Gugatan Yayasan Wasinus vs PT Berau Coal Terkait Tambang Batu Bara di Hutan Penelitian Labanan Didukung Masyarakat, FPK Demo di PN Tanjung Redep
SABANGMERAUKE NEWS, Kaltim - Perjuangan Yayasan Wahana Sinergi Nusantara (Wasinus) dalam mempertahankan keberadaan Hutan Penelitian Labanan di Berau dari ancaman eksploitasi baru bara, mendapat dukungan masyarakat. Elemen masyarakat yang menamakan dirinya Front Pemuda Kaltim (FPK) menilai langkah Yayasan Wasinus yang menggugat PT Berau Coal di Pengadilan Negeri Tanjung Redep sebagai tindakan penyelamatan hutan dan kehidupan.
FPK bahkan telah menunjukkan solidaritasnya terhadap Yayasan Wasinus dengan melakukan unjuk rasa damai di depan Pengadilan Negeri Tanjung Redep, Rabu (24/7/2024). Demonstrasi ini digelar bersamaan dengan sidang perdana gugatan Yayasan Wasinus terhadap PT Berau Coal serta Menteri ESDM dan Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan (LHK) sebagai Turut Tergugat.
"Kami hadir di sini untuk memberikan dukungan moral dan semangat atas perjuangan Yayasan Wasinus yang menggugat PT Berau Coal. Bahwa tambang batu bara, terlebih dilakukan di Hutan Penelitian Labanan, tidak saja menjadi ancaman bagi lingkungan, namun juga ancaman terhadap eksistensi kemanusiaan," tegas Koordinator Lapangan Front Pemuda Kaltim (FPK), Ayatullah Khomaini kepada media, Rabu siang.
FPK menilai, perjuangan lewat gugatan hukum Yayasan Wasinus adalah jalan terbaik dalam mempertahankan Hutan Penelitian Labanan. Itu sebabnya, FPK mengingatkan majelis hakim yang menyidangkan perkara tersebut, menggunakan hati nurani yang tulus, agar nantinya putusan yang dijatuhkan bisa berpihak pada lingkungan dan masyarakat.
"Kami minta agar majelis hakim tegak lurus pada hati nurani dan memeriksa dengan seksama serta jernih seluruh bukti-bukti yang disampaikan oleh Yayasan Wasinus," tegas Ayatullah.
Ia menegaskan, FPK akan konsisten mengawal jalannya persidangan hingga putusan akhir dibacakan oleh majelis hakim. Menurutnya, persidangan ini sangat penting karena menyangkut nasib masyarakat dan kelestarian hutan.
"Kami menaruh harapan pada putusan yang berpihak pada lingkungan dan masyarakat. Kami akan kawal terus dalam setiap persidangan," tegas Ayatullah.
Dalam persidangan perdana Rabu kemarin, perusahaan tambang batu bara PT Berau Coal, Menteri ESDM serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) kompak mangkir. Ketiganya tak menghadiri persidangan, hingga majelis hakim memutuskan persidangan ditunda untuk dua pekan ke depan.
Kuasa hukum Yayasan Wasinus, Ahmad Joni SH, MH menerangkan, sidang ditunda hingga 7 Agustus 2024 mendatang. Ahmad menanggapi santai ketidakhadiran PT Berau Coal, Menteri ESDM dan Menteri LHK dalam persidangan perdana tadi pagi.
"Kita menghormati mekanisme dan ketentuan dalam persidangan. Gugatan ini sangat penting karena menyangkut hak publik dan ancaman akan kelestarian hutan. Pada saatnya nanti, mereka (para pihak) akan datang," kata Ahmad Joni kepada media usai sidang.
Yayasan Wasinus menggugat perusahaan pertambangan batu bara PT Berau Coal ke Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Redep. Langkah hukum Yayasan Wasinus ini ditempuh karena berdasarkan investigasi yang dilakukan, PT Berau Coal diduga kuat telah melakukan aktivitas pertambangan batu bara di dalam Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Labanan atau yang populer disebut Hutan Penelitian Labanan di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
Gugatan Yayasan Wasinus terhadap PT Berau Coal ini didaftarkan ke PN Tanjung Redep pada 5 Juli 2024 lalu. Adapun perkara teregister dengan nomor: 28/Pdt.Sus-LH/2024/PN Tnr.
Yayasan Wasinus juga menyeret Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masing-masing sebagai Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II.
Isi Gugatan Yayasan Wasinus
Berdasarkan dokumen surat gugatan yang diperoleh, Yayasan Wasinus yang dikenal aktif dan konsisten melakukan gugatan terhadap pelaku pengrusakan lingkungan hidup ini, mengungkap bahwa telah terjadi pembukaan pertambangan batu baru di dalam kawasan Hutan Penelitian Labanan.
Yayasan Wasinus menemukan telah terjadi pembukaan areal pertambangan batu baru pada 9 lokasi di KHDTK Labanan. Setidaknya, aktivitas itu terjadi pada 3 kecamatan yakni Kecamatan Sambaliung, Teluk Bayur dan Kelay yang berada di Kabupaten Berau, Provinsi Kaltim.
Bahkan, temuan lapangan menemukan adanya pemasangan sejumlah tanda merek (plang) bertuliskan 'Objek Vital' sebagai wilayah PKP2B atas nama PT Berau Coal dengan nomor: PKP2B 178.K/40.00/DJG/2005. Plang tersebut memuat tulisan Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM serta logo PT Berau Coal.
