Sindikat TPPO Modus Operator Judi Online Ancam Warga Kepulauan Meranti, Bahkan Ada Jenazah Tertahan di Kamboja
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus penempatan paksa sebagai operator judi online di luar negeri kembali menjadi perhatian serius Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti.
Tahun ini, pemerintah daerah telah menerima empat laporan dari keluarga korban yang mendesak upaya penyelamatan, setelah mengetahui anggota keluarga mereka ditahan oleh sindikat TPPO internasional di Kamboja.
Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil, Menengah, dan Koperasi Kabupaten Kepulauan Meranti, Tengku Arifin, melalui Kepala Bidang Tenaga Kerja, H. Haramaini, mengungkapkan bahwa laporan tersebut datang dari keluarga korban yang mengkhawatirkan keselamatan sanak saudaranya yang tertahan di luar negeri.
"Laporan diajukan oleh masing-masing keluarga korban yang ditahan oleh pelaku TPPO. Mereka mengaku bahwa anggota keluarganya disekap dan tidak diizinkan pulang ke Indonesia. Mereka diperkerjakan secara paksa sebagai operator judi online di Kamboja," ungkap Haramaini.
Untuk menangani kasus ini, pihak Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Kepulauan Meranti langsung meneruskan laporan tersebut kepada Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Riau agar mendapat penanganan lebih lanjut.
"Sampai saat ini, semua laporan yang masuk ke kami telah diteruskan ke BP3MI. Namun, belum ada informasi terbaru mengenai kondisi terkini para korban yang dimaksud," jelas Haramaini.
Kasus-kasus TPPO seperti ini semakin menjadi perhatian publik karena korban seringkali mengalami penyekapan dan perlakuan tidak manusiawi, jauh dari jangkauan keluarganya di Indonesia. Para korban, yang awalnya tergiur dengan tawaran pekerjaan di luar negeri, justru mendapati diri mereka terjebak dalam jaringan perdagangan manusia yang eksploitatif.
Bahkan kali ini, duka menyelimuti keluarga seorang warga berinisial ARS (21) yang diduga menjadi korban kekerasan di tempat kerjanya di Kamboja dan meninggal dunia. Kondisi ini menyisakan beban bagi keluarganya di Selatpanjang, yang kini tengah berjuang untuk memulangkan jenazah ARS ke kampung halaman. Namun, upaya ini terhambat oleh keterbatasan biaya, di mana pihak keluarga dihadapkan dengan kebutuhan dana sebesar Rp 221 juta untuk proses pemulangan.
Berita mengenai nasib tragis ARS telah sampai dan damai dibicarakan, pihak pemerintah daerah menyampaikan rasa duka cita mendalam atas insiden ini, seraya menegaskan bahwa kasus ini menambah catatan hitam terkait perdagangan orang yang kini semakin sering dilaporkan di Kepulauan Meranti.
"Kami sangat prihatin dan turut berduka cita. Hingga saat ini, laporan dari keluarga sudah diteruskan ke pihak terkait, dan kami berharap ada solusi secepatnya agar jenazah ARS bisa dipulangkan," ungkap Haramaini.
Kondisi ini menguak sisi lain dari kasus TPPO, di mana tak hanya keselamatan korban yang berada dalam bahaya, tetapi juga menyisakan beban finansial bagi keluarga mereka. Upaya pemulangan jenazah dari luar negeri merupakan proses yang memerlukan biaya besar, terutama ketika melibatkan negara-negara seperti Kamboja yang memiliki regulasi ketat dalam proses repatriasi jenazah.
Keluarga ARS kini tengah berupaya mencari bantuan, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat. Beberapa tokoh masyarakat di Kepulauan Meranti mulai menggalang dana untuk membantu meringankan beban keluarga ARS, dengan harapan agar dana tersebut dapat terkumpul secepatnya.
Kasus ARS menjadi peringatan keras bagi masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam menerima tawaran kerja di luar negeri. Modus perdagangan orang kerap kali diawali dengan iming-iming gaji tinggi, namun pada kenyataannya, korban justru terjebak dalam lingkungan kerja yang penuh tekanan dan kekerasan.
Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti pun terus mengingatkan warga untuk berhati-hati sebelum menerima tawaran pekerjaan di luar negeri, terutama jika tawaran tersebut terdengar terlalu menggiurkan tanpa prosedur yang jelas.
Imbauan ini kembali disampaikan di tengah meningkatnya laporan mengenai warga Meranti yang menjadi korban TPPO di luar negeri, yang dipekerjakan secara paksa sebagai operator judi online.
Kepala Bidang Tenaga Kerja, H. Haramaini, menyampaikan bahwa pemerintah daerah sengaja merahasiakan identitas dan rincian pengalaman para korban demi keamanan mereka. Banyak korban yang hanya bisa menghubungi keluarga secara diam-diam karena terus diintimidasi oleh pihak TPPO.
"Para korban meminta agar identitas dan kronologis mereka tidak dibuka, mengingat risiko keselamatan yang tinggi. Mereka sering kali dipaksa memenuhi target yang ditentukan pelaku, dan jika gagal, mereka diancam dengan kekerasan," jelas Haramaini.
Modus para pelaku TPPO biasanya berawal dari janji pendapatan tinggi dan kehidupan yang mewah, hingga akhirnya korban terjebak dalam aktivitas ilegal. Kondisi ini membuat korban takut untuk melaporkan keadaan mereka kepada pihak berwenang, bahkan meski ada kesempatan.
"Tidak berani mereka melapor karena intimidasi dan penyiksaan yang dilakukan oleh para pelaku," ujar Haramaini. Dia juga mengungkapkan bahwa setiap tahun selalu ada laporan korban TPPO dari Kepulauan Meranti yang bekerja sebagai operator judi online. Tahun lalu, satu laporan serupa diterima, namun banyak korban yang enggan melapor karena ancaman dan rasa takut yang membayangi mereka.
Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti kini gencar mengimbau warga agar lebih berhati-hati menerima tawaran bekerja di luar negeri yang menjanjikan keuntungan besar namun tidak transparan.
"Kami meminta agar masyarakat memastikan pekerjaan yang ditawarkan legal dan jelas prosedurnya. Jangan sampai terlibat dalam kegiatan yang melanggar hukum dan berakhir dengan konsekuensi yang berat di kemudian hari, " pungkasnya. (R-04)