Belasan Tahun Sulap Ribuan Hektare Hutan di Kampar Jadi Kebun Sawit, Apakah PTPN V Bayar Pajak?
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - PTP Nusantara V yang saat ini berubah nama menjadi PTPN IV Sub Holding Palmco diduga telah menggarap sedikitnya 2.500 hektare kawasan hutan di Tapung, Kabupaten Kampar menjadi kebun kelapa sawit. Perusahaan plat merah tersebut juga tidak mengantongi izin Hak Guna Usaha (HGU) dalam menjalankan aktivitas operasional.
Pertanyaan tentang apakah perusahaan telah menunaikan kewajiban pajak dan tanggung jawab lain seperti layaknya korporasi perkebunan lainnya pun mengemuka.
BERITA TERKAIT: Sebelum Tim Kemenkopolhukam Turun ke Riau, DPRD Kampar Minta Jaksa Agung Usut Dugaan Korupsi 2.823 Ha Kebun Sawit PTPN V di Kawasan Hutan
Informasi tersebut terungkap dari surat pengaduan Ketua DPRD Kampar saat dijabat oleh Muhammad Faisal yang ditujukan kepada Presiden Jokowi, Menkopolhukam, Jaksa Agung, Menteri ATR/BPN dan Menteri BUMN. Surat itu juga ditembuskan kepada Ketua Mahkamah Agung, Ketua KPK, Komisi III DPR, Menteri LHK, Kapolri dan Gubernur Riau.
Dalam suratnya bernomor: 100.3.11/DPRD/452 tertanggal 1 Juli 2024, Muhammad Faisal mengungkap sejumlah informasi tentang keberadaan kebun sawit yang dikelola PTPN V tersebut. Faisal menyebut kalau lembaganya telah beberapa kali melakukan rapat kerja membahas masalah kebun sawit tersebut bersama pihak BPN, PTPN V, ninik mamak Persukuan Piliang Ganting dan unsur Pemkab Kampar.
Dari hasil rapat yang dilakukan, menurut DPRD Kampar, terungkap kalau PTPN V mengolah kebun sawit tersebut tanpa memiliki izin berupa Hak Guna Usaha (HGU) dari Kementerian terkait.
Selain itu, DPRD Kampar juga telah menanyakan kepada manajemen PTPN V apakah telah membayar pajak atas pengelolaan tanah negara untuk kebun sawit tersebut.
"Namun pihak PTPN V tidak dapat menjawabnya," demikian isi surat DPRD Kampar.
Menurut Faisal dalam suratnya, BPN Kampar telah menyatakan bahwa PTPN V belum pernah mengurus izin apapun ke BPN Kampar maupun BPN Provinsi Riau. PTPN V juga disebut oleh Kadis Perkebunan Kampar tidak pernah melaporkan keberadaannya dalam mengelola kebun sawit.
Atas temuan dan informasi tersebut, DPRD Kampar lantas meminta Jaksa Agung dan Menteri ATR/ BPN untuk mengusut masalah dugaan mafia tanah yang terjadi yang diklaimnya telah merugikan masyarakat adat Persukuan Piliang Ganting-Bangkinang.
"Serta mengusut kasus diduga PTPN V melakukan tindak pidana korupsi tidak membayar pajak sehubungan dengan persoalan yang kami laporkan ini," demikian isi surat DPRD Kampar.
Surat yang dilayangkan oleh Ketua DPRD Kampar itu menyebabkan Tim Kemenkopolhukam turun ke Riau pada Jumat (18/10/2024) lalu. Namun, Kemenkopolhukam sama sekali tidak menyinggung soal kewajiban perusahaan yang telah beraktivitas belasan tahun di kawasan hutan, secara khusus berkaitan dengan pajak dan dampak kerusakan hutan sebelumnya.
Adapun rapat koordinasi dilakukan oleh Tim Kemenkopolhukam dengan mengundang sejumlah pejabat di Riau. Yakni Pj Gubernur Riau, Kajati Riau, Kepala Kanwil BPN Riau, Dirut PTPN III (Persero) serta Dirut PTPN IV Sub Holding Palmco. Undangan rapat juga ditujukan kepada Ketua DPRD Kampar, Pj Bupati Kampar, Kajari Kampar dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kampar.
Berdasarkan putusan hukum gugatan sebuah organisasi lingkungan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah), diketahui kalau kebun sawit yang ditinjau oleh Tim Kemenkopolhukam tersebut, awalnya memang merupakan kawasan hutan produksi terbatas (HPT). Areal hutan itu bahkan telah diberikan izin Hutan Tanaman Industri (HTI) oleh Menteri Kehutanan kepada PT Perawang Sukses Perkasa Industri (PSPI), pemasok bahan baku industri kertas Sinarmas Grup. Namun, entah apa dasarnya hingga PTPN V membangun kebun sawit di kawasan hutan tersebut.
Namun, sejak akhir 2014 lalu, lahan itu telah 'diputihkan' hingga berstatus Areal Penggunaan Lain (APL). Diketahui, PTPN V telah beraktivitas di kawasan hutan itu sejak 2004. Dengan demikian, sebelum diputihkan menjadi APL, perusahaan telah beraktivitas selama lebih sepuluh tahun lamanya, dan telah menikmati hasil kebun sawit dalam kawasan hutan.
Humas PTPN IV Sub Holding Palmco Regional III, Anggi menyatakan, areal yang ditinjau oleh Tim Kemenkopolhukam pada Jumat pekan lalu adalah seluas 2.535 Ha. Dari peninjauan lapangan melalui pengecekan koordinat dan dilanjutkan melalui rapat, areal itu mengalami perubahan status menjadi APL, bukan kawasan hutan.
"Hanya sekitar 300 an hektare yg termasuk HPT, namun telah memenuhi kewajiban pelaporan ke KLHK sesuai UU Ciptaker," terang Anggi via pesan WhatsApp, Senin (21/10/2024).
Ia mengklaim, perusahaan telah membayar pajak sesuai ketentuan.
"Tentu kami membayar pajak sesuai ketentuan. Seluruh kewajiban pajak kami bayarkan ke kantor pajak. Silahkan dikroscek saja," terang Anggi.
Namun, saat dikonfirmasi apakah perusahaan menunaikan kewajibannya ke negara sebelum ribuan hektare kawasan hutan yang dijadikan kebun sawit itu berubah menjadi APL, Anggi belum memberikan respon. (R-03)