Meleset! DBH Kelapa Sawit Riau Tahun Depan Anjlok Dipangkas Setengah Cuma Rp 155 Miliar, Padahal Luas Kebun Tembus 3,4 Juta Hektare
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Di tengah euforia Pilkada, kabar buruk menerpa Provinsi Riau. Perolehan dana bagi hasil (DBH) Perkebunan Kelapa Sawit tahun 2025 anjlok tajam. Terjadi pemangkasan hampir lebih separuh dibanding yang diperoleh pada tahun 2024.
Berdasarkan data APBN 2025 yang diperoleh SabangMerauke News, perolehan DBH Perkebunan Kelapa Sawit Provinsi Riau tahun depan 2025 hanya sebesar Rp 155 miliar. Padahal, tahun 2024 ini, Provinsi Riau memdapat sebesar Rp 340 miliar lebih.
Perolehan DBH Kelapa Sawit yang dialami Pemprov Riau mengalami penurunan paling tajam. Pada tahun 2024, Pemprov Riau mendapat DBH Kelapa Sawit sebesar Rp 73,4 miliar. Namun, tahun depan Pemprov Riau hanya menerima cuma tinggal sebesar Rp 32,7 miliar, berkurang lebih dari separuh. Penurunan yang sama juga dialami oleh 11 kabupaten/kota di Riau.
Sebaliknya, Kabupaten Kepulauan Meranti justru mendapat kabar menyenangkan. Jika pada tahun 2023 dan 2024 Kepulauan Meranti tidak mendapat DBH Kelapa Sawit, maka di tahun 2025 kabupaten termuda di Riau ini akan menerima sebesar Rp 4 miliar lebih.
Berikut rincian penerimaan DBH Perkebunan Kelapa Sawit untuk jajaran Pemda di Provinsi Riau tahun 2025:
Provinsi Riau: Rp 32.744.763.000,-
Kabupaten Bengkalis: Rp 10.613.406.000,-
Kabupaten Indragiri Hilir: Rp 10.022.028.000,-
Kabupaten Indragiri Hulu: Rp 10.790.247.000,-
Kabupaten Kampar: Rp 17.426.431.000,-
Kabupaten Kuansing: Rp 10.236.513.000,-
Kabupaten Pelalawan: Rp 12.226.380.000,-
Kabupaten Rokan Hilir : Rp.9.830.714.000, -
Kabupaten Rokan Hulu: Rp 15.636.798.000,-
Kabupaten Siak: Rp 11.596.470.000,-
Kota Dumai: Rp 5.762.424.000,-
Kota Pekanbaru: Rp 4.207.891.000,-
Kabupaten Kepulauan Meranti: Rp 4.018.173.000,-
Total: Rp 155.112.238.000,-
Sebagai perbandingan, berikut rincian penerimaan DBH Kelapa Sawit untuk jajaran Pemda di Riau tahun 2024:
Provinsi Riau: Rp 73.434.754.000,-
Kabupaten Bengkalis: Rp 19.575.199.000,-
Kabupaten Indragiri Hilir: Rp 38.334.387.000,-
Kabupaten Indragiri Hulu: Rp 24.119.872.000,-
Kabupaten Kampar: Rp 32.317.551.000,-
Kabupaten Kuantan Singingi: Rp 15.015.686.000,-
Kabupaten Pelalawan: Rp 29.921.563.000,-
Kabupaten Rokan Hilir: Rp 34.709.777.000,-
Kabupaten Rokan Hulu: Rp 31.357.598.000,-
Kabupaten Siak: Rp 25.536.831.000,-
Kota Dumai: Rp 14.824.806.000,-
Kota Pekanbaru: Rp 11.684.385.000,-
Kabupaten Kepulauan Meranti: -
Total: Rp 340,76 miliar
Berikut rincian penerimaan DBH Kelapa Sawit untuk jajaran Pemda di Riau tahun 2023:
Provinsi Riau: Rp 83.132.939.000,-
Kabupaten Bengkalis: Rp 22.160.404.000,-
Kabupaten Indragiri Hilir: Rp 43.397.030.000,-
Kabupaten lndragiri Hulu: Rp 27.305.271.000,-
Kabupaten Kampar: Rp 34.756.301.000,-
Kabupaten Kuantan Singingi: Rp 16.998.738.000,-
Kabupaten Pelalawan: Rp 33.873.165.000,-
Kabupaten Rokan Hilir: Rp 39.293.736.000,-
Kabupaten Rokan Hulu: Rp 33.687.684.000,-
Kabupaten Siak: Rp 27.419.188.000,-
Kota Dumai: Rp 16.782.649.000,-
Kota Pekanbaru: Rp 13.227.487.000,-
Kepulauan Meranti: -
Jumlah: Rp 391,95 miliar
Penggunaan DBH Kelapa Sawit
Penggunaan DBH Kelapa Sawit tak boleh dipakai sembarangan. PMK Nomor 91 Tahun 2023 mengatur secara ketat pemakaian dana tersebut secara rinci.
