Anak Muda Indonesia Tak Minat Jadi Petani, Inilahnya Penyebabnya
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Jumlah pekerja di sektor pertanian Indonesia terus menurun dari tahun ke tahun. Alasannya, tak banyak generasi penerus di sektor pertanian.
Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov mengatakan, lapangan kerja sektor pertanian terus menyusut sejalan dengan turunnya kontribusi sektor ini terhadap produk domestik bruto (PDB).
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 1995 kontribusi sektor pertanian sebesar 17,1 persen terhadap PDB, terus menyusut hingga di 2015 menjadi 13,5 persen terhadap PDB dan di 2023 menjadi sebesar 12,5 persen terhadap PDB.
Dari sisi penyerapan tenaga kerja, pada 1995 pangsa tenaga kerja sektor pertanian mencapai 46 persen, dan kian berkurang menjadi sebesar 32,9 persen di 2015, serta di 2023 menjadi hanya sebesar 29,4 persen.
"Jadi dari tahun ke tahun, dari era periode pemerintahan ke pemerintahan lainnya, sektor pertanian kita terus menyusut terhadap PDB. Lapangan kerjanya juga terus menyusut," ujar Abra dalam webinar 'Penguatan Ketahanan Pangan dan Pengentasan Kemiskinan: Pekerjaan Rumah Pemerintah Prabowo-Gibran' dikutip Senin (23/9/2024).
Ia menuturkan, kondisi tersebut tak lepas dari rendahnya minat generasi muda untuk bekerja profesional di sektor pertanian. Justru, anak muda Indonesia saat ini lebih tertarik bekerja di bidang jasa.
Hal tersebut terlihat dari data pangsa tenaga kerja sektor jasa terus meningkat.
Pada 1995, pangsa tenaga kerja sektor ini sebesar 43,2 persen, lalu naik di 2015 menjadi sebesar 53,8 persen, dan di 2023 naik lagi menjadi 55,8 persen.
Menurut Abra, kondisi menyusutnya minat untuk bekerja di sektor pertanian disebabkan rendahnya kesejahteraan pekerja di sektor ini, sehingga banyak yang memilih bekerja di sektor yang lebih menjanjikan.
"Semakin hilangnya minat anak muda berkarya atau bekerja di sektor pertanian karena melihat begitu besarnya risiko di sektor ini, kesejahteraan tidak menjamin di sektor pertanian," ungkapnya.
"Sehingga sangat wajar ketika para tenaga kerja meninggalkan sektor pertanian dan beralih ke sektor lain, khususnya sektor jasa," lanjut Abra.
Dia mengatakan, tingkat kesejahteraan sektor pertanian terlihat dari pendapatan pekerjanya cenderung rendah dan di bawah rata-rata upah minimum regional (UMR).
Berdasarkan data sensus pertanian BPS, rata-rata pendapatan rumah tangga petani selama setahun sebesar Rp 25,56 juta, atau hanya sekitar Rp 2,21 juta per bulan.
"Jadi memang sangat-sangat minim kesejahteraan petani," pungkasnya. (R-03)