Utak-atik Hutan Untuk Tambang di Ujung Masa Jabatan, Gugatan Hukum Yayasan Wasinus Jadi Lonceng Penyelamatan Hutan Tersisa
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Kampanye pemerintah untuk melestarikan hutan tersisa perlu dipertanyakan. Di tengah tekanan global yang kian kuat atas isu keberlanjutan lingkungan dan perubahan iklim, laju pemanfaatan hutan untuk kegiatan tambang justru makin agresif.
Jargon hutan adalah kita sekadar cuap-cuap belaka. Jangankan untuk merehabilitasi hutan kritis, niat mempertahankan hutan tersisa kini justru terkikis habis. Jargon hutan merupakan paru-paru dunia, kita telah digilas oleh ragam kepentingan oligarki, khususnya yang bermain di sektor pertambangan.
Ironinya, aksi ugal-ugalan pemanfataan hutan untuk tambang ini makin massif terjadi di ujung masa pemerintahan Presiden Jokowi. Sejumlah anggota kabinetnya mengeluarkan atau setidaknya telah membiarkan hutan dihancurkan, dengan dalih investasi. Sektor pertambangan adalah algojonya.
Hal ini setidaknya terlihat dari dua gugatan yang dilayangkan oleh Yayasan Wahana Sinergi Nusantara (Wasinus) dalam sepekan terakhir. Yayasan yang concern pada isu kelestarian hutan dan lingkungan ini menggencarkan dua gugatan hukum. Satu perkara telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri Tanjung Redep, Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Sementara perkara terbaru yang diajukan terdaftar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Kedua gugatan hukum Yayasan Wasinus itu berkaitan dengan pemanfaatan hutan untuk tambang batu bara dan emas. Di PN Tanjung Redep, Yayasan Wasinus menggugat PT Berau Coal atas kegiatan pertambangan batu bara yang dilakukan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Labanan atau yang populer dengan sebutan Hutan Penelitian Labanan.
Dalam gugatan ini, Yayasan Wasinus menyeret keterlibatan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Kedua kementerian ini, diminta bertanggung jawab atas terbitnya sejumlah izin pertambangan batu bara dan izin pinjam pakai Hutan Penelitian Labanan untuk dijadikan konsesi pertambangan.
Pemanfaatan Hutan Penelitian Labanan sebagai areal konsesi tambang tak bisa dibenarkan. Apapun dalilnya, hutan ini harus dipertahankan fungsinya. Dengan logika ekonomi sekalipun, pemerintah tak boleh seenaknya menerbitkan dan membiarkan izin tambang di kawasan hutan ini.
Sementara, gugatan Yayasan Wasinus di PTUN Jakarta, menjadikan Menteri LHK sebagai tergugat tunggal. Yayasan Wasinus geram karena Hutan Lindung Bukit Sanggul di Seluma, Provinsi Bengkulu seluas 19.223,73 hektare telah diubah statusnya menjadi Hutan Produksi.
Diturunkannya kasta Hutan Lindung Bukit Sanggul menjadi Hutan Produksi sangat tak memiliki logika yang masuk akal. Dalil apapun tak bisa diterima.
Tindakan Kementerian LHK yang mengubah status Hutan Lindung menjadi Hutan Produksi adalah tindakan keliru yang sangat fatal dan bertolak belakang dengan kampanye pro hutan yang digencarkan pemerintah di forum-forum global. Langkah KLHK ini irasional dengan upaya pengendalian pemanasan global (climate change) yang tak henti-hentinya ditiupkan oleh pemerintah.
Ketua Tim Hukum Yayasan Wasinus, Surya Darma SAg, SH, MH menengarai, diubahnya status Hutan Lindung Bukit Sanggul menjadi Hutan Produksi, berkaitan dengan akan masuknya dua perusahaan tambang emas di kawasan hutan ini.
"Karpet merah diberikan kepada korporasi tambang untuk mengeksploitasi hutan tersisa, bahkan sampai Hutan Lindung pun akan dikorbankan. Ini sangat miris sekali," kata Surya Darma, Senin (22/7/2024).
