Fenomena Kader Berseberangan dengan Partai di Pilkada Kepulauan Meranti, Begini Kata Pengamat
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Fenomena banyaknya kader partai yang memilih berseberangan dengan partainya di Pilkada Kepulauan Meranti menambah dinamika politik daerah tersebut.
Hal ini tentu saja menciptakan dinamika baru dalam kontestasi politik lokal, terutama karena beberapa nama kader terkemuka dari partai-partai besar juga terlibat.
Beberapa kader partai justru mendukung pasangan calon yang tidak diusung oleh partainya, baik secara diam-diam maupun terang-terangan, meskipun mereka sadar akan konsekuensi sanksi yang mungkin dihadapi.
Sebut saja Didis Alamsyah dari PKS dan Hafizan Abbas dari PKB yang secara terbuka mendukung pasangan Masrul Kasmy dan Fauzi Hasan, yang didukung oleh PPP, PSI, dan partai lainnya. Hal ini tentu berseberangan dengan sikap PKS yang mendukung pasangan Mahmuzin Taher - Iskandar Budiman dan PKB yang mendukung pasangan Asmar dan Muzamil.
Hafizan Abbas, mantan Ketua DPC PKB Kepulauan Meranti, menegaskan bahwa keputusannya didasarkan pada keyakinan pribadi terhadap kemampuan Masrul Kasmy memimpin Kabupaten Kepulauan Meranti. Ia bahkan mengesampingkan potensi sanksi dari partai, dengan alasan bahwa ini bukan soal memilih bupati untuk PKB, melainkan bupati untuk seluruh masyarakat Kepulauan Meranti.
"Saya sampaikan bahwa saya memang kader PKB, tapi saya menginginkan orang yang mampu untuk memimpin Kabupaten Kepulauan Meranti ke depan. Yaitu adalah sosok Masrul Kasmy," ungkap Hafizan.
Hafizan menjelaskan, bahwa sikapnya tersebut merupakan sikap pribadi. Walaupun berseberangan dengan sikap partai yang menaunginya, Hafizan menjelaskan hal itu semata-mata demi Kabupaten Kepulauan Meranti.
"Karena sekarang kita tidak sedang mencari Bupati Kabupaten PKB, tapi mencari Bupati Kepulauan Meranti," tuturnya.
Terkait sanksi partai yang akan menanti, Hafizan mengaku tidak ambil pusing. Karena menurutnya pada Pilkada sebelumnya, banyak kader PKB yang tidak mendukung pasangan yang diusung saat itu. Bahkan hingga saat ini tetap menjadi pengurus.
"Tidak ada masalah, saya pikir biasa-biasa saja terkait hal itu," tuturnya.
Sikap serupa juga diambil oleh Heri Saputra, kader PDI Perjuangan yang memilih mendukung pasangan Asmar dan Muzamil, meskipun partainya telah mengusung pasangan Basiran dan Yulian Norwis. Heri Saputra menyatakan, bahwa dukungannya bukan berdasarkan kepentingan pribadi atau kelompok, melainkan demi keberlangsungan pembangunan di Kepulauan Meranti.
"Ini bukan bicara kepentingan individu atau kelompok kepentingan lain. Artinya dukungan ini murni untuk keberlangsungan dan keberlanjutan program pembangunan Meranti yang orientasinya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat Kepulauan Meranti," ujarnya.
Hery mengakui bahwa statusnya saat ini masih sebagai kader PDIP dan memiliki perbedaan pilihan dari bakal pasangan calon yang diusung oleh parpolnya. Ia pun siap menerima segala sanksi partai atas keputusan tersebut.
"Tentu saja ada konsekwensinya, kita siap dan menerima dengan segala apa yang telah menjadi peraturan organisasi," tuturnya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam Pilkada, pilihan kader partai tidak selalu sejalan dengan keputusan resmi partai, terutama ketika kader tersebut merasa pilihan pribadi mereka lebih sesuai dengan aspirasi masyarakat atau visi pembangunan daerah.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Politik Universitas Islam Riau (UIR), Dr. Panca Setyo Prihatin, yang juga dikenal sebagai pakar pemerintahan, menyatakan bahwa keputusan partai politik dalam mengusung kandidat calon gubernur, walikota, atau bupati harus lebih transparan dan jujur mendengarkan aspirasi akar rumput. Menurutnya, partai politik perlu memahami secara spesifik kepentingan masyarakat di daerah yang mereka wakili.
"Fungsi partai politik salah satunya adalah melakukan seleksi kepemimpinan. Proses seleksi ini seharusnya melibatkan aspirasi masyarakat serta membaca peluang menang dalam kontestasi politik. Sayangnya, kita harus jujur bahwa sangat sedikit partai politik yang benar-benar menjalankan fungsi pendidikan politik dengan sungguh-sungguh. Akibatnya, banyak partai yang cenderung menjadi partai massa ketimbang partai kader," ungkap Panca saat dikonfirmasi terkait fenomena pengusungan kandidat kepala daerah, Selasa (15/8/2024).
Panca menambahkan bahwa problem terbesar partai politik saat ini masih terletak pada sistem yang terlalu sentralistik. Semua keputusan berada di tangan Dewan Pimpinan Pusat (DPP), yang membuka peluang terjadinya politik transaksional.
Ia mencontohkan Partai Golkar sebagai salah satu partai besar yang kaya akan kader berkualitas, namun tetap bisa diintervensi oleh kekuasaan pusat.
Menurut Panca, penting bagi partai politik untuk lebih mendekatkan diri pada masyarakat dan benar-benar menjadi wadah yang membangun kepemimpinan, bukan sekadar alat untuk memenangkan kontestasi politik semata.
"Sudah banyak contoh yang menunjukkan bahwa parpol seringkali hanya berfungsi sebagai kendaraan politik untuk mendapatkan tiket dalam Pilkada. Setelah kontestasi selesai, partai kembali ke perannya sebagai instrumen demokrasi, tanpa ada konsistensi dalam pendidikan politik," pungkas Panca. (R-01)