Tangis Fatmawati Ketika Menjahit Bendera Merah Putih Saat Hamil Tua, Bahan Kain dari Perwira Jepang
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Kisah awal mula bendera pusaka Merah Putih diwarnai drama tangis. Sosok Fatmawati merupakan aktor sejarah kemerdekaan yang menjadikan Merah Putih bisa berkibar di awal kemerdekaan 17 Agustus 1945. Di balik bendera pusaka, terdapat usaha keras Fatmawati untuk menyelesaikannya.
Fatmawati lahir pada 5 Februari 1923 di Bengkulu. Ia memulai pendidikan formalnya pada umur 6 tahun di sekolah formal Angka II selama satu tahun. Lalu pada tahun 1930, ia pindah ke sekolah Angka I yang dikenal luas sebagai Hollandsch Inlandsche School (HIS).
Karena kondisi ekonominya kurang baik, ia harus pindah ke Palembang dan tidak melanjutkan sekolahnya.
Awal mula ia mengenal Soekarno adalah ketika Soekarno bersama istrinya, Inggit Garnasih, dan dua anak angkatnya tiba di Bengkulu dalam pengasingan pada 14 Februari 1938.
Dilansir dari tulisan karya Anshar Prayudhi yang berjudul Fatmawati, Putri Muhammadiyah Sang Penjahit Bendera Pusaka, dari sekian ratus tokoh pejuang bangsa Indonesia, tidak ada yang pernah memikirkan arti sebuah bendera bagi kemerdekaan bangsa.
Belum pernah ada klaim dari salah seorang pejuang yang mempersiapkan bendera negara kecuali Fatmawati. Dan ia pun disebut sebagai pembuat dan penjahit pertama Sang Saka Merah Putih.
Proses Penjahitan Bendera Merah Putih oleh Fatmawati
Fatmawati membuat dan menjahit bendera merah putih sepulang dari pengasingan Soekarno di Bengkulu dan memulai kehidupannya lagi di Jakarta.
Awalnya, pembuatan bendera ini merupakan permintaan dari Shimizu, seorang perwira Jepang sekaligus kepala barisan propaganda Gunseikanbu. Permintaan itu sesuai dengan 'janji kemerdekaan' yang dinyatakan oleh Jepang pada September 1944.
Dengan demikian, rakyat diberi izin untuk mengibarkan bendera merah putih agar berdampingan dengan bendera Jepang di hari-hari besarnya, seperti dikutip dari buku Menyelisik Museum Istana Kepresidenan Jakarta oleh Dr Kukuh Pamuji MPd MHum.
Ia menjahit di rumah Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta, tepatnya depan kamar tidur, yaitu di ruang makan.
Kala itu, Fatmawati tengah mengandung putra sulungnya, yaitu Guntur Soekarnoputra. Di usia kandungannya yang tua, ia masih memaksakan diri untuk menjahit bendera.
Ia menjahit dalam keadaan fisik yang cukup rentan dan membasahi bendera yang tengah dijahit dengan air matanya. Karena keadaan fisiknya tersebut dan ukuran bendera yang besar, bendera itu selesai dalam waktu dua hari.
Bendera merah putih itu dijahit menggunakan mesin jahit bermerek Singer yang dioperasikan hanya menggunakan tangan. Mesin jahit tersebut terbuat dari tahun 1941 dan terletak di rumahnya di Bengkulu.
Alasan Fatmawati menggunakan mesin jahit ini adalah dokternya yang melarang menjahit menggunakan kaki untuk menggerakkan mesin jahit.
Alhasil pada tanggal 17 Agustus 1945, bendera merah putih berukuran 2x3 meter dikibarkan saat kemerdekaan diproklamasikan.
Tentang Bendera Pusaka
Kala itu, untuk memperoleh bahan kain untuk membuat bendera yang pantas untuk dikibarkan sangat sulit. Sehingga Shimizu memerintahkan seorang perwira untuk mengambil kain merah dan putih berbahan halus sejenis primissima secukupnya kepada Fatmawati.
Kain tersebut diperoleh dari gudang di Jalan Pintu Air, Jakarta Pusat lalu diantar ke Pegangsaan oleh Chairul.
Kain bendera merah putih itu terbuat dari bahan wool dari London dengan ukuran 2 m x 3 m. Akan tetapi karena di masa lalu bendera itu sering dicuci, sehingga ukurannya mengerut hingga 274 x 196 cm.
Sejak proklamasi kemerdekaan, bendera merah putih hasil jahitan Fatmawati selalu dikibarkan di pekarangan rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56.
Pada tahun 1969, dibuat duplikat bendera merah putih dari sutera alam. Sementara itu, bendera asli disimpan di Istana Kepresidenan Jakarta bersama teks proklamasi kemerdekaan RI, furniture, dan koleksi benda seni lainnya seperti patung dan lukisan.
Tepatnya disimpan di ruang khusus, yaitu Ruang Penyimpanan Bendera Pusaka. Sejak 20 Mei 2007, bendera pusaka dipindah dan disimpan di Monumen Nasional.
Kini, bendera itu menjadi benda cagar budaya berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 003/M/2015 tentang Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih Sebagai Benda Cagar Budaya. (R-03)