Panitia Peneliti Kontrak Jalan Lingkar Bengkalis Tak Kenal Petrus Edy, Mirisnya Honor Ketua Cuma Rp 500 Ribu Sebulan
SabangMerauke News, Pekanbaru - Persidangan lanjutan kasus proyek jalan lingkar Pulau Bengkalis, kembali menghadirkan lima orang saksi, Selasa (22/3/2022) di Pengadilan Tipikor Pekanbaru. Kelima saksi yang dihadirkan jaksa KPK merupakan panitia peneliti pelaksana kontrak (P3K) proyek jalan yang telah sudah selesai dibangun pada tahun 2015 lalu tersebut.
Kelima saksi tersebut yakni Edi Sucipto, Raffiq Suhanda, Wandala Adi Putra, Tarmizi dan Syafrisan. Tarmizi menjabat sebagai ketua dan Syafrisan selaku sekretaris TP3.
Dalam keterangannya di sidang yang dipimpin ketua majelis hakim, Dr Dahlan SH, MH, para saksi menyatakan tidak mengenal Petrus Edy Sussanto (PES) yang merupakan salah satu terdakwa dalam perkara tersebut. Hanya Edy Sucipto yang mengaku pernah mendengar tentang PES.
PES adalah Wakil Ketua Dewan Direksi PT Wika-Sumindo yang menjadi kontraktor pembangunan jalan. Joint operation antara Wika-Sumindo memenangi tender proyek tahun jamak tersebut yang mulai dibangun sejak 2013 hingga selesai 2015.
PES merupakan Direktur PT Cemerlang Samudera Kontrindo (CSK) yang menggaet rekannya PT Sumindo bermitra dengan Wika dalam menggarap proyek jalan lingkar Pulau Bengkalis. Wika-Sumindo merupakan penawar terbaik proyek senilai Rp 395 miliar dari pagu anggaran Rp 429 miliar.
Para saksi juga menerangkan kalau PT CSK tidak masuk dalam daftar blacklist di Pemda Bengkalis. Termasuk juga PT Sumindo tidak ada dalam daftar hitam perusahaan yang pernah bermasalah.
Dalam persidangan tersebut juga terkuak hal yang miris. Yakni pengakuan saksi kalau ketua TP3 hanya menerima honor bulanan sebesar Rp 500 ribu. Dengan jumlah honor yang kecil tersebut, terpaksa mereka meminta uang akomodasi dari kontraktor.
Termasuk uang untuk membeli kopi dan gorengan saat kerja lembur dalam membuat saran dan telaah menerbitkan perubahan kontrak (addendum) pertama hingga ketiga. Para saksi juga kewalahan saat melakukan konsultasi ke LKPP di Jakarta karena anggaran yang sangat minim.
Tim penasihat hukum PES menyatakan, dari kesaksian para saksi telah membantah dakwaan terhadap PES yang dikenakan juncto pasal 55 KUHPidana. Soalnya, sama sekali tidak ada perintah dan peranan antara para saksi dengan PES.
"Tidak ada perintah dan peranan serta tidak saling tahu menahu dengan PES. Bahkan mereka tidak kenal, hanya satu saksi (Edi Sucipto, red) yang pernah mendengar soal PES," kata Yakubus Welianto SH, MH yang merupakan penasihat hukum PES.
Yakubus semakin meyakini kalau kliennya sama sekali tidak bersalah dalam proyek tersebut. Apalagi, proyek telah dikerjakan secara sempurna dan ketika diserah-terimakan pada 2015 lalu kepada Pemkab Bengkalis, tidak ditemukan adanya penyimpangan.
"Proyek yang sudah selesai dan dinikmati rakyat di Bengkalis selama 7 tahun, baru diungkit sekarang. Kami heran dan terus terang bingung dengan tuduhan adanya korupsi," kata Yakubus.
Ia menilai, dunia investasi akan terguncang dan rusak jika penegakan hukum kerap menyulitkan kontraktor. Padahal, Undang-undang nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi sudah tidak mengatur tentang tindak pidana konstruksi.
Menurutnya, dalam beleid tersebut sudah diatur tentang penyelesaian persoalan jasa konstruksi. Yakni soal adanya kesalahan yang diganjar dengan sanksi teguran, sanksi administrasi sampai dengan penetapan sebagai blacklist. Undang-undang pengganti UU nomor 18 tahun 1999 tersebut, memuat soal penyelesaian masalah jasa konstruksi ditempuh lewat jalur keperdataan.
"Kecuali memang terjadi tangkap tangan, maka itu menjadi domain aparat penegak hukum, termasuk KPK," jelas Yakubus.
Ia menegaskan, proyek jalan lingkar Pulau Bengkalis seharusnya menerapkan Undang-undang nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Soalnya, proyek ini digarap pada tahun 2013 hingga 2015.
Dalam pasal 43 UU tersebut, kata Yakubus secara tegas mengatur sanksi terhadap konsultan perencana yang salah diancam hukuman 5 tahun dan membayar ganti rugi sebesar 10 persen dari nilai kontrak. Sebaliknya, jika kesalahan dilakukan kontraktor pelaksana, maka diancam hukuman 5 tahun dan membayar ganti rugi sebesar 5 persen dari nilai proyek.
"Berdasarkan asas Lex posterior derogat legi priori, jika timbul persoalan hukum, maka hukum terbaru dan yang paling menguntungkan terdakwalah yang dipakai," pungkas Yakubus. (*)