Prabowo Bawa Indonesia Gabung BRICS, Blok Ekonomi Bentukan Rusia-China Menandingi Dominasi AS
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Indonesia baru-baru ini dikabarkan bakal menjadi mitra BRICS. Bergabung dengan BRICS bisa memberikan Indonesia peluang besar memperluas kemitraan ekonomi.
BRICS, yang mewakili sekitar tiga miliar penduduk dunia, menawarkan pasar ekspor potensial bagi produk-produk Indonesia, seperti hasil pertanian, tekstil, dan elektronik.
Belum lagi kerja sama ekonomi di bidang lainnya seperti investasi. Menteri Luar Negeri Republik Indonesia (Menlu RI) Sugiono juga sudah resmi mengumumkan bahwa Indonesia tengah menjajaki keanggotaan bersama kelompok ekonomi penantang dominasi negara-negara Barat itu.
Pengumuman tersebut disampaikan oleh Sugiono dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus di Kazan, Rusia, pada Kamis 24 Oktober 2024.
Mengutip BBC, organisasi ekonomi ini awalnya dibentuk oleh Brasil, Rusia, India, dan China. Nama BRIC kemudian diambil dari huruf pertama negara-negara anggotanya.
Keempat negara berkembang ini cukup mendominasi perekonomian global. Pertumbuhan ekonomi keempat negara ini sangat tinggi sepanjang dekade tahun 2000-an.
Melihat peluang besar menantang dominasi ekonomi Amerika Serikat dan para sekutu Baratnya, Presiden Rusia Vladimir Putin kemudian menginisiasi pertemuan keempat negara dalam sebuah konferensi di Rusia. Pertemuan itu sekaligus menjadi KTT BRIC resmi pertama.
pada 2010, Afrika Selatan bergabung dengan blok tersebut atas undangan dari China. Dari sinilah nama BRIC berubah menjadi BRICS seperti yang kita kenal saat ini.
Kelompok ini dirancang untuk menyatukan negara-negara berkembang terpenting di dunia, untuk menantang kekuatan politik dan ekonomi negara-negara kaya di Amerika Utara dan Eropa Barat. BRICS adalah ancaman besar bagi kelompok G7 yang berisi negara-negara maju.
Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA) diundang untuk menjadi anggota mulai 1 Januari 2024.
Argentina juga diundang untuk bergabung dengan BRICS, namun Presiden Javier Milei yang menang pemilu dan lebih cenderung pro-Barat kemudian menarik diri pada bulan Desember 2023, tak lama setelah menjabat.
Kelompok ini menetapkan prioritas ekonomi dan membuat keputusan pada setiap pertemuan tahunan.
Para anggotanya bergiliran menjabat sebagai presiden selama setahun. Karena masuknya beberapa anggota baru, BRICS kemudian diubah namanya menjadi BRICS+.
Indonesia belakangan menyatakan minat bergabung sebagai mitra pada 2024. Kelompok BRICS+ yang diperluas ini memiliki populasi gabungan sekitar 3,5 miliar, atau 45 persen dari penduduk dunia.
Jika digabungkan, ekonomi para anggotanya bernilai lebih dari 28,5 triliun dollar AS sekitar 28 persen dari ekonomi global.
Sementara dengan Iran, Arab Saudi, dan UEA sebagai anggota, negara-negara BRICS menghasilkan sekitar 44 persen minyak mentah dunia.
Kelompok BRICS sempat menuding bahwa negara-negara Barat mendominasi badan-badan global penting seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, yang meminjamkan uang kepada pemerintahan di berbagai negara berkembang.
Untuk menantang dominasi Bank Dunia dan IMF yang dikendalikan AS dan para sekutunya, maka pada tahun 2014, negara-negara BRICS mendirikan Bank Pembangunan Baru atau New Development Bank (NDB), sebelumnya bernama BRICS Development Bank.
NDB dibentuk untuk meminjamkan uang guna meningkatkan infrastruktur. Donatur terbesar NDB tentu saja China yang ekonominya paling kuat di antara para anggota BRICS.
Pada akhir tahun 2022, negara ini telah menyediakan hampir 32 miliar dollar AS untuk mendanai proyek negara-negara berkembang seperti proyek jalan, jembatan, rel kereta api, dan pasokan air bersih.
Ini adalah tujuan utama China untuk BRICS, menurut Prof Padraig Carmody dari Trinity College Dublin.
"Melalui BRICS, China mencoba untuk menumbuhkan kekuatan dan pengaruhnya terutama di Afrika. China ingin menjadi suara terdepan bagi belahan bumi selatan," terang Carmody.
Kekuatan dunia utama lainnya dalam kelompok tersebut memiliki tujuan yang berbeda. Dengan demikian, anggota BRICS punya agenda yang berbeda-beda.
"Rusia melihat (BRICS) sebagai bagian dari perjuangannya melawan Barat, membantunya mengatasi sanksi yang dijatuhkan setelah invasi Ukraina," kata Creon Butler dari lembaga pemikir Chatham House yang berbasis di London. (R-03)