Menguji 'Nyali' Hakim Dahlan Dkk di Perkara Promissory Note Fikasa Grup
SabangMerauke News, Pekanbaru - Pengadilan Negeri Pekanbaru dijadwalkan hari ini, Selasa (22/3/2022) akan menggelar sidang pembacaan putusan kasus surat sanggup bayar (promissory note) dengan terdakwa Bhakti Salim dkk. Setelah menjalani sebanyak 20 kali persidangan, perkara yang populer dengan sebutan kasus Fikasa Grup ini segera menemui titik terang.
Pergulatan serta dialektika maupun retorika hukum berlangsung sengit. Di dalam ruang sidang, debat antara tim penasihat hukum terdakwa dengan jaksa penuntut umum kerap terjadi. Yang bikin lebih panas, silang pendapat di luar persidangan lewat pemberitaan media juga tak kalah seru. Perang opini di media sulit dihindari.
Kasus ini memang seksi dan telah menjadi perhatian publik. Ketua majelis hakim, Dr Dahlan SH, MH sempat menyebut perkara ini rumit. Disidik oleh Bareskrim Mabes Polri dan dilimpahkan ke Kejaksaan Agung lalu diturunkan ke Kejari Pekanbaru. Belakangan, kasus ini pun ditangani oleh Kejati Riau. Wajar, banyak mata menyoroti perkara ini.
"Ini perkara yang rumit. Bareskrim yang menanganinya," kata Dahlan suatu ketika saat memimpin jalannya persidangan.
Dahlan adalah Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru. Bersama dua hakim anggota yakni Istiono dan Tommy Manik, perkara ini diadili ke meja hijau. Kini, putusan ada di tangan trio Yang Mulia itu.
Kita mencoba menafsirkan apa 'kerumitan' perkara yang pernah diucapkan oleh Dahlan tersebut. Bisa saja, itu tak melulu pada aspek teknis hukum, namun juga pada persoalan non teknis. Kalau soal aspek teknis hukum, sudah pasti semua hakim adalah jagonya. Sementara, faktor non teknis, banyak sekali pemicunya.
Perkara Fikasa Grup ini bisa jadi salah satu batu ujian untuk Dahlan. Mantan Ketua Pengadilan Negeri Kabanjahe ini tentu saja punya banyak pertimbangan dan kalkulasi. Setiap putusan yang dijatuhkan, punya konsekuensi.
Ikhwal soal surat sanggup bayar (promissory note) yang menjadi fokus perkara ini masih debatable. Ini bisa dilihat dari tuntutan jaksa yang hanya mengenakan pasal 46 ayat 1 Undang-undang Perbankan kepada 4 terdakwa bos Fikasa Grup. Di awal dalam surat dakwaannya, Bhakti Salim cs dikenakan pasal berlapis. Dua pasal lain yakni pasal 372 dan pasal 378 jo pasal 64 jo pasal 55 KUHPidana. Jangan lupa, perkara ini juga sudah disidik dengan tuduhan tindak pidana pencucian uang (TPPU) oleh Bareskrim Polri.
Jaksa meyakini kalau PN yang diterbitkan oleh Fikasa Grup tidak sesuai dengan ketentuan yakni dalam pasal 174 KUHDagang. Selain itu, jaksa juga telah mempersamakan PN Fikasa Grup sejenis deposito, sehingga harus mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dulunya berada dalam kewenangan Bank Indonesia.
Faktanya memang, Fikasa Grup tidak mengantongi izin OJK karena memang perusahaan tersebut bukan lembaga keuangan. Jaksa menuding kalau Fikasa Grup melakukan penghimpunan dana dari masyarakat secara ilegal.
Para ahli yang dihadirkan, baik oleh jaksa penuntut maupun pihak terdakwa berbeda pendapat sangat tajam. Sudah pasti, ahli yang disiapkan jaksa untuk memperkuat dalil-dalil dakwaan dan tuntutannya. Ahli dari pihak kejaksaan menyebut penerbitan PN oleh Fikasa Grup murni pidana karena tidak memiliki izin OJK.
Tapi, bantahan keras sudah disampaikan oleh pihak terdakwa. Empat ahli hukum dan perbankan papan atas dihadirkan dalam persidangan, salah satunya mantan Ketua PPATK, Yunus Husein. Keempat ahli menegaskan kalau perkara Fikasa Grup murni berada dalam lingkup hukum keperdataan. Tindakan membawa perkara ini ke ranah pidana tidak tepat dan cenderung sebagai praktik yang keliru dalam penerapan hukum.
PN Fikasa Grup disebut bukanlah sebagai produk perbankan. Serta bukan pula merupakan praktik penghimpunan dana (simpanan) seperti yang dilakukan oleh bank. PN adalah hubungan perjanjian utang-piutang antara kreditur dengan debitur.