Wajar publik menilai, jika momen akhir jabatan penguasa negeri dan para anggota kabinet (menteri) telah menjadi celah untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran. Obral perizinan tambang yang diikuti dengan 'pemerkosaan' terhadap hutan kian tak bisa ditahan lagi.
Masyarakat sipil, khususnya kalangan organisasi lingkungan telah lama menyoroti hal ini. Namun, suara-suara kritik untuk membendung laju penghancuran hutan, secara khusus dijadikan ladang eksploitasi tambang sepertinya tak didengar lagi. Aksi demo berjilid-jilid menolak tambang di areal hutan tak lagi digubris.
Maka, upaya hukum yang ditempuh oleh Yayasan Wasinus ini layak untuk diapresiasi dan mendapat dukungan. Pedang hukum masih jadi harapan untuk menggergaji kebijakan-kebijakan anti-lingkungan hidup yang kadung berjalan.
Dua gugatan Yayasan Wasinus ini adalah sandaran terakhir untuk menekan laju penghancuran hutan. Kita makin sulit berharap ada kesadaran dari pengambil kebijakan untuk menghentikan obral perizinan tambang dan pemanfataan hutan untuk kegiatan ekstraktif.
Semoga para hakim yang menyidangkan perkara ini masih sensitif dengan defisitnya nalar lingkungan para pengambil kebijakan. Putusan mereka diharapkan bisa mengoreksi kebijakan lancung yang terus menggerus lingkungan.
Apalagi, sudah sangat nyata kalau kegiatan pertambangan tak membawa efek kesejahteraan kepada warga sekitar operasi pertambangan. Pertambangan dan pengrusakan hutan hanya menyisakan kemiskinan, konflik sosial dan kehancuran lingkungan.
Gugatan Yayasan Wasinus Terhadap PT Berau Coal
Diwartakan sebelumnya, Yayasan Wahana Sinergi Nusantara (Wasinus) menggugat perusahaan pertambangan batu bara PT Berau Coal ke Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Redep. Langkah hukum Yayasan Wasinus ini ditempuh karena berdasarkan investigasi yang dilakukan, PT Berau Coal diduga kuat telah melakukan aktivitas pertambangan batu bara di kawasan hutan penelitian Labanan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
Gugatan Yayasan Wasinus terhadap PT Berau Coal ini didaftarkan ke PN Tanjung Redep pada 5 Juli 2024 lalu. Berdasarkan relaas panggilan sidang, perkara gugatan organisasi lingkungan ini akan disidangkan perdana pada Rabu 24 Juli mendatang di PN Tanjung Redep.
Gugatan Yayasan Wasinus teregister dalam perkara bernomor: 28/Pdt.Sus-LH/2024/PN Tnr. Yayasan Wasinus juga menyeret Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masing-masing sebagai Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II.
"Kami siap untuk membuktikan gugatan tersebut di persidangan dengan bukti-bukti kuat yang telah kami kumpulkan berdasarkan investigasi Yayasan Wasinus di lokasi objek gugatan serta dokumen-dokumen lain yang terkait," kata Ketua Tim Hukum Yayasan Wasinus, Surya Darma Hasibuan, SAg, SH, MH kepada SabangMerauke News, Jumat (12/7/2024).
Berdasarkan dokumen surat gugatan yang diperoleh, Yayasan Wasinus yang dikenal aktif dan konsisten melakukan gugatan terhadap pelaku pengrusakan lingkungan hidup ini, mengungkap bahwa telah terjadi pembukaan pertambangan batu baru di dalam Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Labanan yang diperuntukkan sebagai hutan penelitian.
Yayasan Wasinus menemukan telah terjadi pembukaan areal pertambangan batu baru pada 9 lokasi di KHDTK Labanan. Setidaknya, aktivitas itu terjadi pada 3 kecamatan yakni Kecamatan Sambaliung, Teluk Bayur dan Kelay yang berada di Kabupaten Berau, Provinsi Kaltim.
