Sebelum Tim Kemenkopolhukam Turun ke Riau, DPRD Kampar Minta Jaksa Agung Usut Dugaan Korupsi 2.823 Ha Kebun Sawit PTPN V di Kawasan Hutan
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Tim Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) turun ke Riau pada Jumat (18/10/2024) lalu. Kedatangan tim ini, menindaklanjuti laporan DPRD Kampar ikhwal keberadaan kebun sawit PTPN V (saat ini bernama PTPN IV Sub Holding Palmco) seluas 2.823 hektare di dalam kawasan hutan.
Kebun sawit itu diklaim sebagai bagian dari wilayah ulayat Persukuan Piliang Ganting-Bangkinang. Persukuan ini disebut telah berkonflik dengan PTPN V sejak 2003 silam.
Ketua DPRD Kampar saat dijabat Muhammad Faisal telah mengirim surat pengaduan ke Presiden Jokowi, Menkopolhukam, Jaksa Agung, Menteri ATR/BPN dan Menteri BUMN. Surat itu juga ditembuskan kepada Ketua Mahkamah Agung, Ketua KPK, Komisi III DPR, Menteri LHK, Kapolri dan Gubernur Riau. Atas dasar surat ini kemudian Tim Kemenkopolhukam turun ke Riau.
Dalam suratnya bernomor: 100.3.11/DPRD/452 tertanggal 1 Juli 2024, Muhammad Faisal mengungkap sejumlah informasi tentang keberadaan kebun sawit yang dikelola PTPN V tersebut. Faisal menyebut kalau lembaganya telah beberapa kali melakukan rapat kerja membahas masalah kebun sawit tersebut bersama pihak BPN, PTPN V, ninik mamak Persukuan Piliang Ganting dan unsur Pemkab Kampar.
Dari hasil rapat yang dilakukan, menurut DPRD Kampar, terungkap kalau PTPN V mengolah kebun sawit tersebut tanpa memiliki izin berupa Hak Guna Usaha (HGU) dari Kementerian terkait.
Selain itu, DPRD Kampar juga telah menanyakan kepada manajemen PTPN V apakah telah membayar pajak atas pengelolaan tanah negara untuk kebun sawit tersebut.
"Namun pihak PTPN V tidak dapat menjawabnya," demikian isi surat DPRD Kampar.
Menurut Faisal dalam suratnya, BPN Kampar telah menyatakan bahwa PTPN V belum pernah mengurus izin apapun ke BPN Kampar maupun BPN Provinsi Riau. PTPN V juga disebut oleh Kadis Perkebunan Kampar tidak pernah melaporkan keberadaannya dalam mengelola kebun sawit.
Atas temuan dan informasi tersebut, DPRD Kampar lantas meminta Jaksa Agung dan Menteri ATR/ BPN untuk mengusut masalah dugaan mafia tanah yang terjadi yang diklaimnya telah merugikan masyarakat adat Persukuan Piliang Ganting-Bangkinang.
"Serta mengusut kasus diduga PTPN V melakukan tindak pidana korupsi tidak membayar pajak sehubungan dengan persoalan yang kami laporka ini," demikian isi surat DPRD Kampar.
Sebelumnya diwartakan, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) telah menggelar rapat koordinasi membahas soal kebun sawit seluas 2.823 hektare dalam kawasan hutan di Tapung, Kabupaten Kampar yang dikelola oleh PTP Nusantara (PTPN) IV Sub Holding Palmco yang dulunya merupakan wilayah kelola PTPN V.
Namun, apa hasil dari rapat tersebut belum diketahui secara pasti. Sebelum menggelar rapat, Tim Kemenkopolhukam sempat turun langsung ke lapangan meninjau objek kebun sawit yang dikelola PTPN V.
Adapun rapat koordinasi dilakukan oleh Tim Kemenkopolhukam dengan mengundang sejumlah pejabat di Riau. Yakni Pj Gubernur Riau, Kajati Riau, Kepala Kanwil BPN Riau, Dirut PTPN III (Persero) serta Dirut PTPN IV Sub Holding Palmco. Undangan rapat juga ditujukan kepada Ketua DPRD Kampar, Pj Bupati Kampar, Kajari Kampar dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kampar.
