Parpol Asal Pilih Paslon Kepala Daerah di Pilkada 2024, Cuma Berdasarkan Selera dan Desain Elite
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Sikap elit partai politik dikritik keras dalam proses pengajuan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah di Pilkada 2024 tahun ini. Mayoritas partai politik dianggap tengah merusak diri sendiri karena dinilai serampangan dalam menentukan kriteria seorang kandidat buat diusung.
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menyatakan, pada saat ini tidak terdapat standarisasi yang jelas dalam pencalonan kepala daerah.
“Kalau kita lihat sekarang, enggak ada standarisasinya. Seseorang yang bisa dicalonkan partai, tidak ada standar yang jelas, tidak ada mekanisme pencalonannya, tidak ada kualifikasi yang jelas,” kata Arya dalam konferensi pers di Kantor CSIS, Jakarta Pusat, Kamis (8/8/2024) lalu.
Menurut Arya, kebijakan partai yang seperti itu sama saja tidak memberi pendidikan politik yang baik bagi rakyat.
Selain itu, kata Arya, dengan tidak menerapkan standarisasi dalam memilih, menentukan, dan mengusung seorang kandidat calon kepala daerah maka perlahan-lahan bakal menggerogoti proses demokrasi.
“Dan ini tentu saya kira tidak baik juga untuk proses regenerasi dan juga demokrasi kita,” ujar Arya.
Sebagaimana diketahui, ada potensi munculnya kotak kosong pada Pilkada Jakarta 2024 jika Anies Baswedan gagal maju sebagai calon gubernur (cagub), mengingat beberapa partai pendukungnya bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus.
KIM merupakan gabungan partai-partai politik pendukung pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Sementara itu, KIM Plus memunculkan nama mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil untuk diusung maju pada Pilkada Jakarta.
Peluang kotak kosong tak hanya terjadi di Pilkada DKI Jakarta, namun juga beberapa kabupaten/ kota dan provinsi lainnya. Sebut saja, di Pilkada Bengkalis 2024 yang berpotensi memunculkan satu paslon, karena hampir seluruh parpol pemilik kursi di DPRD Bengkalis mengusung satu paslon kandidat yakni Kasmarni-Bagus Santoso.
Selain itu, di Pilkada Sumatera Utara, kandidat petahana Edy Rahmayadi kesulitan untuk mendapatkan perahu partai politik. Beruntung, PDI Perjuangan kemarin telah memberikan penugasan kepada Edy untuk bertarung di Pilkada Sumut, menghadapi Boby Nasution, menantu Presiden Jokowi yang memborong banyak partai.
Arya Fernandes menilai, pencalonan kepala daerah lebih banyak dipengaruhi oleh elite partai politik daripada konsensus publik.
“Kalau kita lihat proses pencalonan itu lebih banyak dipengaruhi oleh konsensus elite, bukan konsensus publik. Jadi bagaimana elite mendesain si A maju di sini, si B maju di sini, si C maju di sini, jadi sangat dipengaruhi oleh konsensus elite, bukan konsensus publik,” ujar Arya.
“Dan ini tentu saya kira tidak baik juga untuk proses regenerasi dan juga demokrasi kita,” kata dia.
Dalam kesempatan yang sama, peneliti CSIS Nicky Fahrizal menyoroti mobilisasi massa untuk menekan lawan politik dan mendukung agenda politik tertentu.
“Nah saya ingin menitikberatkan pada istilah eksploitasi hukum atau ketentuan hukum,” kata Nicky.
Nicky memberikan contoh Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang berusaha membangun koalisi solid untuk Pilkada DKI Jakarta 2024.
“Menarik PKB, Nasdem, maupun PKS ke dalam KIM sehingga menjadi KIM Plus. Itu adalah contoh bagaimana eksploitasi terhadap ketentuan hukum,” kata Nicky.
“Apa dampaknya? Dampaknya adalah yang publik lawan adalah kotak kosong, calon tunggal. Tentu saja ini menjauhi marwah dari Pilkada sebagai pesta demokrasi di daerah, seperti kita ketahui bahwa Pilkada itu adalah kompetisi gagasan dan inovasi,” tutur dia. (R-04)