SPR Surati Disdik Pekanbaru, Desak Peka Soal Dugaan Bisnis Buku LKS dan Seragam Sekolah Mahal yang Meresahkan Masyarakat
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Sinergi Pemuda Riau (SPR) mendesak Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Pekanbaru agar peka terhadap keresahan masyarakat atas praktik dugaan bisnis buku LKS dan seragam siswa. SPR telah melayangkan surat tertulis ke Disdik Pekanbaru agar segera mengambil tindakan keras yang konkret.
"Selain mengirimkan surat ke Kepala Disdik Pekanbaru, kami juga telah membentuk Tim Investigasi untuk mengumpulkan informasi dan fakta-fakta terkait dugaan praktik bisnis buku LKS dan seragam sekolah yang masih terus berlanjut sampai saat ini," kata Ketua SPR, Randi Syaputra pada Jumat (2/8/2024).
Menurut Randi, pihaknya membentuk Tim Investigasi karena sampai saat ini tidak ada respon yang nyata dari Disdik Pekanbaru. Ia menjelaskan, Tim Investigasi akan bergerak ke lapangan, menyelidiki kebenaran aduan orang tua murid mengenai jual beli buku LKS dan baju seragam dengan harga tidak wajar. Karena di dalamnya ada dugaan praktik imbal jasa (pembagian) yang melibatkan oknum-oknum tertentu," tegas Randi.
Menurutnya, meski Disdik Pekanbaru sudah menerbitkan surat edaran larangan sekolah memperjualbelikan buku LKS, namun dalam praktiknya hal tersebut masih terjadi. Memang, penjualan buku LKS tidak langsung dilakukan oleh pihak sekolah, tapi seakan-akan ada pihak ketiga yang dilibatkan.
"Misalnya, siswa diarahkan membeli buku LKS pada toko di depan atau belakang kompleks sekolah. Ini sepertinya untuk mengesankan seakan-akan pihak sekolah tidak terlibat," kata Randi.
Ia mengeritik Disdik Pekanbaru yang sekadar hanya menerbitkan surat edaran larangan menjual buku LKS di sekolah. Namun, tidak mengawasi implementasi dari surat edaran tersebut.
"Disdik jangan hanya berdalih sudah membuat surat edaran, kemudian kesannya lepas tangan, buang badan tanpa melakukan pengawasan lebih lanjut," tegas Randi.
Menurutnya, informasi dari orangtua atau wali siswa dan lembaga-lembaga sosial kontrol, harusnya menjadi dasar utama bagi Disdik untuk merespons cepat dengan membuat Tim Investigasi untuk memeriksa seluruh sekolah.
"Tapi kesannya macam tak peduli. Ada apa ini?," ujar Randi dengan ekspresi kesal.
SPR, kata Randi, berkomitmen menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif dan bebas dari praktik yang merugikan masyarakat. Termasuk praktik komersialisasi pendidikan yang membebani masyarakat di tengah kampanye pendidikan gratis yang kerap dikoar-koarkan.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru, Abdul Jamal menyatakan bahwa sikap dari Disdik Kota Pekanbaru secara internal sudah mengingatkan pihak sekolah dengan membuat surat edaran kepada kepala sekolah (Kepsek).
"Kalau sikap dari dinas, secara internal kami sudah mengingatkan dengan surat edaran ke Kepsek," terang Abdul Jamal kepada SabangMerauke News via pesan WhatsApp.
Abdul Jamal yang merupakan orang nomor satu di lingkungan Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru tersebut, mengatakan akan memanggil Kepsek yang tidak mematuhi surat edaran larangan penjualan buku LKS.
"Nanti akan kita tindak lanjuti. Terutama membantu siswa miskin dan memanggil Kepsek yang tidak mematuhi surat edaran kita," tegasnya.
Heboh Bisnis Buku LKS
Sebelumnya diwartakan, kalangan orang tua dan wali murid di sekolah Kota Pekanbaru resah dengan praktik jual beli buku Lembar Kerja Siswa (LKS). Yang bikin miris, harga penjualan buku LKS tersebut dinilai sangat mahal dan mencekik ekonomi masyarakat.
