Big Data LBP vs Lembaga Survei Soal Tunda Pemilu, Siapa yang Bohong?
SabangMerauke News, Jakarta - Menko Marives Luhut Binsar Pandjaitan menuai kritik dari banyak pihak terkait wacana penundaan Pemilu 2024. Luhut menyatakan berdasarkan pengamatannya, banyak masyarakat yang ingin agar anggaran pemerintah difokuskan untuk COVID-19, bukan pemilu.
"Kalau saya melihat di bawah, saya sudah sampaikan, kok, banyak rakyat nanya yang saya ungkap ini, ya, saya boleh benar, boleh enggak benar. Sekarang kita tenang-tenang, kok. Kedua, kenapa duit begitu besar itu, kan, banyak mengenai pilpres mau dihabisin sekarang," kata Luhut dalam acara DEWG G20 di Hotel Grand Hyatt, Jakarta Pusat, Selasa (16/3/2022).
Luhut bahkan menyebut memiliki big data yang menunjukkan ada 110 juta warga Indonesia yang mendukung Pemilu 2024 ditunda. Meski demikian, ia enggan membuka data tersebut ke publik.
"Ya, pasti adalah (big datanya), masa bohong. Janganlah (diungkap ke publik)," kata Luhut.
Meski demikian, klaim Luhut tersebut berbeda dengan hasil survei yang dirilis sejumlah lembaga. Hampir semua hasil survei tersebut menyatakan masyarakat menolak wacana penundaan pemilu dan tetap ingin pemilu diadakan di 2024.
Berikut datanya:
Lembaga Survei Indonesia (LSI)
Hasil survei LSI menunjukkan mayoritas responden yakni 70,7% masyarakat menolak wacana penundaan Pemilu 2024. Semakin banyak responden yang mengetahui wacana ini, penolakannya juga semakin besar.
Survei LSI ini berlangsung pada 25 Februari-1 Maret 2022 dengan melibatkan 1.197 responden dan menggunakan metode simple random samping. Margin of error survei ini kurang lebih 2,89% dan memiliki tingkat kepercayaan 95%.
LSI Denny JA
Survei yang diadakan LSI Denny JA juga menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat, khususnya pemilih Jokowi pada Pilpres 2019 menolak wacana penundaan pemilu, yaitu sebesar 58,1%.
Tak hanya pemilih Jokowi, pemilih Prabowo Subianto pada Pilpres 2019 juga menyatakan penolakan terhadap penundaan pemilu, yakni sebesar 83,9%.
Survei LSI dilakukan pada kurun waktu 23 Februari-3 Maret 2022 dengan melakukan wawancara tatap muka terhadap 1.200 responden. Margin of error hasil survei ini adalah sebesar +/- 2.9 %.
Charta Politika
Charta Politika melakukan survei di 3 provinsi yakni Lampung, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Hasilnya, mayoritas masyarakat di 3 provinsi itu menolak wacana penundaan Pemilu 2024.
Dalam survei yang dilakukan di Lampung, sebanyak 63,6% masyarakat menyatakan tidak setuju pemilu ditunda. Di Jawa Barat, sebanyak 65,3% responden menyatakan tidak setuju pemilu ditunda dan di Jawa Timur sebanyak 70,6% menolak Pemilu 2024 ditunda.
Survei di Lampung dilakukan pada 27 Januari-2 Februari, sementara di Jawa Barat dan Jawa Timur dilakukan pada 3-9 Februari. Survei dilakukan melalui wawancara tatap muka secara langsung dengan menggunakan kuesioner terstruktur.
Metodologi yang digunakan adalah metode acak bertingkat (multistage random sampling) pada tingkat kepercayaan 95%.
Hasil Analisa Drone Empirit dan Lab-45: yang Bicarakan Penundaan Pemilu Tak Sampai 110 Juta
Berdasarkan hasil survei dari lembaga-lembaga tersebut, tentu saja bertentangan dengan klaim Luhut yang disebut didasarkan pada big data. Sumber big data yang disebut Luhut itu juga dipertanyakan Drone Empirit dan Lab-45.
Pendiri sekaligus peneliti Drone Empirit dan Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi, mengatakan sangat mustahil ada 110 juta masyarakat yang bicara penundaan pemilu, apalagi menyatakan setuju di media sosial.
"Pada saat Cak Imin bilang 100 juta saya sudah bilang impossible. Lalu ada yang konsisten lawan [bantah juga] Mas Burhan dan Saiful Mujani. Lalu saya ambil data seminggu cuma 10 ribu," kata Fahmi dalam diskusi Meninjau Pandangan Publik dan Analisis Big Data soal Penundaan Pemilu di Jakarta, Kamis (17/3/2022).
"Lalu dibilang 110 juta. Oh, naik. Langsung saya ditanya, jawaban saya impossible. Saya rasakan ini ada sesuatu yang tidak dipahami publik yaitu big data dan sekarang dimanfaatkan untuk justifikasi gagasan. Ini bahaya," imbuh dia.
Fahmi lalu menjelaskan beda big data dan survei. Survei memakai sampling, sementara big data pakai populasi.
Jika Luhut mengatakan ada 110 juta di medsos yang setuju pemilu ditunda, maka perlu dibedakan pula apakah ada 110 juta orang yang bicara atau 110 juta pembicaraan.
"Bagaimana melihat populasi? 110 juta mereka yang aktif yang di medsos dan bicara penundaan. Jadi ada 110 juta semua bicara penundaan pemilu is impossible. Populasi yang kita maksud populasi percakapan," terang dia.
"Setiap orang bisa ngomong 1.000 kali. Tapi kita lihat lagi misal total populasi mention itu misal 100 ribu, tapi yang ngomong hanya 10 ribu," lanjut dia.
Lebih lanjut, Fahmi mengungkapkan data yang dikumpulkan pihaknya hanya ada 68 ribu yang membahas penundaan pemilu. Data itu didapatkan dari berita online hingga pembicaraan di media sosial.
Sementara analis Lab-45, Diyauddin, mengatakan pihaknya sudah dua kali mengambil data terkait sikap publik terkait perpanjangan masa jabatan presiden. Menurut hasil analisa data tersebut, mayoritas pengguna media sosial khususnya Twitter tak setuju Jokowi menjabat lebih dari 2 periode.
Ia juga mengungkapkan data yang berhasil ditemukan Lab-45 pun hanya sekitar 10 ribu di Twitter. Sehingga ia mempertanyakan klaim Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan bahwa ada 110 juta masyarakat di media sosial yang setuju penundaan pemilu.
"Analisis politik ada 2 kali. Satu tentang Jokowi maju 3 periode Juni 2021. Penarikan data cuma 2 hari. Akunnya cuma 10 ribuan. Dan seperti kata Mas Burhanuddin Muhtadi, semakin orang baca medsos makin enggak setuju. Temuan kami hampir 100% tidak ada yang pro," kata Diyauddin.
"Jadi kalau dibilang ada 110 juta kami enggak ngerti. Pas COVID paling tinggi jagatnya 4 juta. Data kami menunjukkan isu hal berbeda dengan persepsi bahwa pernyataan elite didukung big data," pungkas dia. (*)