Bisnis Dagang Karbon di Indonesia Masih Loyo Tak Banyak Peminat, 2 Hal Ini Pemicunya
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Perdagangan karbon menjadi salah satu cara pemerintah dalam menekan emisi karbon. Meski begitu, realisasi perdagangan karbon Indonesia dinilai masih menghadapi tantangan.
Direktur Kepatuhan BRI Achmad Solichin Lutfiyanto menilai perdagangan karbon di Indonesia bukanlah pasar dengan jumlah transaksi besar atau likuid. Menurutnya, hal itu disebabkan karena dua faktor, yakni supply dan demand yang terbatas.
"Ya kan pertanyaannya adalah kenapa bursa karbon di Indonesia enggak likuid? Ya karena dua, supply-nya juga terbatas, demand-nya enggak ada. Kalau melihat yang beli bursa karbon siapa? Itu kan cuma BUMN-BUMN itu kan, kan enggak beli. BUMN itu nanti prosesnya ke depan ada lagi enggak? Ada, tapi limited," kata Achmad dalam acara diskusi, Sarinah, Jakarta, Kamis (12/9/2024).
Dia menjelaskan sebagian besar yang melakukan transaksi di bursa karbon dari sektor perbankan. Padahal emisi yang dikeluarkan perbankan tidak cukup besar dan bisa ditekan melalui penerapan ESG di kantornya.
"Siapa yang beli? Banyakan bank. Berapa sih emisi yang dikerjakan, yang dihasilkan oleh bank dari kantornya? Emisi itu kan juga bisa ditekan dari aktivitas bank itu sendiri gitu," katanya.
Dia menilai apabila ingin menarik market lebih banyak, harus melibatkan perusahaan-perusahaan yang mengeluarkan emisi karbon tinggi. Menurutnya, selama ini perusahaan yang mengeluarkan emisi besar itu belum melakukan transaksi di bursa karbon. Hal ini dapat diatasi dengan literasi dan ajakan dari pihak terkait.
"Kita buka pasar karbon dibuat siapa? Siapa demand? Siapa supply? Itu karena nggak clear pasarnya, nggak likuid. Pasarnya ya sudah biarkan seperti sekarang. Menambah supply, itu memang model bisnisnya butuh menghasilkan karbon besar kan harus. Nah, itu yang harus diedukasi supaya dia beli. Bukan, bank, ya kalau bank disuruh beli, ya beli aja gitu," terangnya. (R-03)