Berdasarkan Pasal 16 PMK Nomor 91 Tahun 2023 disebutkan, DBH Sawit digunakan untuk membiayai dua kegiatan utama. Yakni pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan dan kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Adapun kegiatan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan terdiri atas penanganan jalan, meliputi rekonstruksi/ peningkatan struktur dan pemeliharaan berkala, pemeliharaan rutin. Sementara kegiatan penanganan jembatan meliputi rehabilitasi/ pemeliharaan berkala jembatan, penggantian jembatan, pembangunan jembatan.
Penanganan jalan yang didanai menggunakan DBH Sawit dilaksanakan dengan ketentuan yakni merupakan jalan kewenangan pemerintah daerah yang tercantum dalam surat keputusan kepala daerah.
Kegiatan diprioritaskan untuk jalan yang menjadi jalur logistik pengangkutan sawit dan jalan yang telah dilakukan survei kondisi jalan minimal 1 tahun sebelum pengusulan.
Berdasarkan Pasal 17 PMK Nomor 91 Tahun 2023 ditegaskan, penggunaan DBH Sawit untuk kegiatan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jumlahnya minimal 80 persen dari alokasi DBH Sawit per daerah provinsi dan
kabupaten/ kota.
Dengan demikian, dari sekitar Rp 340,76 miliar total DBH Sawit yang diperoleh jajaran pemda di Riau, maka minimal sebesar Rp 272,6 miliar harus dipakai untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur.
Sementara, sisanya 20 persen lagi DBH Sawit dapat dipergunakan untuk pendataan perkebunan sawit rakyat, penyusunan rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan, pembinaan dan pendampingan untuk sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
"Rehabilitasi hutan dan lahan dan perlindungan sosial bagi pekerja perkebunan sawit yang belum terdaftar sebagai peserta program jaminan sosial," demikian dikutip dari PMK Nomor 91 Tahun 2023.
Adapun kegiatan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan dari DBH Sawit harus dengan memenuhi ketentuan penanganan jalan berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di daerah. .
Jika terjadi kelebihan DBH Sawit, maka pemerintah daerah dapat mengalihkan kelebihan anggaran tersebut untuk kegiatan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan dan kegiatan lain sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah.
"Dalam pelaksanaan kegiatan DBH Sawit, kepala daerah membentuk sekretariat atau menunjuk koordinator pengelola kegiatan DBH Sawit dalam rangka koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kegiatan DBH Sawit di wilayahnya," demikian bunyi pasal 18 PMK Nomor 91 Tahun 2023 tersebut.
DBH Tak Setimpal Dampak Negatif Sawit
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 14,99 juta hektare pada 2022.
Berdasarkan wilayahnya, Riau menjadi provinsi yang memiliki perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia mencapai 3,4 juta hektare.
Itu artinya, dengan total penerimaan DBH sawit yang hanya sebesar Rp 155 miliar pada tahun 2025, maka rata-rata tiap kebun sawit di Riau dihargai besaran DBH sawit sekitar Rp 45 ribu per hektare.
Kerusakan Ekologi, Infrastruktur dan Buruh Murah
Keberadaan kebun kelapa sawit tentu saja memiliki dampak positif dari segi ekonomi, di antaranya menyerap tenaga kerja. Namun, soal ini masih bisa diperdebatkan. Faktanya, kehidupan pekerja sawit, khususnya buruh sawit masih jauh dari kata sejahtera. Kebijakan upah murah masih terus berlanjut di sektor kelapa sawit, termasuk minimnya perlindungan sosial yang diberikan.
Sementara, dampak negatif dari keberadaan perkebunan sawit secara signifikan memengaruhi penurunan kualitas ekologi, termasuk pemanasan global dan pencemaran lingkungan dari limbah-limbah yang dihasilkan industri kelapa sawit di Riau.
Pembukaan kawasan hutan secara ilegal untuk kebun kelapa sawit oleh individu masyarakat maupun kelompok tani dan koperasi yang kerap berkolaborasi (tameng) dengan korporasi sawit, telah menurunkan daya dukung lingkungan.
Selain itu, perkebunan kelapa sawit telah menjadi salah satu pemicu konflik agraria berkepanjangan dan tergerusnya ruang hidup komunitas adat terpencil (KAT) di Riau, sekaligus hilangnya tradisi budaya setempat.
Dampak lain yang sangat terasa saat ini yakni makin massifnya terjadi konflik antara satwa liar dilindungi dengan manusia, menyebabkan terancamnya populasi flora dan fauna yang kian menurun.
Pada sisi lain, keberadaan industri kelapa sawit dari hulu hingga hilir telah menyebabkan kerusakan infrastruktur yang massif oleh lalu lintas kendaraan pengangkut tandan buah segara (TBS), cangkang, maupun minyak sawit (CPO/ PKO) serta produk turunan lainnya.
Banyak jalan-jalan di provinsi Riau, baik jenis jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten/kota hingga jalan lingkungan di pelosok desa di Riau yang hancur.
Nah, dengan total DBH sawit sebesar Rp 155 miliar tersebut, sejumlah kalangan menilai angka itu tidak sebanding dengan dampak yang dihasilkan oleh industri perkebunan kelapa sawit di Riau. (R-03)