Mengenal Profesi Mediator: Membangun Jalan Damai dalam Penyelesaian Konflik
SabangMerauke News - Kendati di Indonesia belum ada undang-undang khusus tentang profesi mediator, namun profesi ini telah tumbuh berkembang di berbagai bidang kehidupan. Mahkamah Agung bahkan secara pro aktif membuat ketentuan tentang sertifikasi profesi mediator untuk menghasilkan tenaga mediator bersertifikat yang bisa berpraktik mediasi di dalam pengadilan dan di luar pengadilan.
Mediator bersertifikat yang lulus pelatihan dan ujian sertifikasi dapat membuka kantor praktik sendiri seperti layaknya profesi advokat, dokter, notaris dll. Dan juga bisa menjadi mediator non hakim di pengadilan negeri dan pengadilan agama seluruh Indonesia.
Uniknya, profesi mediator bisa dari berbagai latar belakang pendidikan, bahkan bisa tokoh komunitas, seperti tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda/ perempuan, ormas/ OKP/ LSM, dan lain sebagainya.
Profesi mediator dikembangkan Mahkamah Agung RI (baca: PERMA 1/2016) untuk membantu mewujudkan penyelesaikan perkara secara cepat, sederhana dan berbiaya ringan. Dan yang tidak kalah penting yaitu untuk menumbuh-kembangkan mekanisme musyawarah untuk mufakat yang merupakan akar budaya bangsa dalam sila ke 4 Pancasila.
Secara umum mediasi oleh mediator juga sesungguhnya telah diatur dalam Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Selain itu, mediasi telah menjadi mekanisme resmi dalam penyelesaian sengketa di banyak sektor, seperti keuangan dan perbankan, ketenagakerjaan, pertanahan, kehutanan, lingkungan hidup, medik/ kesehatan, pemilu/ pilkada, sengketa informasi publik, hak asasi manusia, pengadaan barang dan jasa, jasa konstruksi, sengketa hak kekayaan intelektual (paten, merk, rahasia dagang, hak cipta, dll), sengketa konsumen, sengketa pemberitaan pers, dan masih banyak lagi.
Dalam kasus pidana, mediasi dengan pendekatan restoratif justice juga sudah menjadi arus utama di kepolisian dan kejaksaan dalam perkara delik aduan, terutama dalam tindak pidana ringan, kekerasan dalam rumah tangga, dan perkara pelaku/ korban anak bawah umur.
Secara global, tepatnya pada Agustus 2019 lalu, telah lahir Konvensi PBB tentang Mediasi atau dikenal juga dengan nama Singapore Convention yang ditandatangi oleh 46 negara. Konvensi ini digagas oleh lembaga PBB yang mengurus soal pedagangan (UNCITRAL) dan Menteri Hukum Singapura.
Di tingkat lokal, saya yakin kita juga dapat menemukan dalam keseharian bahwa mekanisme penyelesaian berbasis hukum adat dan kebiasaan, juga sejak dulu telah berkembang pendekatan mediasi, negosiasi, fasilitasi dan arbitrase di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Bahkan yang tak kalah penting, nilai-nilai penyelesaian sengketa secara damai juga dapat ditemukan dalam ajaran berbagai agama di Indonesia.
Sebuah pernyataan bijak menyebutkan "keadilan hakiki/ teragung bagi para pihak bersengketa adalah perdamaian". Selain dapat memulihkan hubungan, perdamaian juga dipercaya cara tercepat mende-eskalasi dendam dan sakit hati.
Untuk dunia bisnis tentu penyelesaian model mediasi juga dirasa lebih cocok, terbukti di Singapura yang menurut data statistik keberhasilan mediasi mencapai 90 persen. Semoga Indonesia dapat mengikuti jejak Singapura dan negara-negara maju yang sukses memberdayakan mediasi sebagai mekanisme penyelesaian sengketa. Salam mediator. Salam damai dan harmoni. (*)
Penulis: AHMAD ZAZALI, Praktisi Mediator dan Advokat, Ketua PURAKA-Dispute Resolution School dan Direktur Eksekutif IMN