Rapat itu dilakukan untuk menindaklanjuti Surat Ketua DPRD Riau mengenai permasalahan tanah ulayat masyarakat adat Persukuan Piliang Ganting-Bangkinang yang diklaim selama belasan tahun telah dijadikan kebun sawit tanpa izin oleh PTPN V.
Digugat Yayasan Riau Madani
Adapun tanah ulayat yang diklaim DPRD Kampar itu sebenarnya merupakan objek sengketa gugatan Yayasan Riau Madani terhadap PTPN V (sekarang PTPN IV) ke Pengadilan Negeri Bangkinang pada 2013 silam. Perkara ini sudah dinyatakan berkekuatan hukum tetap, sejak Mahkamah Agung (MA menolak Peninjauan Kembali (PK) yang dimohonkan PTPN V pada 2016 lalu.
Itu sebabnya, rapat yang digelar oleh Kemenkopolhukam ini cukup menimbulkan tanda tanya. Apalagi rapat dilakukan setelah putusan perkara yang digugat Yayasan Riau Madani itu, telah dinyatakan berkekuatan hukum tetap (inkrah) sejak 8 tahun silam.
"Kami menyoroti urgensi pelaksanaan rapat tersebut. Apa motif dan tujuan akhirnya, akan kami kawal hingga tuntas," kata Ketua Tim Hukum Yayasan Riau Madani, Surya Darma SAg, SH, MH, Rabu (16/10/2024) lalu.
Surya Darma lantas mengingatkan Kemenkopolhukam agar berhati-hati dalam menyikapi surat Ketua DPRD Kampar tersebut. Sebab, perkara kebun sawit PTPN V itu telah dinyatakan berkekuatan hukum tetap yang harus dipatuhi oleh siapapun, termasuk negara.
Putusan akhir perkara tersebut yakni menghukum PTPN V untuk mengosongkan objek sengketa dan mengembalikan fungsinya sebagai kawasan hutan, dengan cara melakukan penebangan pohon kelapa sawit seluas 2.823,52 hektare. Kemudian melakukan penanaman kembali dengan tanaman akasia sebagaimana layaknya hutan tanaman industri (HTI).
Sebagaimana diketahui, kebun sawit yang dikelola PTPN V tersebut, merupakan areal konsesi HTI milik PT Perawang Sukses Perkasa Industri (PSPI), pemasok bahan baku industri kertas Sinarmas Grup.
"Seharusnya negara bisa menegakkan putusan hukum tersebut. Bukan sebaliknya mengambil langkah-langkah yang berpotensi bertentangan dengan putusan hukum yang sah dan telah berkekuatan hukum tetap," tegas Surya Darma.
Surya Darma menilai, lebih tepat jika Kemenkopolhukam mendorong agar eksekusi putusan perkara yang digugat Yayasan Riau Madani bisa dilakukan sesegera mungkin.
"Bukan justru membuka ruang-ruang baru di luar putusan hukum. Itu kalau Indonesia memang negara hukum, bukan negara kekuasaan," kata Surya Darma.
Pihaknya tidak akan segan melakukan upaya hukum, jika nantinya pemerintah mengambil kebijakan yang bertentangan dengan putusan perkara, lewat rapat koordinasi yang akan dilakukan Kemenkopolhukam pada Jumat mendatang di Pekanbaru.
"Jika ada kebijakan yang diambil bertentangan dengan putusan perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap, maka kami akan mengambil langkah hukum. Termasuk melakukan gugatan hukum kepada institusi dan pejabat yang melakukan tindakan di luar putusan pengadilan dan Mahkamah Agung," kata Surya Darma.
Gugatan Riau Madani di Pengadilan Negeri Bangkinang teregister dengan nomor putusan: 38/Pdt.G/2013/PN.BKN tanggal 10 April 2014. Putusan itu diperkuat oleh amar putusan Peninjauan Kembali (PK) nomor: 608PK/Pdt/2015 tanggal 23 Februari 2016.
Yayasan Riau Madani Kecam DPRD Kampar
Yayasan Riau Madani juga mengecam tindakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kampar yang membawa-bawa nama organisasi lingkungan tersebut dalam pengaduannya ke Presiden Jokowi dan Menkopolhukam terkait klaim lahan tanah ulayat Persukuan Piliang Ganting.
