang saham BRK yang merupakan pemangku kepentingan, juga tak boleh diam. Sikap diam bisa diartikan sama dengan setuju.
Ada mekanisme rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPS-LB) yang bisa dilakukan untuk mengoreksi jalannya korporasi. Para kepala daerah di Riau dan Kepri yang merupakan representasi pemegang saham, harus punya sikap jelas soal ini. Ingat, uang yang dikelola BRK mayoritas adalah uang rakyat yakni APBD yang dionggokkan sebelum dipakai.
Peran Biro Perekonomian Setdaprov Riau sebagai perangkat daerah yang membantu tugas kepala daerah melakukan pembinaan dan pengawasan BUMD pun perlu dievaluasi. Jangan sekadar hanya melakukan praktik business as usual semata.
Harusnya, biro ini bisa memperkuat lini pembinaan dan pengawasan terhadap BUMD. Bagaimana agar biro ini tidak sekadar menerima laporan di atas meja. Namun yang lebih pokok adalah mampu menjaga integritas. Sebaliknya, jangan pula terlibat dalam konflik kepentingan.
Kehadiran perangkat korporasi yakni komisaris juga perlu dievaluasi. Publik mempertanyakan pelaksanaan tugas komisaris yang dinilai tidak efektif melakukan pengawasan internal. Pergantian komisaris cenderung bersifat politik yang tentunya akan banyak menimbulkan kepentingan politik-ekonomi yang berkait kelindan. Pengawasan korporasi pun jadi ala kadarnya.
Peran dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawasan eksternal perbankan dan lembaga keuangan juga perlu dipertanyakan. OJK seharusnya menggunakan kewenangannya mendeteksi penyimpangan yang terjadi lebih awal.
Pemeriksaan berkala harus dilakukan dengan benar dan independen. Makin banyak masalah di dunia perbankan, mengindikasikan kegagalan fungsi OJK dalam menjalankan tugasnya.
Selamat hari jadi Bank Riau Kepri. Ingat, konversi bukanlah tujuan! (*)