"Milik Negara, Dilarang Memindahkan," demikian tulisan pada bagian bawah plang tersebut.
Belakangan, plang tersebut kabarnya telah dicopoti, menyusul viralnya pemberitaan tentang gugatan serius ini.
Ketua Tim Hukum Yayasan Wasinus, Surya Darma, SAg, SH, MH menyebut, luas KHDTK Labanan mencapai 7.959,1 hektare. Penetapannya berdasarkan Surat Keputusan Menteri LHK nomor: SK.64/Menhut-II/2012 pada tanggal 3 Februari 2012.
Ia menjelaskan, proses penetapan KHDTK Labanan sesungguhnya memiliki dimensi global (internasional). Sebab, diawali oleh kerjasama pemerintah Indonesia melalui Badan Litbang Kehutanan dan Inhutani I dengan pemerintah Perancis lewat proyek Silviculture Techiquo for Regeneration of Logged Over Area in East Kalimantan yang dikenal dengan proyek STREK yang berakhir pada tahun 1996 lalu.
"Selanjutnya proyek tersebut dilanjutkan bekerja sama dengan Uni Eropa melalui proyek Berau Forest Management Project (BFMF)," tulis Yayasan Wasinus dalam surat gugatannya.
Surya menerangkan, keberadaan KHDTK Labanan sangat strategis terhadap kepentingan umum, sebagai penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta kepentingan regili dan budaya. Apalagi, KHDTK Labanan adalah miniatur hutan tropis dataran rendah dengan keragaman biodiversiti tertinggi.
Berdasarkan data komplikasi hasil eksplorasi, pada kawasan ini ditemukan lebih dari 58 family (150 genius) flora, 23 jenis mamalia, 89 jenis burung serta 40 jenis Herpetefauna. Selain itu terdapat pula berbagai jenis ekosistem gua yang merupakan objek penelitian dan pengembangan yang sangat penting dan menarik.
"Dengan demikian, kegiatan pertambangan yang dilakukan PT Berau Coal pada KHDTK Labanan yang merupakan objek sengketa, telah melanggar kepentingan umum, berpotensi merusak lingkungan dan kekayaan biodiversiti flora dan fauna yang terdapat di dalamnya," terang Surya Darma.
Ia menyebut, pembukaaan pertambangan batu bara di KHDTK Labanan selain telah merusak hutan alam, namun juga telah mengambil kekayaan sumber daya alam di bawah hutan, tanpa mampu mengembalikan kawasan hutan sebagaimana mestinya, meski ada janji klaim dilakukan reklamasi pasca tambang.
Surya menegaskan, meski objek sengketa masuk dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT Berau Coal, namun tidak serta merta perusahaan bisa membuka areal pertambangan dan memporak-porandakan KHDTK Labanan.
Pihaknya juga mempertanyakan soal pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan pada KHDTK Labanan oleh Menteri LHK kepada PT Berau Coal.
"Izin pinjam pakai kawasan hutan untuk keperluan pertambangan batu bara tersebut jelas telah mengakibatkan rusaknya kawasan hutan KHDTK Labanan, sehingga berdasarkan asas In Dubio Pro Natural, izin pinjam pakai kawasan hutan tersebut harus dinyatakan tidak berkekuatan hukum yang mengikat," jelas Yayasan Wasinus dalam gugatannya.
Itu sebabnya, Yayasan Wasinus dalam gugatannya turut menyeret keterlibatan Menteri LHK dalam pemeriksaan perkara yang akan dilakukan majelis hakim PN Tanjung Redep. Menteri LHK diseret sebagai pihak Turut Tergugat I.
Sementara, Menteri ESDM yang telah menerbitkan segala perizinan PT Berau Coal di areal KHDTK Labanan juga turut ditarik dalam gugatan ini sebagai pihak Turut Tergugat II.
Minta Pengadilan Hentikan Kegiatan Pertambangan
Dalam provisi gugatannya, Yayasan Wasinus meminta majelis hakim untuk menghentikan kegiatan pertambangan batu bara yang dilakukan oleh PT Berau Coal, meskipun perkara ini belum berkekuatan hukum tetap.
Sementara, dalam gugatan primairnya, Yayasan Wasinus meminta seluruh gugatannya dikabulkan oleh majelis hakim. Selain itu, majelis hakim diminta untuk menyatakan bahwa PT Berau Coal telah melakukan perbuatan melawan hukum.
"Menyatakan semua perizinan pertambangan batu bara Tergugat (PT Berau Coal) tidak berkekuatan hukum sepanjang terhadap kegiatan di atas objek sengketa. Menghukum Tergugat untuk menghentikan seluruh kegiatan pertambangan batu bara (eksplorasi dan eksploitasi) di atas objek sengketa," demikian gugatan Yayasan Wasinus.
Yayasan Wasinus juga meminta majelis hakim menghukum PT Berau Coal membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 100 juta setiap harinya, apalagi perusahaan lalai melaksanakan putusan yang diminta oleh Yayasan Wasinus.
"Menghukum Turut Tergugat I (Menteri LHK) dan Turut Tergugat II (Menteri ESDM) untuk tunduk dan patuh pada putusan ini," demikian gugatan Yayasan Wasinus.
Manajemen PT Berau Coal telah dikonfirmasi soal gugatan Yayasan Wasinus ini via surat elektronik sejak beberapa hari lalu. Namun, hingga berita ini dikirimkan, belum ada respon balasan dari perusahaan batu bara tersebut. (R-03)