Ini Alasan Hakim Disebut Wakil Tuhan dan Dipanggil Yang Mulia, Meski Ada Juga yang Berbuat Tercela
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Sejak beberapa hari lalu, ribuan hakim di Indonesia melakukan aksi mogok sidang yang mereka sebut dengan istilah cuti massal. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk protes atas rendahnya penghasilan resmi yang mereka peroleh dari negara.
Di depan para anggota DPR, para hakim curhat soal gaji yang mereka terima diklaim terlalu rendah, tak sebanding dengan tanggung jawab dan tugas yang diemban. Bahkan juru bicara hakim yang mogok sidang menyebut, gaji mereka setara dengan uang jajan Rafathar, anak pesohor Raffi Ahmad.
Profesi hakim tergolong sebagai pejabat negara. Mereka sebenarnya menempati posisi yang terhormat (officium nobile) untuk menegakkan hukum dan keadilan lewat putusan yang mereka ketuk dengan palu sidang di pengadilan.
Di Indonesia, bahkan hakim sering disebut sebagai "wakil Tuhan". Namun sebenarnya, sebutan "wakil Tuhan" tidak muncul dalam peraturan resmi apa pun.
Istilah ini kemungkinan berakar dari Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa setiap putusan hakim harus mencantumkan irah-irah “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Irah-irah ini menggarisbawahi bahwa tanggung jawab hakim tidak hanya terbatas pada hukum dan masyarakat, tetapi juga kepada Tuhan.
Sebenarnya, julukan hakim sebagai 'wakil Tuhan' sudah terdapat jauh sebelum peradaban hukum modern saat ini. Misalnya saja dalam literasi kitab suci Alkitab, pengangkatan hakim dilakukan sebagai representasi dari Tuhan.
Pada era Perjanjian Lama dalam Alkitab, sejumlah hakim ditunjuk, sebelum adanya pengangkatan raja-raja di Israel kuno.
Kedudukan hakim di pengadilan sangat tinggi. Mereka memiliki wewenang untuk memutuskan perkara, dan siapa pun yang terlibat harus tunduk pada putusannya.
Hal ini menempatkan hakim seolah-olah sebagai perwakilan Tuhan dalam memutuskan kebenaran dan keadilan. Karena itu, hakim diberi gelar "Yang Mulia".
Meskipun dianggap sebagai wakil Tuhan, hakim tetap manusia biasa yang bisa membuat kesalahan, termasuk terlibat dalam tindak pidana. Dalam banyak kasus yang terjadi, sejumlah hakim Indonesia sering kedapatan berbuat tercela. Mulai dari kasus terlihat sebagai pemakai narkoba dan kasus perselingkuhan.
Bahkan, sejumlah hakim di Indonesia juga terjerat dalam kasus korupsi. Sekelas hakim agung yang sudah mendapat gaji besar saja, saat ini juga menjadi pesakitan kasus korupsi sebagai penerima suap.
Kewenangan hakim yang mutlak ini bisa membuat putusan hukum diperdagangkan dengan ukuran uang. Sehingga dasar putusan tidak lagi pada keyakinan dan alat bukti, namun didasari pada angka-angka dollar dan rupiah.
Untuk menjaga kehormatan profesi hakim, mereka diawasi oleh Komisi Yudisial yang memiliki tugas menjaga dan menegakkan kehormatan, martabat, serta perilaku hakim. Bersama Mahkamah Agung, Komisi Yudisial juga menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang berfungsi menjaga integritas hakim.
KEPPH ini berisi sepuluh prinsip dasar yang harus dipegang oleh hakim, antara lain berperilaku adil, jujur, bijaksana, mandiri, dan bertanggung jawab. Kode etik ini merupakan dasar yang mengikat perilaku hakim dalam menjalankan tugasnya, meskipun mereka dianggap sebagai wakil Tuhan.
Sebutan "Yang Mulia" untuk hakim memiliki akar sejarah. Di masa lalu, panggilan ini sering digunakan untuk orang-orang dengan garis keturunan kerajaan atau yang memiliki status sosial tinggi, termasuk hakim.
Meskipun panggilan ini seiring waktu mengalami penyesuaian, pada hakim sebutan "Yang Mulia" tetap dipertahankan sebagai bentuk penghormatan atas kedudukan mereka yang harus bersikap jujur, tidak memihak, dan dapat diandalkan.
Di Indonesia, tidak ada landasan hukum yang mengharuskan setiap orang, termasuk saksi, tersangka, jaksa, atau pengacara, untuk memanggil hakim dengan sebutan "Yang Mulia".
Namun, dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 19 Tahun 2009 tentang Tata Tertib Persidangan disebutkan bahwa setiap pihak wajib menunjukkan sikap hormat kepada hakim, termasuk dengan berdiri saat hakim masuk dan meninggalkan ruang sidang.
Meskipun tidak ada aturan eksplisit mengenai panggilan "Yang Mulia", beberapa pengadilan di Indonesia secara tegas mengimbau penggunaan sebutan tersebut. Sebutan "Yang Mulia" mungkin bukan keharusan formal, tetapi hal ini mencerminkan penghormatan terhadap peran hakim sebagai penegak keadilan yang bekerja dengan tanggung jawab moral kepada Tuhan. (R-03)