Jadi Tersangka Kasus 'Lord Luhut, Ini yang Dilakukan Haris-Fatia Sebelum Tempuh Praperadilan
SabangMerauke News, Jakarta - Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti telah ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik dari laporan Luhut Binsar Pandjaitan. Keduanya mengambil ancang-ancang mengajukan gugatan praperadilan status tersangka.
Pengacara Haris Azhar, Nurkholis Hidayat, mengatakan pihaknya akan mengambil beberapa langkah sebelum menempuh praperadilan. Langkah itu salah satunya terkait pengajuan saksi dan saksi ahli yang lebih independen.
"Dalam konteks hak tersangka tentunya kami akan tetap minta adanya saksi-saksi yang meringankan, ahli-ahli yang lebih independen, akuntabel yang harus diperiksa oleh kepolisian yang bermuara pada kesimpulan, review pada kejelasan ada-tidaknya tindak pidana pada kasus ini," kata Nurkholis dalam konferensi virtual, Sabtu (19/3/2022).
Nurkholis mengatakan, jika mekanisme tersebut buntu, langkah praperadilan-lah yang akhirnya akan diambil oleh Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti.
"Jika semua mekanisme internal ini tidak berjalan efektif, kami akan hadapinya di proses persidangan di pengadilan dan kami akan ajukan praperadilan," katanya.
Selain itu, Nurkholis mempertanyakan sikap kepolisian yang dianggap mengabaikan bukti-bukti yang diajukan kliennya terkait hasil riset yang menyangkut nama Luhut Binsar Pandjaitan. Padahal, saat itu, dalam temuan riset mereka yang telah diserahkan ke polisi, ada bukti temuan keterlibatan Luhut dalam bisnis tambang di Papua.
"Klien kami sudah sampaikan bukti dan keterangan lain yang mengungkap setidaknya ada conflict of interest di bisnis tambang dan mobilisasi militer di sana. Itu keluar dalam proses verbal dalam klarifikasi selama ini," jelas Nurkholis.
"Tentu, ketika suatu proses penyelidikan polisi dapatkan adanya tindakan pidana lain yang lebih jelas bahwa seharusnya polisi menyidiknya dan memprioritaskannya. Jadi dalam konteks ini seharusnya melakukan penyelidikan terhadap orang-orang atau pihak yang terlibat, termasuk dugaan di sini juga dilakukan LBP sebagaimana yang dimuat riset itu," tambahnya.
Fatia Sebut Polisi Standar Ganda
Sementara itu, Fatia menilai adanya standar ganda dalam penanganan kasus yang menjerat dirinya dan Haris Azhar. Fatia menyebut kritikan yang ia sampaikan kepada pemerintah justru dibalas kriminalisasi.
"Kita lihat ada gejala standar ganda bahwa ketika pejabat publik yang diduga manipulasi atau kebohongan, nggak dibalas dengan hal serupa atau diuji kebenarannya. Tapi, saat masyarakat berikan kritik atau riset, malah dikriminalisasi," kata Fatia.
Fatia lalu membandingkan penanganan kasus yang melibatkan aparat penegak hukum. Dia menilai penegakan hukum cenderung tumpul ketika terlapor merupakan bagian dari penegak hukum itu sendiri.
"Dalam hal ini berbanding terbalik misalnya dalam isu-isu penyiksaan oleh aparat itu jarang yang masuk ke ranah hukum pidana. Pelaku tetap bebas dan bahkan kalau mau tarik ke belakang, para terduga pelanggaran HAM berkeliaran dan isi posisi strategis di pemerintah," jelas Fatia.
Haris Azhar Sebut Aparat Miskin Integritas
Sementara itu, Haris Azhar menilai adanya persoalan integritas dalam penanganan kasus ini. Menurutnya, aparat menunjukkan kemiskinan integritas dalam menangani persoalan yang ada.
"Jadi proses ini menunjukkan ada kemiskinan integritas dalam cara negara menangani situasi, mengabaikan lapangan, menolak fakta, dan ingin memenjarakan messenger-nya dalam hal ini saya dan Fatia," katanya.
Menurutnya, ada beberapa laporan yang disampaikan oleh pihaknya ke polisi, namun tidak jalan, sementara laporan Luhut diprioritaskan.
"Ini terbukti juga dalam institusi penegak hukum, terutama Polda Metro Jaya, kita punya banyak laporan yang dilayangkan ke polisi, tapi nggak jalan. Tapi saat kasus dilaporkan oleh menteri koordinator itu, kasus jadi prioritas. Di KUHAP, kami nggak dapat ukuran prioritas. Apakah penanganan prioritas berdasarkan kemewahan si pelapor atau suatu kehancuran dalam proses tindak pidana? Kenapa situasi buruk Papua direspons dengan ditambahnya tentara, ditambah dengan konsesi bisnis. Ini double standard atau diskriminasi," beber Haris. (*)