Sejumlah orangtua dan wali murid menyampaikan curhatnya kepada SabangMerauke News, Rabu (31/7/2024) ikhwal terus berlanjutnya praktik jual beli buku LKS ini. Dagang buku LKS ini, seolah telah menjadi kelaziman yang terjadi di setiap awal semester dan tahun ajaran baru di sekolah negeri milik pemerintah.
"Setiap semester beli paket LKS. Harganya sampai ratusan ribu. Katanya sekolah gratis itu?" keluh JP, orangtua murid, Rabu (31/7/2024) lalu.
JP mempertanyakan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang harusnya bisa dipakai untuk pengadaan LKS.
"Kalau memang buku LKS dianggap penting, kenapa tidak dibeli menggunakan dana BOS?," ujar JP yang meminta namanya dirahasiakan.
JP juga mempertanyakan soal rincian biaya pendidikan yang digratiskan oleh pemerintah.
"Katanya negara sudah hadir menggratiskan pendidikan. Tapi oknum-oknum yang tidak punya malu, ada saja caranya bagaimana kami orang tua siswa mengeluarkan uang," kritik JP.
Berencana Lakukan Unjuk Rasa
JP menegaskan, ia bersama kaum emak-emak orang tua siswa lainnya akan melakukan aksi demonstrasi ke Pj Wali Kota Pekanbaru, jika Dinas Pendidikan tidak peka terhadap keluhan orang tua siswa. Apalagi harga buku LKS yang didagangkan tersebut sangat mahal.
"Kalau Dinas Pendidikan tidak merespon keluhan masyarakat ini, kami akan datang demonstrasi ke Bapak Pj Wali Kota Risnandar Mahiwa. Kami akan sampaikan soal jual beli buku LKS ini. Sepertinya ada udang di balik bakwan. Biar kami tahu juga sikap Pak Pj Wali Kota kita nih. Biar jelas semuanya," pungkas JP.
AN, orangtua siswa lainnya, meminta kepada Dinas Pendidikan betul-betul menjalankan fungsi pengawasan terhadap sekolah yang merupakan tanggung jawab kewenangannya. Ia menilai Disdik hanya sekedar membuat surat edaran larangan jual beli LKS di sekolah, namun seakan tidak melihat bahwa buku LKS dijual di toko depan sekolah dengan kertas list nama yang lengkap.
"Sudahlah, jangan berpura-pura, masyarakat tidak bodoh, LKS itu ada profit untuk oknum sekolah atau bukan? Kok Gacor sekali menjualnya," ujar AN.
AN meminta Dinas Pendidikan dan otoritas terkait lainnya benar-benar serius mengawasi dan memberantas komersialisasi pendidikan saat ini.
"Jangan bebani masyarakat lagi, kondisi ekonomi sangat sulit," tegasnya.
Belum Lagi Beli Seragam Sekolah
Mateg, orangtua siswa lainnya mengaku dirinya harus menyisihkan pendapatan untuk membeli kebutuhan sekolah anaknya. Selain membeli buku, kantongnya juga harus dirogoh dalam-dalam untuk membeli baju seragam sekolah.
Mateg mengeluhkan harga LKS makin naik. Ia membeli buku LKS tahun ajaran baru ini di harga Rp 162 ribu. Paket LKS itu terdiri atas sebanyak 9 buku LKS dan dibeli di toko dekat sekolah anaknya. Itu artinya harga per buku LKS mencapai Rp 18 ribu.
"Ini sangat terasa mahal. Apalagi untuk dua anak saya, maka biayanya dikali dua," bebernya.
Mateg juga ikut mengekritik surat edaran Dinas Pendidikan yang melarang LKS dijual di sekolah. Namun praktiknya, buku LKS dijual di dekat sekolah. Ia mengaku terpaksa membeli buku LKS tersebut karena khawatir anaknya tertinggal pelajaran di sekolah.
"Semoga Dinas Pendidikan bisa mendengar keluhan kami. Kasihan kami harus berpikir keras untuk biaya LKS setiap semesternya. Semoga ada ketegasan soal LKS ini," ujar Mateg. (KB-03/Adri)