Menunggu Vonis Hakim PN Pekanbaru atas Dugaan Kriminalisasi Fikasa Grup
SabangMerauke News, Pekanbaru - Pakar hukum perdata, Dr Suherman SH, LLM menegaskan penyelesaian kasus promissory note yang menerpa Fikasa Grup seharusnya diselesaikan lewat jalur hukum perdata. Ia berpendapat, masalah yang terjadi antara Fikasa Grup dengan 10 kreditur yang disidangkan di Pengadilan Negeri Pekanbaru, tidak tepat jika ditindak lewat hukum pidana.
"Promissory note termasuk dalam suatu perikatan. Itu sebabnya, sengketa terkait promissory note seharusnya lewat mekanisme hukum perdata," kata Suherman, Minggu (27/3/2022).
Kasus Fikasa Grup telah bergulir pada tahap akhir. Dijadwalkan pada 29 Maret mendatang, majelis hakim yang diketuai Dr Dahlan SH, MH akan membacakan putusan perkara tersebut , sebelumnya pada Selasa (22/3/2022) lalu, sidang pembacaan putusan batal digelar.
Dr Suherman menjelaskan, berdasarkan pasal 1320 BW (KUH Perdata), syarat sah dari suatu perjanjian telah diatur dan ditentukan sedemikian rupa. Jika syarat tersebut terpenuhi, maka perjanjian itu sah dan mengikat. Jika salah satu pihak melakukan ingkar janji (wanprestasi) atas perjanjian tersebut, maka pihak yang merasa dirugikan haruslah menempuh upaya hukum perdata.
"Hukum pidana itu bersifat ultimum remedium, sebagai upaya terakhir. Proses perdata terlebih dulu diselesaikan," tegas Suherman.
Menurutnya, promissory note telah diatur pula dalam pasal 174 KUHDagang. Jikapun ada promissory note yang dianggap tidak memenuhi unsur dalam pasal 174 tersebut, harusnya dibuktikan terlebih dahulu. Pembuktian promissory note yang dinilai tidak sah itu, mestinya ditempuh lewat mekanisme keperdataan, bukan lewat hukum pidana.
"Pembuktian kalau promissory note itu dinilai tidak sah karena tidak memenuhi pasal 174 KUHDagang, tidak serta merta dapat dikategorikan sebagai menyerupai simpanan, sebagai mana tuntutan jaksa menyebut melanggar pasal 46 ayat 1 Undang-undang Perbankan. Seharusnya, dilakukan pengujian lebih dulu melalui sengketa keperdataan. Bukan lewat jalur pidana. Sama halnya, pembatalan perjanjian atau perikatan yang telah dibuat, hanya dapat dibatalkan secara perdata pula. Karena memang promissory note merupakan bentuk perikatan yang bersifat perdata," tegas pengajar hukum perdata dan arbitrase ini.
Ia juga menegaskan, persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya. Dalam hal ini, kata Suherman, berlaku asas kebebasan berkontrak, asalkan tidak melanggar undang-undang, kebiasaan dan kepatutan.
"Parapihak harus menghormati isi perjanjian yang telah dibuat secara bersama antara parapihak tersebut. Jika ada pihak yang tidak melaksanakan kewajibannya, maka dapat ditempuh jalur perdata terlebih dahulu," kata Suherman.
Menurut Dr Suherman, janji bunga yang tertuang dalam promissory note yang mengalami gagal bayar, belum bisa dikategorikan sebagai sebuah peristiwa pidana. Hal tersebut dapat mengacu pada pasal 1767 BW, dimana salah satunya adalah bahwa bunga, yang merupakan unsur yang tercantum dalam perjanjian hutang piutang, dapat ditentukan oleh adanya persetujuan dua belah pihak yang membuat perjanjian.
"Dalam hal ini, penerima promissory note mendapat bunga dari apa yang tercantum dalam surat sanggup. Bunga yang diperjanjikan dalam surat sanggup tersebut merupakan hal yang lumrah. Sehingga sangat aneh apabila JPU menyebutkan karena adanya bunga menyebabkan surat sanggup tersebut menyerupai simpanan, sehingga bisa didakwa melanggar pasal 46 ayat 1 Undang-undang Perbankan. Kejadian penerbitan surat sanggup tersebut dikategorikan perjanjian yang diatur dalam KUHDagang sebagai perbuatan perdata," tegasnya.
Ia juga mempertegas kalau dalam penanganan promissory note berdasarkan kesepakatan dan perikatan perjanjian (akta) ketika terjadi wanprestasi (gagal bayar), maka hukum yang tepat adalah melalui ranah hukum perdata.
Ade Palti Simamora SH, tim penasihat hukum Fikasa Grup menyatakan, perkara Fikasa Grup sarat akan kriminalisasi hukum. Menurutnya, fakta persidangan dan sejumlah pendapat ahli telah menyebut kalau kasus itu adalah perdata. Namun, ia heran mengapa perkara itu dipaksakan naik ke pidana, sehingga menyebabkan kliennya Bhakti Salim cs harus menjalani proses hukum yang dinilainya tidak adil.
"Kami menunggu vonis hakim atas dugaan kriminalisasi hukum terhadap Fikasa Grup ini. Nasib ribuan karyawan dan juga mitra kreditur sedang dipertaruhkan dalam putusan majelis hakim besok," tegas Ade Palti. (*)