Lagi Tren Gunakan Pakaian Adat Daerah, Tapi Kondisi Masyarakat Adat Makin Memprihatinkan
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Peneliti antropologi, R. Yando Zakaria menyebut, gerakan masyarakat adat saat ini tengah berada dalam kondisi yang memprihatinkan.
Pernyataan itu Yando kemukakan dalam bedah buku “Adat, Kelas, dan Indigenitas” yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) bekerja sama dengan Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA).
Yando mengungkapkan, dalam bukunya itu, ia memotret pergulatan gerakan masyarakat adat sejak 1992 sampai hari ini.
“Gerakan masyarakat itu berada dalam situasi titik di mana menurut saya Ini betul-betul memprihatinkan,” kata Yando di kantor Huma, Jakarta, Jumat (16/8/2024).
Yando mengatakan, sejak pertemuan Toraja pada 1992 yang menjadi tonggak gerakan masyarakat adat sampai hari ini, berbagai kelompok masih berselisih.
Perselisihan itu hanya lebih berkutat pada penggunaan terma ‘masyarakat adat’, ‘masyarakat hukum adat’, maupun ‘indigenous people’ (orang pribumi). “Jadi perdebatannya 20-30 tahun itu terus. Kita mau masyarakat adat atau enggak,” ujar Yando.
Peneliti itu mengungkapkan, dalam bukunya ia menyebut terma yang dinilai dibutuhkan dan bisa menaungi banyak kelompok adalah ‘masyarakat hukum adat’, sesuai nomenklatur yang diamanatkan pasal 18 B Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945.
Pengertian masyarakat adat, kata Yando, bisa dibangun tidak dengan menyerap konsep indigenous people yang diberlakukan lembaga-lembaga internasional.
Sebab, konsep indigenous people tersebut memuat paham atau wacana yang dinilai justru mengingkari kepentingan masyarakat adat itu sendiri.
Konsepsi tersebut justru membuat sejumlah pemangku otoritas di Indonesia maupun pihak terkait bersikap defensif terhadap upaya pengakuan masyarakat adat.
“Jadi sebenarnya terma masyarakat adat itu bisa diadopsi tapi bukan dalam kerangka menerjemahkan istilah masyarakat indigenous people sebagaimana yang ditafsirkan selama ini,” tutur dia.
Selain persoalan terma, Yando juga memotret bagaimana perjuangan masyarakat adat agar mendapatkan pengakuan secara hukum dari pemerintah.
Selama ini, pendekatan yang dilakukan kelompok gerakan masyarakat adat maupun pemerintah lebih pada orientasi “mengakui subyek”.
Pendekatan ini mencakup perdebatan siapa masyarakat adat, siapa masyarakat hukum adat, dan kriteria mereka.
Dalam persoalan ini, ia mengusulkan agar para pihak menggunakan pendekatan obyek dengan cara memberi pengakuan atas hak-hak masyarakat adat, seperti mengakui suatu tanah ulayat maupun kepercayaan dalam beragama sebagai hak kelompok adat tertentu.
“Subyek itu sudah tuntas, sudah selesai melalui konstitusi.Yang belum ada caranya adalah bagaimana mengatur tanah masyarakat adat, hutan masyarakat adat, apa namanya pengetahuan umum, pengetahuan tentang hasil tenun masyarakat adat dan lain sebagainya,” kata dia.
Berkaca dari situasi yang memprihatinkan, ia menilai perbedaan-perbedaan pandangan dalam gerakan masyarakat adat perlu didukung argumentasi yang tidak hanya bersifat politis, tapi juga akademis.
Yando mengatakan, melalui buku ini ia mencoba membangun argumentasi yang menjadi landasan kenapa perubahan paradigma dalam persoalan masyarakat adat dibutuhkan.
“Saya mencoba membangun argumentasi mengapa perubahan paradigma itu kita butuhkan ke depan,” ujar dia.
Dalam forum yang sama, Staf Khusus Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Rinto Tri Hasworo mengatakan, buku Yando menjelaskan bagaimana produk hukum yang ada belum banyak berdampak positif terhadap masyarakat adat.
Rinto mengatakan, dalam buku terbitan KPG tersebut Yando menjelaskan terdapat sekitar 30 undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang mengatur masyarakat adat. “Itu lebih banyak mengandung pengertian atau sekadar menyebut,” ujar dia.
Ketua Adat Divonis 2 Tahun
Tren penggunaan simbol-simbol adat kini marak terjadi. Misalnya saja dalam peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke 79 Kemerdekaan Republik Indonesia pada Sabtu (17/8/2024) saat ini, dimana banyak orang yang menggunakan pakaian adat daerah.
Di satu sisi, penggunaan pakaian adat itu memunculkan rasa bangga sebagai masyarakat berbudaya, sekaligus mempopulerkan tradisi lokal. Namun, kasus-kasus yang menimpa masyarakat adat dalam mempertahankan tanah ulayatnya masih sangat miris.
Yang terbaru dialami oleh Sorbatua Siallagan, Ketua Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan. Oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Simalungun, Sorbatua dijatuhi vonis 2 tahun penjara atas tuduhan pengerusakan dan pembakaran di lahan konsesi milik perusahaan Toba Pulp Lestari (TPL) yang berada di wilayah adat Ompu Umbak Siallagan, Kecamatan Dolok Pangribuan, Kabupaten Simalungun.
Pada sidang yang berlangsung Rabu (14/8/2024) lalu, Sorbatua Siallagan divonis hukuman dua tahun penjara serta denda sebesar satu miliar rupiah, dengan ketentuan subsider enam bulan penjara.
Sidang ini dipimpin oleh Hakim Ketua Deasy Ginting, dengan anggota majelis hakim Agung Laia dan Anggreana Sormin. Pengamanan ketat mengiringi jalannya persidangan. Sejak pagi hari, ratusan masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan menggelar demonstrasi di depan PN Simalungun, menuntut pembebasan Sorbatua Siallagan dan keadilan bagi masyarakat adat.
Dalam putusan yang dibacakan, hakim anggota Agung Laia mengeluarkan dissenting opinion atau pendapat berbeda. Dia menyatakan bahwa Sorbatua tidak bersalah dalam kasus ini. Namun, suara mayoritas majelis hakim tetap memutuskan Sorbatua Siallagan bersalah dan menjatuhkan hukuman sesuai dengan dakwaan.
Penasihat hukum Sorbatua Siallagan, Boy Raja Marpaung, menyatakan pihaknya akan berdiskusi dengan keluarga untuk mempertimbangkan pengajuan banding atas putusan tersebut.
Boy Raja Marpaung menilai bahwa Sorbatua Siallagan seharusnya dibebaskan dari segala tuntutan hukum, dengan merujuk pada kasus serupa yang divonis bebas oleh Mahkamah Agung dalam perkara masyarakat adat di Nusa Tenggara Timur yang melibatkan Mikael Ane, terkait dengan penggunaan Undang-Undang Cipta Kerja.
Kasus ini menarik perhatian publik, terutama kalangan masyarakat adat yang merasa hak-hak mereka terancam oleh aktivitas perusahaan besar di wilayah mereka. (R-04)