Surya Darma menegaskan, pihaknya secara keras menolak dihubung-hubungkan dengan langkah politik DPRD Kampar yang membuat surat pengaduan ke Presiden Jokowi. Sejak awal, kata Surya, perjuangan yang dilakukan Yayasan Riau Madani tidak terkait dengan kepentingan kelompok yang menamakan Ninik Mamak Persukuan Piliang Gantiang.
"Kami berjuang keras selama bertahun-tahun dan akhirnya memenangkan gugatan terhadap PTPN V. Selama perjuangan itu, tidak pernah sekalipun ada andil dan keterlibatan Ninik Mamak Persukuan Piliang Gantiang. Sepanjang persidangan maupun di dalam putusan, tidak ada disebutkan soal tanah ulayat. Jadi, objek gugatan kami hanyalah kawasan hutan yang diubah menjadi kebun kelapa sawit," tegas Surya Darma.
Pihaknya kaget ketika membaca surat Ketua DPRD Kampar bertarikh 1 Juli 2024 yang ditujukan ke Presiden Jokowi, Menkopolhukam, Jaksa Agung, Menteri ATR/BPN dan Menteri BUMN.
Dalam isi surat itu, ada narasi seakan-akan perjuangan hukum yang ditempuh Yayasan Riau Madani merupakan kelanjutan dari gugatan yang diklaim pernah dilakukan Ninik Mamak Pucuk Persukuan Piliang Ganting terhadap PTPN V di PN Bangkinang.
Surat pengaduan yang dibuat oleh Ketua DPRD Kampar tersebut bernomor: 100.3.11/DPRD/452. Isi surat yang dikomplain Yayasan Riau Madani yakni pada penjelasan surat di halaman pertama, bunyinya: "Bahwa Ninik Mamak Pucuk Persukuan Piliang Ganting-Bangkinang pernah menggugat PTPN V ke Pengadilan Negeri Bangkinang dan diteruskan oleh Yayasan Riau Madani dan telah berkekuatan hukum tetap".
"Kami memaknai narasi yang dibangun oleh DPRD Kampar tersebut berpotensi sebagai pembohongan publik. Sama sekali tidak ada kaitan gugatan kami dengan apa yang disebut sebagai Persukuan Piliang Ganting," kata Surya Darma.
"Kami mendesak DPRD Kampar untuk mencabut surat tersebut dan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya," tegas Surya Darma.
Ia menerangkan, gugatan Yayasan Riau Madani sebagai organisasi lingkungan hanya berfokus pada gugatan lingkungan, secara khusus objeknya adalah kawasan hutan.
"Gugatan kami murni merupakan gugatan lingkungan, yakni penguasaan hutan tanpa izin di kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit," kata Surya Darma.
Surya Darma tak ingin putusan atas gugatan yang telah dimenangkan Yayasan Riau Madani, dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain.
"Jadi, jangan ada pihak-pihak lain yang punya niat memanfaatkan putusan tersebut. Secara tegas kami sampaikan, bahwa Yayasan Riau Madani berjuang agar areal objek sengketa dipulihkan sedia kala sesuai fungsinya sebagai kawasan hutan. Tidak ada opsi lain. Panduan kami adalah putusan hukum, tidak ada celah lain," tegas Surya Darma.
Ia khawatir, lahan kebun sawit yang dikelola PTPN V (sekarang PTPN IV) itu akan bernasib sama seperti kebun sawit Sinama Nenek di Tapung Hulu, Kampar. Pada 2018 silam, pemerintah pusat memutuskan kebun sawit yang digarap PTPN V seluas 2.800 hektare lebih di Sinama Nenek dibagi-bagikan kepada masyarakat sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Belakangan muncul kabar bahwa pembagian kebun sawit itu tidak tepat sasaran dan menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
"Jangan ada pikiran menjadikan kebun sawit di Batu Gajah, Tapung ini menjadi seperti Sinama Nenek jilid dua. Semua tahu apa yang terjadi di Sinama Nenek. Lahan itu harus dikembalikan sebagai kawasan hutan sebagaimana putusan hukum yang sudah inkrah," pungkas Surya Darma. (R-03)