Lagipula kata ahli, selama beberapa tahun para kreditur telah menerima hasil dari bunga pinjaman yang diberikan. Faktor adanya pandemi Covid-19 membuat kondisi usaha Fikasa Grup oleng, sehingga sejak Februari 2020 lalu tidak mampu lagi membayar bunga PN. Para terdakwa Bhakti Salim cs dalam pledoinya menyatakan, pandemi Covid-19 menjadi penyebab utama gagal bayar.
Ada fakta lain yang juga bisa jadi pertimbangan dalam kasus ini. Persoalan gagar bayar Fikasa Grup telah tuntas dalam gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tahun 2020. Hasilnya, para kreditur dan debitur sepakat menempuh jalan perdamaian. Proses homologasi juga sudah ada. Skema pembayaran berikut jaminan aset telah ditetapkan.
Jangan lupa, bahwa pelapor perkara ini yakni Archenius Napitupulu bersama 9 orang lainnya, awalnya disebut ikut sebagai kreditur konkuren dalam PKPU tersebut. Namun belakangan, kabarnya Archenius dkk mencabut keikutsertaan mereka secara sepihak. Adapun total kerugian yang diklaim oleh Archenius dkk yakni Rp 84,9 miliar.
Di balik perkara Fikasa Grup ini, sedikitnya ada 2 ribuan lagi kreditur yang menggantungkan nasib uangnya. Berdasarkan dua putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 5 Agustus 2020 lalu, nilai utang Fikasa Grup mencapai Rp 3,43 triliun dengan jumlah kreditur konkuren mencapai 2.285 orang.
Utang tersebut yakni dibebankan kepada PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) dan PT Tiara Global Propertindo (TGP). Kedua perusahaan afiliasi Fikasa Grup tersebut menjadi penerbit PN.
Dalam wawancara yang pernah dilakukan media ini, para kreditur lain sepakat menyelesaikan perkara ini secara perdata, yakni menindaklanjuti implementasi homologasi dari skema pembayaran cicilan utang yang sudah ditetapkan. Harapan mereka uang dapat dikembalikan meski dengan cicilan selama 5 tahun.
Para kreditur menilai upaya perdata itu lebih memberikan harapan. Mereka khawatir jika Bhakti Salim cs terbukti melakukan tindak pidana, maka seluruh aset perusahaan akan disita.
Penyitaan tersebut akan berujung pada pelelangan yang tentunya menyebabkan nilai aset jauh berkurang. Mereka juga trauma, manakala melihat putusan kasus perjalanan umroh First Travel yang memutuskan lelang aset terdakwa perkara itu disita oleh negara, bukan dikembalikan ke calon jemaah umroh.
Sejumlah perkara yang identik dengan Fikasa Grup mungkin tak tepat jadi perbandingan, namun tak salah jadi persandingan. Misalnya, putusan dalam kasus High Yield Promissory Notes (HYPN) yang diterbitkan oleh PT Indosterling Optima Investa (IOI).
Dalam kasus ini, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta pada Februari 2022 menetapkan putusan ontslag van rechtsvervolging terhadap Direktur Utama PT IOI, Sean Willian. Meski terbukti melakukan dakwaan jaksa, Sean dibebaskan dari tuntutan hukum. Majelis hakim menyatakan perkara tersebut adalah perdata, bukan pidana.
Ada pula kasus investasi Yalsa Boutique di Aceh dengan terdakwa Siti Hilmi Amirulloh dan Syafrizal. Dalam kasus yang disebut media sebagai investasi bodong senilai Rp 164 miliar ini, majelis hakim PN Banda Aceh juga menjatuhkan vonis ontslag pada Desember 2021 lalu. Hakim menyatakan kalau perkara tersebut adalah perdata.
Namun, satu perkara terkait promissory note memiliki putusan yang berbeda. Mantan Direktur Operasional PT Exist Assetindo, Rachmansyah Nasution pada Januari 2020 lalu dihukum 5 tahun penjara oleh majelis hakim PN Jakarta Selatan. Hakim menyatakan, penerbitan PN dengan total Rp 1,3 triliun tersebut menyalahi ketentuan pasal 46 ayat 1 Undang-undang Perbankan.
Penerbitan promissory note PT Exist oleh majelis hakim dinyatakan tidak mengantongi izin dari OJK. Belakangan, putusan ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada April 2020 lalu.
Cerita perkara Fikasa Grup segera akan menemui akhirnya di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Apakah perkara ini oleh majelis hakim dinyatakan terbukti pidana atau justru akan divonis ontslag. Kita lihat saja siang nanti. Ke arah mana palu hakim Dahlan akan diketuk. (*)