Bahkan, temuan lapangan menemukan adanya pemasangan sejumlah tanda merek (plang) bertuliskan 'Objek Vital' sebagai wilayah PKP2B atas nama PT Berau Coal dengan nomor: PKP2B 178.K/40.00/DJG/2005. Plang tersebut memuat tulisan Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM serta logo PT Berau Coal.
"Milik Negara, Dilarang Memindahkan," demikian tulisan pada bagian bawah plang tersebut.
Surya Darma menyebut, luas KHDTK Labanan telah ditetapkan mencapai 7.959,1 hektare. Penetapannya berdasarkan SK Menteri LHK nomor: SK.64/Menhut-II/2012 pada tanggal 3 Februari 2012.
Ia menjelaskan, proses penetapan KHDTK Labanan sesungguhnya memiliki dimensi global (internasional). Sebab, diawali oleh kerjasama pemerintah Indonesia melalui Badan Litbang Kehutanan dan Inhutani I dengan pemerintah Perancis lewat proyek Silviculture Techiquo for Regeneration of Logged Over Area in East Kalimantan yang dikenal dengan proyek STREK yang berakhir pada tahun 1996 lalu.
"Selanjutnya proyek tersebut dilanjutkan bekerja sama dengan Uni Eropa melalui proyek Berau Forest Management Project (BFMF)," tulis Yayasan Wasinus dalam surat gugatannya.
Surya menerangkan, keberadaan KHDTK Labanan sangat strategis terhadap kepentingan umum, sebagai penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta kepentingan regili dan budaya. Apalagi, KHDTK Labanan adalah miniatur hutan tropis dataran rendah dengan keragaman biodiversiti tertinggi.
Berdasarkan data komplikasi hasil eksplorasi, pada kawasan ini ditemukan lebih dari 58 family (150 genius) flora, 23 jenis mamalia, 89 jenis burung serta 40 jenis Herpetefauna. Selain itu terdapat pula berbagai jenis ekosistem gua yang merupakan objek penelitian dan pengembangan yang sangat penting dan menarik.
"Dengan demikian, kegiatan pertambangan yang dilakukan PT Berau Coal pada KHDTK Labanan yang merupakan objek sengketa, telah melanggar kepentingan umum, berpotensi merusak lingkungan dan kekayaan biodiversiti flora dan fauna yang terdapat di dalamnya," terang Surya Darma.
Ia menyebut, pembukaaan pertambangan batu bara di KHDTK Labanan selain telah merusak hutan alam, namun juga telah mengambil kekayaan sumber daya alam di bawah hutan, tanpa mampu mengembalikan kawasan hutan sebagaimana mestinya, meski ada janji klaim dilakukan reklamasi pasca tambang.
Surya menegaskan, meski objek sengketa masuk dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT Berau Coal, namun tidak serta merta perusahaan bisa membuka areal pertambangan dan memporak-porandakan KHDTK Labanan.
Pihaknya juga mempertanyakan soal pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan pada KHDTK Labanan oleh Menteri LHK kepada PT Berau Coal.
"Izin pinjam pakai kawasan hutan untuk keperluan pertambangan batu bara tersebut jelas telah mengakibatkan rusaknya kawasan hutan KHDTK Labanan, sehingga berdasarkan asas In Dubio Pro Natural, izin pinjam pakai kawasan hutan tersebut harus dinyatakan tidak berkekuatan hukum yang mengikat," jelas Yayasan Wasinus dalam gugatannya.
Itu sebabnya, Yayasan Wasinus dalam gugatannya turut menyeret keterlibatan Menteri LHK dalam pemeriksaan perkara yang akan dilakukan majelis hakim PN Tanjung Redep. Menteri LHK diseret sebagai pihak Turut Tergugat I.
Sementara, Menteri ESDM yang telah menerbitkan segala perizinan PT Berau Coal di areal KHDTK Labanan juga turut ditarik dalam gugatan ini sebagai pihak Turut Tergugat II.
