Minim Promosi dan Pengelolaan, Pariwisata Kepulauan Meranti Dianggarkan Miliaran Jadi Terabaikan
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Kabupaten Kepulauan Meranti belum memiliki beragam objek wisata yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi destinasi andalan. Objek wisata buatan yang ada, meski memiliki daya tarik, kondisinya kini terbengkalai dan kurang mendapat perhatian. Padahal, jika dikelola dengan baik, objek wisata ini bisa mendatangkan wisatawan dari luar daerah dan menambah pemasukan bagi pendapatan asli daerah (PAD).
Pembangunan fasilitas penunjang pariwisata di Kepulauan Meranti telah menghabiskan banyak anggaran, namun hasilnya belum optimal. Beberapa contoh pembangunan yang telah dilakukan antara lain Pengembangan Kawasan Destinasi Wisata Tasik Nambus di Desa Tanjung Darul Takzim yang mendapat kucuran anggaran dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2020 sebesar Rp1,5 miliar. Selanjutnya pembangunan Kawasan Ekowisata Hutan Mangrove menggunakan DAK Fisik tahun 2019 di Desa Anak Setatah dan Desa Bokor, Kecamatan Rangsang Barat sebesar Rp. 698.880.651,00.
Kemudian ada Destinasi Wisata Mangrove Jembatan Pelangi di Dusun II, Desa Banglas, Kecamatan Tebingtinggi, yang dibangun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) tahun 2019 sebesar Rp381 juta lebih, begitu juga Jembatan Saka Raja di kawasan Mangrove Desa Sesap, Kecamatan Tebingtinggi, yang dibangun menggunakan APBDes tahun 2020 sebesar Rp290.927.000. Kondisinya sudah hancur pada tahun 2022 lalu.
Begitu juga destinasi di desa lainnya yang dibangun menggunakan APBDes seperti Desa Ketapang, Tenggayun Raya, yang saat ini kondisinya juga terbengkalai.
Menanggapi hal ini, Ketua Komisi III DPRD Kepulauan Meranti, Sopandi Rozali, menilai bahwa pariwisata Meranti mengalami penurunan drastis. Hal ini disebabkan oleh minimnya promosi dan ketidakefektifan dinas terkait dalam mengelola potensi yang ada.
"Tak hanya minim promosi, Pemkab Kepulauan Meranti dan OPD terkait dinilai tak jeli melihat peluang dalam memajukan pariwisata di kota sagu ini," ujar Sopandi.
Sopandi, yang dikenal sebagai sosok yang membawa nama Bokor hingga ke kancah internasional, mengaku kecewa dengan arah pengembangan pariwisata Kepulauan Meranti saat ini. Ia melihat pariwisata Meranti saat ini jauh menurun dan menilai Pemkab Meranti lewat dinas pariwisatanya tidak jeli melihat potensi pengembangan pariwisata. Padahal, secara geografis, Meranti berbatasan langsung dengan Kepulauan Riau, Malaysia, hingga Singapura, namun potensi tersebut gagal dimaksimalkan.
Sopandi menambahkan bahwa selain minim promosi, banyak potensi iven pariwisata yang sudah tak terdengar seperti keindahan sejumlah tasik, Jung Titis di Pulau Merbau, Lari di Atas Tual Sagu di Bokor, Mendongkah di Tanjung Pisang, dan Festival Sagu di Sungai Tohor. Kini, gaungnya kian terlupakan padahal iven tersebut memiliki potensi besar untuk dikembangkan dan berdampak positif terhadap pelaku ekonomi kreatif, UKM, serta masyarakat jika dikelola dengan baik.
Ia juga menekankan bahwa iven skala kecil perlu rutin digelar guna mempromosikan potensi kearifan lokal Meranti ke warga luar serta mampu memaksimalkan iven yang sudah dikenal seperti Festival Perang Air. Dengan demikian, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh warga kota Selatpanjang, namun juga di sejumlah pulau lainnya di Kepulauan Meranti. (R-01)