Kasus Suap PT Adimulia Agrolestari: BPN Harus Hentikan Seluruh Proses HGU Perkebunan Lainnya di Riau!
SabangMerauke News, Pekanbaru - Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/ BPN) diminta untuk menghentikan seluruh proses perizinan hak guna usaha (HGU) perkebunan di Riau. Desakan tersebut menyusul terungkapnya kasus suap perpanjangan HGU PT Adimulia Agrolestari yang menyeret Bupati Kuansing non-aktif, Andi Putra dan petinggi perusahaan tersebut. Fakta persidangan juga mengungkap adanya dugaan aliran dana ke sejumlah pejabat BPN di Riau.
Diketahui, saat ini Kementerian ATR/ BPN juga tengah memproses perizinan dan perpanjangan HGU perkebunan di Riau, selain yang diajukan oleh PT Adimulia Agrolestari.
"Kasus dugaan suap perpanjangan HGU PT Adimulia Agrolestari mempertontonkan praktik suap menyuap penyelenggara negara secara telanjang dan memalukan di sektor perizinan agraria. Apakah hal begini harus dibiarkan berlanjut?" kata Dr Elviriadi MSi dalam pembicaraan dengan SabangMerauke News, Jumat (18/3/2022) malam kemarin.
Elviriadi menjelaskan, seharusnya Kementerian ATR/ BPN dan jajarannya segera menghentikan seluruh proses penerbitan maupun perpanjangan HGU perkebunan di Riau. Ia khawatir, praktik kotor yang sama juga terjadi pada pengurusan HGU perkebunan yang saat ini sedang berlangsung.
"Hentikan seluruh proses HGU yang ditangani BPN di Riau saat ini. Kita khawatir terjadi juga praktik yang sama modusnya. Menteri harus menghentikan hal ini," tegasnya.
Ia menegaskan, proses penerbitan maupun perpanjangan HGU semestinya dilakukan lewat mekanisme public hearing yang luas dan transparan. Penetapan HGU tak boleh berlangsung dalam ruang-ruang gelap terbatas karena berpotensi menjadi ajang transaksional sumber daya alam agraria kepada oknum-oknum tertentu pemegang otoritas.
"BPN harus terbuka, jujur dan transparan dalam proses HGU yang menjadi kewenangannya. Wajib hukumnya digelar public hearing. Bukan sekadar menonjolkan kewenangan otoritas lembaga," tegasnya.
Ia mendesak agar BPN membuka data-data proses pengajuan dan perpanjangan HGU yang berada di wilayah Riau.
"Agar rakyat dapat mengontrolnya. Agar lahan rakyat tidak di-HGU-kan sehingga memunculkan konflik agraria dengan korporasi pemegang HGU. Sudah saatnya HGU di Riau dievaluasi secara total dan kredibel," tegas Elviriadi.
Apalagi kata Elviriadi, penerbitan HGU berdampak strategis dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Konsekuensi terbitnya HGU sangat besar karena kewenangan pengelolaan lahan yang diberikan dalam jangka panjang hingga puluhan tahun lamanya.
"HGU bukan kertas biasa. Tapi, dampaknya sangat strategis dan jangka panjang. Sekali terjadi kesalahan dalam penerbitan HGU, maka hak rakyat untuk mengelola lahan akan hilang dalam jangka waktu lama," tegasnya.
Ia juga menyinggung komitmen dan bela rasa pejabat-pejabat di Riau yang terkesan menutup diri soal keberadaan HGU perkebunan. Semestinya, kehadiran unsur pemerintah daerah dalam Panitia B saat proses pengajuan HGU, memiliki manfaat dan dapat berperan dalam mengontrol pemberian HGU kepada korporasi.
"Bukan sebaliknya seperti yang terungkap dalam kasus PT Adimulia Agrolestari. Pejabat daerah terkesan justru bersekongkol dengan perusahaan dan mengabaikan hak rakyatnya sendiri. Ini sangat ironis sekali dan sangat memalukan. Malu kita mendengar ada bagi-bagi amplop yang tak seberapa isinya kepada oknum-oknum pejabat itu," pungkas doktor ilmu lingkungan ini.
Dalam kasus suap PT Adimulia Agrolestari (AA), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih menetapkan dua orang tersangka. Yakni General Manager PT AA, Sudarso yang sudah dituntut hukuman 3 tahun penjara sebagai pemberi suap.
Sementara, Bupati Kuansing non-aktif, Andi Putra sebagai terdakwa penerima suap kasusnya pekan lalu sudah mulai disidangkan di Pengadilan Tipikor Pekanbaru. Andi Putra didakwa telah menerima dugaan suap sebesar Rp 500 juta dari janji sebesar Rp 1,5 miliar.
Pemberian uang tersebut diduga kuat terkait rencana penerbitan surat rekomendasi penempatan kebun plasma PT AA di Kabupaten Kampar, kendati ribuan hektar kebun PT AA berada di wilayah Kabupaten Kuansing. (*)