Apa Hubungan Airlangga Hartarto dengan Dugaan Korupsi Minyak Goreng?
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Airlangga Hartarto sedang disorot karena keputusan mendadak mundur sebagai Ketua Umum Golkar. Pengunduran diri ini disebut-sebut terkait dengan kasus korupsi izin ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya yang tengah diselidiki oleh Kejaksaan Agung.
Lebih dari tujuh pengurus Golkar mengungkapkan kepada media bahwa sebelum keputusan tersebut, Airlangga menerima surat pemanggilan dari Kejagung untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus korupsi yang melibatkan Kementerian Perdagangan periode 2021-2022.
Seorang pengurus Golkar menjelaskan bahwa pemanggilan Airlangga sebagai saksi bertujuan untuk mengklarifikasi keterlibatannya dalam kasus tersebut.
Namun, situasi menjadi lebih rumit ketika muncul ancaman penggeledahan dan penjemputan paksa jika Airlangga tidak segera mengajukan surat pengunduran diri. Pengurus Golkar lainnya mengungkapkan bahwa pada Sabtu, 10 Agustus, Airlangga diperintahkan untuk membuat video pengunduran diri untuk menghindari tindakan tegas dari pihak kejaksaan.
"Kejaksaan Agung mengirim surat hari Sabtu. Sorenya, (Airlangga) diperintahkan buat video pengunduran diri. Kalau enggak, nanti rumahnya digeledah, (Airlangga) langsung dibawa. Makanya, Sabtu malam mau-enggak-mau buat surat pengunduran diri,” ujar sumber tersebut.
Awal Mula Kelangkaan Minyak Goreng
Kasus korupsi minyak goreng yang melibatkan Airlangga Hartarto berawal dari kelangkaan minyak goreng yang terjadi pada akhir 2021 hingga awal 2022. Saat itu, harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO), bahan baku utama minyak goreng, mengalami lonjakan akibat invasi Rusia ke Ukraina yang berdampak pada pasokan minyak dan gas global.
Dikutip dari media, sebagai negara produsen CPO terbesar di dunia, Indonesia seharusnya tidak mengalami kelangkaan minyak goreng. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, minyak goreng menjadi barang langka di pasar.
Pemerintah kemudian merespons situasi ini dengan berbagai kebijakan. Pada Januari 2022, Menteri Perdagangan saat itu, Muhammad Lutfi, menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 Tahun 2022 yang menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng kemasan sederhana (MGKS).
Namun, kebijakan tersebut gagal mengatasi kelangkaan. Kebijakan lainnya yang diterapkan, seperti larangan terbatas ekspor CPO dan domestic market obligation (DMO), juga tidak berhasil menormalkan pasokan minyak goreng di pasar.
Perusahaan Kelapa Sawit
Dalam perkembangan penyidikan, terungkap bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah justru menguntungkan perusahaan-perusahaan kelapa sawit besar, seperti Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group.
Kejaksaan Agung menemukan bahwa ketiga perusahaan ini lebih memilih mengekspor CPO daripada memenuhi kebutuhan domestik, yang berkontribusi pada kelangkaan minyak goreng. Akibatnya, mereka ditetapkan sebagai tersangka korporasi dalam kasus ini pada Juni 2023.
Lebih lanjut, penyidik menemukan bahwa Airlangga Hartarto, sebagai Menteri Koordinator Perekonomian yang juga Ketua Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), memiliki peran dalam kebijakan yang menguntungkan perusahaan-perusahaan kelapa sawit tersebut. BPDPKS yang mengelola dana pungutan ekspor sawit sempat disinyalir terlibat dalam penyaluran dana subsidi yang tidak tepat sasaran.
Para Terdakwa
Dalam proses hukum yang berjalan, beberapa pejabat tinggi dan pengusaha telah dijatuhi hukuman atas keterlibatan mereka dalam kasus korupsi ini. Di antaranya adalah mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardhana, serta anggota Tim Asistensi Menteri Koordinator Perekonomian, Lin Che Wei.
Menurut media, Lin Che Wei disebut-sebut berperan sebagai penghubung antara pengusaha kelapa sawit dengan Airlangga Hartarto dan Muhammad Lutfi. Penyidik Kejaksaan Agung menyoroti peran Airlangga dan Lutfi dalam menentukan kebijakan yang terkait dengan minyak goreng.
Dalam kesaksian Lin Che Wei pada Juni 2022, terungkap bahwa Airlangga diduga mempengaruhi kebijakan-kebijakan tersebut, sementara Lutfi berperan sebagai eksekutor kebijakan. Meskipun hingga kini belum ada bukti bahwa Airlangga Hartarto menerima keuntungan finansial dari kasus ini, kebijakan-kebijakannya cenderung berpihak pada pengusaha sawit.
Kasus ini masih terus bergulir, dengan penyidik berupaya mengungkap lebih jauh keterlibatan Airlangga dan Lutfi dalam skandal minyak goreng yang telah merugikan negara triliunan rupiah. (R-04)