Gugatan Yayasan Wasinus Terhadap Menteri LHK
Yayasan Wahana Sinergi Nusantara (Wasinus) menggugat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Republik Indonesia, Siti Nurbaya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan terbaru Yayasan Wasinus ini dilakukan atas tindakan Menteri LHK Siti Nurbaya yang telah mengubah status Hutan Lindung (HL) Bukit Sanggul di Kabupaten Seluma, Bengkulu menjadi Hutan Produksi (HP). Adapun luasan Hutan Lindung Bukit Sanggul yang diturunkan 'kelasnya' menjadi Hutan Produksi yakni mencapai 19.223,73 hektare.
Penurunan status Hutan Lindung Bukit Sanggul menjadi Hutan Produksi oleh Menteri LHK ini, diduga kuat terkait dengan rencana kegiatan pertambangan emas yang akan dilakukan oleh dua perusahaan pertambangan emas di dalam kawasan hutan tersebut. Dua perusahaan pertambangan emas yang disebut akan menggarap HL Bukit Sanggul yakni PT Energi Swa Dinamika Muda dan PT Perisai Prima Utama.
Penurunan status Hutan Lindung Bukit Sanggul menjadi Hutan Produksi dilakukan oleh Menteri LHK Siti Nurbaya dengan menerbitkan Surat Keputusan Menteri LHK RI nomor: SK.553/Menlhk/Setjen/PLA.2/5/2023 tentang Perubahan Status Kawasan Hutan Lindung (HL) Bukit Sanggul di Kabupaten Seluma menjadi Hutan Produksi (HP) seluas 19.223,73 hektare.
Pantauan SabangMerauke News pada laman SIPP PTUN Jakarta, gugatan Yayasan Wasinus ini telah didaftarkan ke PTUN Jakarta dengan nomor registrasi perkara: 249/G/2024/PTUN.JKT tanggal 22 Juli 2024. Perkara ini akan disidangkan oleh trio majelis hakim Ni Nyoman Vidiayu Purbasari (ketua majelis) dan Yustan Abithoyib serta Novy Dewi Cahyati masing-masing sebagai anggota majelis hakim.
Ketua Tim Hukum Yayasan Wasinus, Surya Darma SAg, SH, MH menerangkan, sebelum mendaftarkan gugatan tindakan pemerintahan ke PTUN Jakarta, Yayasan Wasinus telah meminta agar Menteri LHK Siti Nurbaya membatalkan atau mencabut Surat Keputusan Menteri LHK RI nomor: SK.553/Menlhk/Setjen/PLA.2/5/2023 tentang Perubahan Status Kawasan Hutan Lindung (HL) Bukit Sanggul di Kabupaten Seluma menjadi Hutan Produksi (HP) seluas 19.223,73 hektare. Permohonan itu disampaikan lewat surat tertulis pada tanggal 30 Mei 2024 lalu.
"Namun, sampai saat ini Menteri LHK tidak mencabut atau membatalkan SK tersebut. Sehingga Yayasan Wasinus menempuh gugatan hukum ini lewat PTUN Jakarta sebagai upaya hukum untuk membatalkan atau mencabut SK tersebut," kata Surya Darma, Senin (22/7/2024).
Surya Darma menjelaskan, keberadaan Hutan Lindung Bukit Sanggul sangat strategis dan vital. Berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan Yayasan Wasinus, di wilayah HL Bukit Sanggul masih mempunyai tegakan kayu alam. Selain itu, posisi HL Bukit Sanggul berada pada ketinggian 200 mpdl hingga 1.800 mpdl, dengan tingkat kelerengan 25 persen hingga 45 persen atau kategori curam. Dengan kondisi itu, maka HL Bukit Sanggul rawan bencana banjir bandang dan tanah longsor.
"Maka dengan demikian, Hutan Lindung Bukit Sanggul tidak memenuhi syarat dan kriteria untuk diturunkan menjadi Hutan Produksi," tegas Surya Darma.
Fakta alam lain yang ditemukan yakni, Hutan Lindung Bukit Sanggul merupakan hulu dari enam sungai besar yang ada di daerah sekitar. Antara lain Sungai Kungkai, Seluma, Talo, Alas, Selali, Maras dan Sungai Pino.
"Jika Hutan Lindung Bukit Sanggul diturunkan statusnya menjadi Hutan Produksi yang diduga kuat akan dijadikan kawasan pertambangan pola terbuka, jelas akan mengakibatkan rusaknya semua sungai-sungai tersebut. Tata air akan rusak, banjir dan longsor akan mengancam kehidupan di sekitarnya," tegas Surya Darma.
Dalam surat gugatannya di PTUN Jakarta, Yayasan Wasinus menjadikan tindakan administrasi Menteri LHK Republik Indonesia yang tidak mencabut SK 533/Menlhk/Setjen/PLA.2/2023 sebagai objek gugatannya.
Alasannya, berdasarkan tenggang waktu, menurut Pasal 53 ayat 2 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, Menteri LHK sebagai Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan atau melakukan keputusan atau tindakan dalam waktu 5 hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan.
Namun, sejak dilayangkannya surat permohonan oleh Yayasan Wasinus ke Menteri LHK agar mencabut atau membatalkan SK 533/Menlhk/Setjen/PLA.2/2023 yang disampaikan pada 30 Mei 2024 lalu, seharusnya Menteri LHK sudah mengeluarkan keputusan atau tindakan paling lambat pada 7 Juni 2024. Namun, hingga didaftarkannya gugatan ke PTUN, Menteri LHK tak kunjung mencabut SK penurusan status Hutan Lindung Bukit Sanggul menjadi Hutan Produksi.
Dalam alasan gugatannya, Yayasan Waninus menyinggung soal kriteria Hutan Lindung yang diatur dalam Pasal 24 ayat 3 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan. Dimana beberapa kriteria Hutan Lindung yakni kawasan hutan memiliki lereng lapangan 40 persen atau lebih, kawasan hutan sangat peka terhadap erosi lereng serta hutan yang merupakan daerah resapan air.
Kondisi Hutan Lindung Bukit Sanggul identik dengan kriteria tersebut, dengan demikian Hutan Lindung Bukit Sanggul tidak bisa diubah statusnya menjadi Hutan Produksi.
Yayasan Wasinus menilai, terbitnya SK Menteri LHK tentang perubahan status Hutan Lindung Bukit Sanggul menjadi Hutan Produksi, selain telah melanggar peraturan perundang-undangan juga melanggar Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB).
Dalam AAUPB, seharusnya setiap tindakan pejabat pemerintahan mematuhi asas kepastian hukum. Namun dengan dilakukannya pengubahan status Hutan Lindung Bukit Sanggul menjadi Hutan Produksi oleh Menteri LHK, maka kepastian hukum menjadi terancam, karena Hutan Lindung Bukit Sanggul memenuhi kriteria sebagai hutan lindung, bukan Hutan Produksi.
Yayasan Wasinus dalam gugatannya juga mempersoalkan asas kecermatan yang telah dilanggar oleh Menteri LHK. Dengan keputusannya, Menteri LHK dinilai telah menimbulkan kerugian penggugat karena kelestarian fungsi Hutan Lindung Bukit Sanggul akan terancam, akibat diturunkan menjadi Hutan Produksi, apalagi akan dijadikan sebagai kawasan pertambangan terbuka.
Dalam petitum gugatannya, Yayasan Wasinus meminta majelis hakim PTUN Jakarta untuk menyatakan batal atau tidak sah tindakan administrasi pemerintahan yang dilakukan Menteri LHK, yakni berupa tidak mencabut Surat Keputusan Menteri LHK RI nomor: SK.553/Menlhk/Setjen/PLA.2/5/2023 tentang Perubahan Status Kawasan Hutan Lindung (HL) Bukit Sanggul di Kabupaten Seluma menjadi Hutan Produksi (HP) seluas 19.223,73 hektare.
"Mewajibkan Tergugat (Menteri LHK) untuk melakukan tindakan administrasi pemerintahan, berupa mencabut Surat Keputusan Menteri LHK RI nomor: SK.553/Menlhk/Setjen/PLA.2/5/2023 tentang Perubahan Status Kawasan Hutan Lindung (HL) Bukit Sanggul di Kabupaten Seluma menjadi Hutan Produksi (HP) seluas 19.223,73 hektare," tulis Yayasan Wasinus dalam petitum gugatannya. (R-03)